Asal Usul Suku Minahasa

Daerah Minahasa di Sulawesi Utara diperkirakan pertama kali telah dihuni oleh manusia sejak ribuan tahun sebelum Masehi. Para peneliti memperkirakan suku bangsa Minahasa berasal dari Formosa Taiwan, keturunan suku bangsa Austronesia dari Formosa Taiwan, yang melakukan perjalanan panjang melalui Filipina dan terus ke Sulawesi. Banyak terdapat kemiripan bahasa dari bahasa Minahasa dengan bahasa-bahasa di Formosa Taiwan.

Menurut pendapat Tandean, seorang ahli bahasa dan huruf Tionghoa Kuno, 1997, melakukan penelitian pada Watu Pinawetengan. Melalui tulisan “Min Nan Tou” yang terdapat di batu itu, ia mengungkapkan, tou Minahasa diperkirakan merupakan keturunan Raja Ming yang berasal dari tanah Mongolia, yang datang berimigrasi ke Minahasa. Arti dari Min Nan Tou adalah “orang turunan Raja Ming". Tapi pendapat tersebut dianggap lemah menurut David DS Lumoindong, karena kalau Minahasa memang berasal dari keturunan Raja Ming, maka ilmu pengetahuan dan kebudayaan Kerajaan Ming yang sudah pada taraf maju seharusnya terlihat pada Peninggalan Arsitektur Minahasa ditahun 1200-1400, tetapi kenyataannya peninggalan atau kebudayaan zaman Ming tidak ada satupun di Minahasa, jadi pendapat Tandean lemah untuk digunakan sebagai dasar dalam penulisan sejarah dan asal usul Minahasa. Sedangkan berdasarkan pendapat para ahli A.L.C Baekman dan M.B Van Der Jack, orang Minahasa berasal dari ras Mongolscheplooi yang sama dengan pertalian Jepang dan Mongol ialah memiki lipit Mongoloid dan kesamaan warna kulit, yaitu kuning langsat. Persamaan dengan Mongol dalam sistem kepercayaan dapat dilihat pada agama asli Minahasa Shamanisme sama seperti Mongol.
seorang Walian
Dan juga dipimpin oleh walian (semacam pendeta/pemimpin agama) yang langsung dimasuki oleh opo. Agama Shamanisme ini memang dipegang teguh secara turun temurun oleh suku Mongol dan terlihat juga kemiripan dengan agama asli suku Dayak di Kalimantan, dan Korea.
Jadi orang Minahasa memang berasal dari keturunan ras Mongoloid, tetapi bukan orang Mongol. Ras ini juga terdapat pada suku Dayak, Nias dan Mentawai. Ras Mongoloid tersebut diperkirakan berasal dari Formosa Taiwan.

pejuang Minahasa
Pada tahun masehi kira-kira awal abad 6, orang Minahasa telah membangun Pemerintahan Kerajaan di Sulawesi Utara yang berkembang menjadi kerajaan besar. Kerajaan ini memiliki pengaruh yang luas ke luar Sulawesi hingga ke Maluku. Pada sekitar tahun 670, para pemimpin dari suku-suku yang berbeda, dengan bahasa-bahasa yang berbeda, bertemu di sebuah batu yang dikenal sebagai Watu Pinawetengan. Di sana mereka mendirikan sebuah komunitas negara merdeka, yang membentuk satu unit dan tetap bersatu untuk melawan setiap musuh dari luar jika mereka diserang. Bagian anak suku Minahasa yang mengembangkan pemerintahannya sehingga memiliki pengaruh luas adalah anak suku Tonsea pada abad 13, yang pengaruhnya sampai ke Bolaang Mongondow dan daerah lainnya. Kemudian keturunan campuran anak suku Pasan Ponosakan dan Tombulu membangun pemerintahan kerajaan yang terpisah dari ke empat suku lainnya di Minahasa.


sumber:
- wikipedia
- theoelin.multiply.com
- kaskus.us
- driwancybermuseum.wordpress.com
- dan berbagai sumber


baca juga:
- bahasa Proto Minahasa
- Mithologi asal usul Minahasa

Mithologi Suku Batak Karo

Menurut cerita turun temurun, yang masih tersimpan dalam ingatan sebagian orang tua-tua masyarakat Batak Karo, beginilah asal usul dari suku Karo yang menempati dataran tinggi Tanah Karo.

Zaman dahulu kala ada seorang Maharaja yang sangat kaya, sakti dan berwibawa. Dia tinggal di sebuah negeri bersama permaisuri dan putra-putrinya, di seberang lautan. Dia mempunyai seorang panglima perang yang sangat sakti, berwibawa dan disegani semua orang. Nama panglima itu ialah Karo.

Suatu ketika, Maharaja ingin pergi dari negerinya untuk mencari tempat yang baru dan mendirikan kerajaan baru. Ia mengumpulkan semua pasukannya dan menganjurkan semuanya untuk bersiap-siap untuk berangkat ke negeri seberang. Ia juga mengajak putrinya Miansari untuk ikut merantau. Miansari sangat senang mendengar rencana itu, karena ia sedang jatuh cinta kepada panglima perang tersebut. Akhirnya maharaja membagi kelompok dan Miansari memilih untuk bergabung dengan panglima perang. Mereka mulai berlayar menyeberangi lautan dengan kapal yang mereka buat sendiri.

Demikianlah mereka mulai berlayar dan mereka tiba si sebuah pulau yang bernama Pulau Pinang. Mereka tinggal di tempat itu untuk beberapa saat, serta berburu untuk mencari makanan. Suatu hari Maharaja memandang ke sebelah selatan dan melihat suatu pulau yang lebih luas dan lebih hijau lagi. Ia berniat untuk menyeberang ke sana. Sore harinya ia mengumumkan kepada rakyatnya agar bersiap-siap untuk berlayar ke seberang.

Dalam perjalanan di tengah laut, mereka mengalami suatu musibah yang sangat dahsyat, yaitu angin ribut dan ombak yang sangat besar, sehingga mereka tercerai-berai. Mereka sangat ketakutan dan beranggapan bahwa ajal mereka akan segera tiba. Miansari beserta panglima dan rombongannya terdampar di sebuah pulau yang tidak mereka kenal tetapi Maharaja dan rombongannya tidak tahu di mana keberadaannya. Dengan demikian Panglima dan Miansari sepakat untuk melarikan diri dan menikah. Mereka berangkat dan membawa dua orang dayang-dayang dan tiga orang pengawal. Mereka mengikuti aliran sungai dan mencari tempat yang aman untuk bersembunyi.

Dan tiba di suatu tempat. Mereka tinggal di tempat itu untuk beberapa lama. Di pulau itu mereka hidup penuh dengan kebebasan. Pada waktu itu terjadilah peristiwa yang sangat penting, yakni panglima dan Miansari menikah disaksikan oleh dayang-dayang dan pengawal mereka. Setelah itu mereka mulai lagi melanjutkan perjalanan mereka untuk mencari tempat yang lebih aman. Mereka memasuki sebuah pulau yang tidak begitu jauh dari tempat mereka, yakni pulau Perca (Sumatra), dan tempat itu sekarang bernama Belawan.

Dari tempat itu mereka kembali melanjutkan perjalanan menelusuri aliran sungai menuju pedalaman. Dan tibalah mereka di suatu tempat yang sekarang disebut Durin Tani. Di sana terdapat sebuah gua yakni gua Umang . Di dalam gua itulah mereka beristirahat untuk beberapa hari sebelum melanjutkan perjalanan. Karena mereka menganggap tempat itu belum begitu aman, maka mereka memutuskan untuk mencari kembali tempat yang lebih aman. Mereka menelusuri hutan dan mengikuti aliran sungai menuju daerah pegunungan.

Setelah beberapa hari lamanya mereka berada dan berjalan di tengah hutan belantara dan mereka melewati beberapa tempat yang bernama Buluhawar, Bukum, maka tibalah mereka di suatu tempat di kaki gunung. Dan tempat itu diberi nama Sikeben berdekatan dengan Bandarbaru. Mereka tinggal di situ beberapa lama. Namun karena Si Karo melihat bahwa masih ada tempat yang lebih indah dari pada tempat itu, ia memutuskan agar mereka kembali berjalan menelusuri hutan. Akhirnya mereka tiba di kaki gunung Barus. Dan melanjutkan perjalanan ke gunung Barus tersebut. Mereka sangat senang melihat pemandangan yang begitu indah dan sejuk.

Mereka sangat senang dan mereka semua setuju bila mereka tinggal di tempat itu. Tetapi Si Karo kurang setuju dengan permintaan teman-temannya, karena ia melihat bahwa tanah yang ada di tempat itu tidak sama dengan tanah yang ada di negeri mereka. Ia kemudian memutuskan untuk mencari tempat lain. Keesokan harinya mereka beristirahat di bawah sebuah pohon “jabi-jabi” (sejenis beringin). Si Karo mengutus seekor anjing untuk menyeberang sebuah sungai, untuk melihat keadaan. Maka mereka juga menyeberang sungai itu. Mereka menamai sungai itu Lau Biang, dan pada saat ini sungai ini masih ada.

Beberapa hari kemudian tibalah mereka di suatu tempat, dan tanah yang terdapat di tempat itu juga memiliki kemiripan dengan tanah yang ada di negeri mereka. Mereka sangat bergembira, dan bersorak-sorai. Daerah tempat mereka tinggal itu bernama Mulawari yang berseberangan dengan si Capah yang sekarang bernama Seberaya. Dengan demikian si Karo dan rombongannya adalah pendiri kampung di dataran tinggi, yang sekarang bernama dataran tinggi Karo (Tanah Karo).

Pertama-tama mereka membangun rumah mereka dari kayu yang ada di tempat itu, beratapkan alang-alang, dan dindingnya berasal dari pohon enau. Dan mereka membangun 5 dapur dalam satu rumah. Si Karo mengangkat si Talon menjadi Kalimbubu, dan kedua dayang-dayang itu menjadi anaknya. Dan kedua pengawalnya diangkatnya menjadi menantunya. Dan mereka juga menikah.
Setelah beberapa lama mereka tinggal di tempat itu, si Karo memiliki lima anak. Tetapi semuanya adalah perempuan, dan semuanya sangat cantik, jelita. Beberapa tahun kemudian barulah lahir seorang anak laki-laki. Mereka menamainya Meherga (berharga). Dan dari kata inilah asal kata Marga.



sumber:
- tantabangun.wordpress.com
- wikipedia

Asal Usul Suku Batak Simalungun

Suku Simalungun atau juga disebut Batak Simalungun adalah salah satu etnis asli di provinsi Sumatra Utara, Indonesia, mendiami wilayah kabupaten Simalungun dan sekitarnya. Dalam sejarah suku ini pernah memiliki beberapa kerajaan, yang berkuasa dan mempertahankan wilayahnya dari tekanan luar, salah satunya bertahan dari serangan pasukan kerajaan hindu-budha yang mencoba menguasai daerah ini.

Marga asli penduduk Simalungun adalah Damanik, dan 3 marga pendatang yaitu, Saragih, Sinaga, dan Purba. Kemudian marga marga (nama keluarga) tersebut menjadi 4 marga besar di Simalungun.

Orang Toba menyebut suku ini sebagai suku "Si Balungu" dari legenda hantu di daerah tersebut, sedangkan orang Karo menyebutnya Timur karena bertempat di sebelah timur mereka.

Terbentuknya Suku Simalungun:
  • Simalungun Proto, diperkirakan datang dari pegunungan Assam (India Timur) di sekitar abad ke-5, menyusuri Myanmar, ke Siam dan Malaka untuk selanjutnya menyeberang ke Sumatera Timur dan mendirikan kerajaan Nagur dari Raja dinasti Damanik. Kalau memang berasal dari Assam, suku Simalungun masih berkerabat dengan suku-suku di daerah Assam India, seperti suku Manipuri, Mizoram dan Naga. Karena suku-suku di daerah Assam memiliki ras mongoloid, bukan ras India, ciri khas fisik dan kebudayaan yang mirip dengan suku-suku Batak di Sumatra.
  • Simalungun Deutro, terjadi perkawinan campur antara suku asli Simalungun dengan suku-suku lain di sekitar Simalungun yang bertetangga dengan suku asli Simalungun.
Pada gelombang Proto Simalungun di atas, Tuan Taralamsyah Saragih, menceritakan bahwa rombongan yang terdiri dari keturunan dari 4 Raja-raja besar dari Siam dan India ini bergerak dari Sumatera Timur ke daerah Aceh, Langkat, daerah Bangun Purba, hingga ke Bandar Kalifah sampai Batubara. Kemudian mereka didesak oleh suku setempat hingga bergerak ke daerah pinggiran danau Toba dan Samosir.

Menjadi perdebatan adalah tentang asal-usul suku Simalungun. Menurut orang Toba, suku Simalungun masih keturunan dari Toba, tetapi menurut orang Simalungun, bahwa mereka ada dan hadir bukan dari suku Toba, melainkan datang sendiri terpisah dari suku Toba. Seperti sejarah penelusuran suku Batak Toba yang masuk ke Sumatra dari pantai sebelah barat sumatra, sedangkan suku Simalungun masuk dari pantai sebelah timur sumatra. Walaupun berbeda, tetapi dilihat dari fisik, bahasa dan budaya, kedua etnis ini memang mirip. Walaupun kedatangannya ke sumatra berbeda waktu dan peristiwa, tetapi pastilah mereka bersumber dari tempat dan rumpun yang sama.

Pustaha Parpandanan Na Bolag (pustaka Simalungun kuno) menceritakan bahwa Parpandanan Na Bolag (cikal bakal daerah Simalungun) merupakan kerajaan tertua di Sumatera Timur yang wilayahnya bermula dari Jayu (pesisir Selat Malaka) hingga ke Toba. Sebagian sumber lain menyebutkan bahwa wilayahnya meliputi Gayo dan Alas di Aceh hingga perbatasan sungai Rokan di Riau.


sumber:
- word-dialect.blogspot.com
- antaranews.com
- nformosa.webs.com
- madagascar-library.com
- andamannicobarposts.blogspot.com
- newsabahtimes.com.my
- sabah.edu.my
- batakpost.com
- newspaper.philippinecentral.com
- language.psy.auckland.ac.nz
- wikipedia
- dan beberapa sumber lain

Suku Batak

Menurut legenda Batak, sebagian besar orang Batak adalah keturunan dari Si Radja Batak, yang lahir dari keturunan supranatural di Bukit Pusuk, sebuah gunung di tepi barat Danau Toba (Danau Toba). Menurut antropolog, orang Batak adalah Proto-Melayu orang keturunan dari suku-suku gunung neolitik di utara Thailand dan Myanmar (Burma), yang terdesak oleh arus suku-suku Mongolia dan Siam bermigrasi.
Ketika mereka tiba di Sumatra, mereka tidak berlama-lama di pantai tapi berjalan kaki ke pedalaman, membuat pemukiman pertama mereka di sekitar Danau Toba, di mana pegunungan sekitarnya memberikan lapisan pelindung alami. Mereka tinggal di isolasi virtual untuk ribuan tahun. Selama ribuan tahun sering terjadi perselisihan, sehingga terjadi perpecahan dalam kelompok mereka menjadi beberapa kelompok, yang menjadi sub-suku Batak yang tersebar ke Wilayah Aceh sekarang, Sumatra Utara, hingga ke wilayah Sumatra Barat dan Riau, sampai jauh ke pedalaman hutan-hutan Sumatra, hingga ke pulau-pulau kecil sebelah Barat dan Timur Sumatra.
Si Raja Batak sendiri tidaklah diketahui nama sebenarnya. Sepertinya istilah si Raja Batak, hanya sebutan saja untuk menyebutkan seorang pemimpin yang membawa dan memimpin orang-orang Batak Purba pada awal hadirnya orang-orang Batak di tanah Sumatra. Masa kejadian ini diperkirakan sekitar 3000 tahun Sebelum Masehi.
Tetapi ada peneliti yang mengemukakan teorinya bahwa kehadiran orang-orang Batak Purba datang secara bergelombang. Perjalanan mereka semuanya melalui Formosa, Filipina dan Kalimantan melewati Selat Malaka. Kedatangan pertama pada masa 7000 tahun Sebelum Masehi mendarat di kepulauan-kepulauan di sebelah Barat Sumatra. Kedatangan kedua pada masa 4000 tahun Sebelum Masehi mendarat di pantai sebelah Barat dan terakhir kedatangan ketiga pada masa 2000 tahun Sebelum Masehi ada yang mendarat di pantai sebelah Barat Sumatra dan ada juga yang mendarat di pantai sebelah Timur Sumatra. Pada kedatangan ketiga mereka sempat berinteraksi dengan penduduk lain seperti suku Lubu dan suku Kubu yang lebih dahulu menetap di kawasan tersebut selama ribuan tahun, yang memiliki ras weddoid, suatu ras berbeda dengan orang-orang Batak Purba yang memiliki ras mongoloid. Orang-orang Batak Purba pada masa ini bersifat nomaden dan tidak suka berlama-lama menetap pada satu wilayah, akibatnya mereka tersebar-sebar menjadi kelompok-kelompok kecil dan menyebar hingga ke seluruh pedalaman hutan Sumatra, mulai dari wilayah Aceh hingga sampai ke wilayah Sumatra Selatan.

William Marsden, seorang wisatawan Inggris pada tahun 1783, ketika ia kembali ke London dengan sebuah akun dari kerajaan kanibalisme di pedalaman Sumatera tentang bagaimana suku kanibal di pedalaman bisa memiliki budaya yang sangat maju dan sistem penulisan. Orang Batak menjadi subjek daya tarik sejak saat itu.

pejuang Batak di masa lalu
Orang Batak adalah di antara sukubangsa yang suka perang di Sumatera, bersama dengan penduduk asli Nias, desa mereka terus-menerus berseteru. Mereka begitu curiga satu sama lain (belum lagi orang luar) bahwa mereka tidak membangun atau mempertahankan jalur alami antara desa-desa, atau jembatan konstruksi.
Mereka mempraktekkan kanibalisme ritual di mana daging musuh yang dibunuh atau seseorang, dihukum karena melakukan pelanggaran serius terhadap adat (hukum adat) akan dimakan.
Saat masa sekarang ini, terdapat lebih dari enam juta orang Batak dan memperluas tanah mereka 200 km sebelah utara dan 300 km selatan Danau Toba. 

Mereka dibagi menjadi: 
  • Batak Pakpak, di sebelah utara-barat dari Danau Toba, 
  • Batak Dairi, di sebelah utara-barat dari Danau Toba,
  • Batak Karo, di sekitar Berastagi dan Kabanjahe, 
  • Batak Simalungun, di sekitar Pematangsiantar; 
  • Batak Toba, sekitar Danau Toba, 
  • Batak Angkola, ke wilayah selatan dan 
  • Batak Mandailing, ke selatan lebih jauh
Di luar suku di atas, masih terdapat di wilayah provinsi Aceh, seperti:
  • Batak Gayo, wilayah Aceh
  • Batak Alas, wilayah Aceh
  • Batak Singkil, wilayah Aceh dan
  • Batak Kluet, wilayah Aceh
Menurut beberapa peneliti, masih terdapat suku Batak di luar suku-suku Batak di atas tadi, yaitu:
  • Batak Rao
  • Batak Padang Lawas 
  • Batak Siladang
  • Batak Pasisi 

Selain itu juga ada Batak di Filipina, yaitu suku Batak Palawan, tetapi ini mungkin hanya kesamaan label 'batak' dan belum ada penelitian lebih lanjut.

Yang agak kontroversial, beberapa peneliti juga sempat mengelompokkan suku-suku di kepulauan sebelah barat Sumatra ke dalam Rumpun Batak, seperti:
  • Simalur:
    - Devayan
    - Sigulai
    - Lekon
    - Haloban
  • Nias
  • Mentawai
  • Enggano
Kelompok suku kepulauan tersebut di atas, diperkirakan memang berasal dari tempat yang sama dengan suku-suku Batak yang lain, tetapi untuk Nias, Mentawai dan Enggano karena terisolasi di tengah-tengah laut, menjadikan budaya yang diusung mereka tidak terpengaruh oleh budaya-budaya dari luar seperti hindu, budha dan islam. Sehingga terlihat sedikit berbeda dengan suku-suku Batak lain, tetapi dari kebiasaan hidup dan tradisi, mereka semua berasal dan berakar dari sumber yang sama.

The 'name' Batak mulai digunakan secara umum pada abad ke 17. Tetapi pada tahun 77 Masehi, seorang utusan Kaisar Titus bernama Pliny dari Kerajaan Romawi, pada perjalanan mencacah penduduk di seluruh dunia, tiba di pulau Sumatra, dan menyebutkan penduduk di pulau Sumatra sebagai Batta, Battas dan Batech, yang telah memiliki budaya yang maju. Pada saat itu tidak ada istilah Toba, Mandailing, Angkola, Silindung, Samosir, Simalungun, Karo, Pakpak, Dairi, Alas, Gayo dan lain-lain. Pliny hanya menyebutkan bahwa penduduk pulau Sumatra adalah Batta, Battas atau Batech.

Istilah 'batak' selama ini dianggap berasal dari istilah Melayu untuk menghina 'perampok' atau 'pemeras', sementara saran lain adalah bahwa itu adalah sebuah julukan kasar yang diciptakan untuk 'pemakan babi' bagi umat Islam. Saat ini sebagian dari masyarakat suku-suku Batak yang telah memeluk agama Islam mulai enggan disebut sebagai "orang Batak", mereka lebih suka menyebutkan nama suku nya langsung, seperti, "Mandailing", "Gayo", "Alas", "Singkil" dan "Kluet". Tetapi belakangan sebagian dari masyarakat suku-suku Batak yang Kristen juga mulai meninggalkan istilah ke-'Batak'-an nya, seperti, "Karo", "Pakpak" dan "Simalungun". Sepertinya hanya suku Toba, Humbang, Samosir, Silindung dan Angkola saja yang masih setia dengan embel-embel "Batak" di depan nama sukunya.
Tetapi terlepas dari 'mengaku' atau 'tidak mengaku' sebagai orang Batak dengan berbagai antiteori, mereka semua tetaplah orang-orang Batak dan berasal dari rumpun yang sama.

Orang-orang Batak terutama hidup dengan cara pertanian. Orang Batak yang berhasil dalam bidang pertanian berada di dataran tinggi Karo, yang dipasok untuk Sumatera Utara, serta untuk ekspor. Berbeda dengan orang Minangkabau yang matrilineal, orang Batak memiliki struktur patrilineal paling kaku di Indonesia. Perempuan tidak hanya melakukan semua pekerjaan di sekitar rumah, tetapi juga banyak pekerjaan di ladang. Meskipun ada naskah Batak asli, tidak pernah digunakan untuk merekam peristiwa. Tampaknya telah digunakan hanya oleh imam dan dukun (mistik) pada ramalan dan untuk merekam mantra sihir.

Agama dan Mitologi Batak ini telah lama terjepit di antara kubu Islam Aceh dan Sumatera Barat. Batak Karo, khususnya, yang berselisih dengan orang Aceh Islam di utara, yang beberapa kali berusaha untuk mengalahkan dan mengkonversi orang Batak ke Islam.
Yang cukup menarik, setelah bertahun-tahun melakukan perlawanan terhadap Aceh, wilayah Karo dengan mudah ditundukkan oleh Belanda, yang membawa mereka memeluk Kristen.
Mayoritas orang Batak saat ini adalah Kristen Protestan, terutama di bagian utara di sekitar Danau Toba dan Dataran Tinggi Karo, sedangkan Islam dominan di selatan.
Namun, orang Batak kebanyakan masih memasukkan unsur kepercayaan animisme tradisional dan ritual. Kepercayaan tradisional menggabungkan kosmologi, pemujaan leluhur dan roh dan tondi. Tondi adalah konsep jiwa, roh, hakikat individualitas seseorang yang diyakini untuk mengembangkan keyakinan sebelum anak lahir.
Orang Batak menganggap beringin sebagai pohon kehidupan dan berhubungan dengan legenda penciptaan mahakuasa dewa mereka Ompung Mulajadi Na Bolon:
Suatu hari Ompung bersandar santai terhadap pohon beringin besar dan copot sebuah dahan busuk yang jatuh ke laut. Dari cabang ini muncullah ikan dan semua makhluk hidup dari lautan. Tak lama kemudian, dahan lain jatuh ke tanah dan dari jangkrik dikeluarkan, ulat, lipan, kalajengking dan serangga. Cabang pecah menjadi potongan besar yang berubah menjadi harimau, rusa, babi hutan, monyet, burung dan semua binatang hutan. Cabang keempat yang tersebar di dataran menjadi kuda, kerbau, kambing, babi dan semua binatang domestik. Manusia muncul dari telur yang dihasilkan oleh sepasang burung yang baru dibuat, lahir pada puncak gempa kekerasan.
rumah adat batak karo

rumah batak toba
Arsitektur Tradisional rumah Batak yang dibangun di atas panggung satu sampai dua meter dari tanah. Sentuhan akhir bervariasi dari daerah ke daerah, tetapi semua mengikuti pola dasar yang sama. Terbuat dari kayu (slotted dan terikat bersama-sama tanpa kuku) dan beratap dengan serat aren.
Atapnya memiliki cekung, pelana tikungan, dan akhir setiap terbit di titik yang tajam yang, dari sudut tertentu, yang selalu dihiasi dengan tanduk kerbau. Di atas biasanya dihiasi dengan mosaik dan ukiran ular, spiral, kadal dan kepala rakasa lengkap dengan mata bulat.
rumah adat batak pakpak
rumah adat batak gayo
Ruang di bawah struktur utama digunakan untuk membesarkan hewan ternak seperti sapi, babi dan kambing. Tempat tinggal, atau bagian tengah, besar dan terbuka tanpa dinding dalam tetap dan sering dihuni oleh keluarga sampai selusin. Daerah ini biasanya dibelah oleh tikar rotan yang dibentangkan agar memberikan privasi parsial. Sebuah desa tradisional terdiri dari sejumlah rumah tersebut, mirip dengan desa-desa orang Toraja dari Sulawesi Tengah.
Ada banyak desa-desa tradisional menarik di sekitar Berastagi. Rumah-rumah memiliki atap yang sangat tinggi dan jauh lebih besar dari rumah orang dari Batak Toba. Sebuah desa Toba tradisional (huta) selalu dikelilingi oleh parit dan pohon bambu untuk melindungi desa dari serangan. Rumah-rumah di desa yang berbaris ke kiri dan kanan rumah raja. Di depan rumah adalah garis lumbung beras, digunakan untuk menyimpan hasil panen. Bahkan saat ini, jika anda berjalan sekitar Pulau Samosir, anda masih dapat melihat bagaimana desa-desa yang dirancang dengan pertahanan dengan pikiran yang matang.
Pengaruh budaya India juga ada pada orang Batak jelas dalam budidaya padi sawah, jenis rumah, catur, kapas dan bahkan jenis roda berputar, serta beberapa istilah dalam bahasa Batak, seperti "raja", "mangaraja" dan "debata".

sigalegale
(tobingcool.blogspot.com)
Sebuah tradisi murni Batak adalah tarian patung hidup 'sigalegale', yang dilakukan setelah upacara pemakaman, tapi sekarang lebih sering merupakan bagian dari upacara pernikahan. Patung hidup, ukiran dari kayu pohon beringin, adalah rupa seukuran seorang pemuda Batak. Hal ini mengenakan kostum tradisional sorban merah, kemeja longgar dan sarung biru. Sebuah ulos merah (sepotong kain persegi panjang tradisional digunakan untuk membungkus bayi bulat atau sekitar pengantin untuk memberkati mereka dengan kesuburan, persatuan dan harmoni) yang disampirkan di bahu.
Sigalegale ini berdiri di atas kotak kayu panjang, di mana tali yang berulir dan dioperasikan seperti katrol untuk memanipulasi gerakan anggota badannya. Hal ini memungkinkan operator untuk membuat tarian sigalegale musik diiringi seruling dan drum. Dalam beberapa penampilan pertunjukan sigalegale yang sedang menangis atau sedang merokok. Lidahnya dapat dibuat untuk menyodok keluar dan kelopak mata yang berkedip. Sigalegale ini sangat mirip dalam penampilan dengan patung 'tau tau' dari Tana Toraja di Sulawesi, meskipun tau-tau tidak bergerak.

Satu cerita tentang asal-usul patung hidup sigalegale, penuh kasih tapi punya anak, pasangan yang tinggal di Pulau Samosir. Kehilangan dan kesepian setelah kematian suaminya, sang istri membuat gambar kayu dari dirinya. Setiap kali ia merasa sangat kesepian, dia menyewa seorang dalang untuk membuat tari patung hidup dan dukun untuk berkomunikasi dengan jiwa suaminya melalui sebuah patung.
Kisah lain terjadi bahwa pernah ada seorang raja yang hanya memiliki satu anak, seorang putra. Ketika anaknya meninggal itu raja sudah sedih karena dia tidak memiliki penerus. Untuk mengenang anaknya yang telah tiada, sang raja memerintahkan dibuat patung kayu yang serupa dengannya dan ketika ia pergi untuk melihatnya untuk pertama kali, ia mengundang orang untuk mengambil bagian dalam pesta dansa.
Apa pun asal-usulnya, patung sigalegale segera menjadi bagian dari budaya Batak dan digunakan pada upacara pemakaman untuk menghidupkan kembali jiwa-jiwa orang mati dan untuk berkomunikasi dengan mereka. Milik pribadi almarhum digunakan untuk menghias boneka dan dukun akan mengundang jiwa almarhum untuk memasukkan boneka kayu seperti menari di atas kuburan. Pada akhir tarian, para penduduk desa akan melemparkan tombak dan panah di wayang sementara dukun melakukan upacara untuk mengusir roh jahat. Beberapa hari kemudian dukun akan kembali untuk melakukan upacara lain, kadang-kadang berlangsung 24 jam, untuk mengusir roh jahat lagi.

Menurut cerita dari tua-tua adat di tanah Batak, bahwa pada zaman dahulunya patung sigalegale dibuat penuh dengan ruas-ruas mengikuti bentuk struktur tulang-tulang pada manusia, dan setiap satu ruas patung dimasuki oleh satu roh jiwa orang mati, sehingga dalam patung sigalegale akan berisi beratus-ratus roh yang dapat menggerakkan setiap ruas sigalegale, dan patung sigalegale akan bergerak dan menari dengan sendirinya mengikuti alunan musik Batak, tidak seperti patung sigalegale yang sekarang, dikendalikan dengan tali dari belakang layar.

Seni dan kerajinan tradisional orang Batak adalah perajin logam terampil dan pengukir, bahan lain yang mereka gunakan adalah kerang, kulit, tulang dan tanduk. Mereka menghias pekerjaan mereka dengan simbol kesuburan, tanda-tanda ajaib dan hewan.
Salah satu bentuk yang sangat istimewa seni yang dikembangkan oleh orang Batak Toba adalah buku nujum sihir disebut pustaha. Buku-buku ini terdiri dari bagian paling penting dari sejarah tertulis mereka. Biasanya diukir dari kulit kayu atau bambu, mereka adalah catatan agama penting yang menjelaskan ritual lisan didirikan dan tanggapan dari imam dan pelayat. Selain buku, ada juga yang tertulis di tulang atau bambu dan hiasan dekorasi di setiap dokumen mitos Batak.

sumber:

  • batak.com
  • sirajabatak.com
  • tobingcool.blogspot.com
  • joegiardina.net
  • batakpost.com
  • gobatak.com
  • wikipedia
  • dan beberapa sumber lain
berita terkait:

Suku Abung

pakaian adat
suku Abung
Suku Abung, adalah salah satu suku yang berada di provinsi Lampung. Suku Abung ini berasal dari sekitar Kayuagung dan Mesuji kabupaten Ogan Komering Ilir provinsi Sumatera Selatan. Saat ini suku Abung telah tersebar di sepanjang pantai timur laut provinsi Lampung.

Suku Abung ini hidup di wilayah dataran tinggi, karena itu mereka juga dikenal sebagai masyarakat pegunungan. Dahulu mereka sangat ditakuti oleh suku-suku lain, karena pada masa dahulu mereka memiliki tradisi sebagai pemburu kepala.

Suku Abung terdiri dari 3 suku kecil (klan) yang dibedakan berdasarkan letak geografi dan bahasa yang mereka gunakan.
  • Abung, tinggal di daerah pegunungan yang masih berada di wilayah provinsi Lampung. 
  • Abung Pubian tinggal di bagian timur provinsi Lampung 
  • Abung Paminggir berada di pesisir sepanjang pantai Selatan.\

Asal Usul Suku Toraja

Kata sebuah legenda, ketika kehidupan di “Bumi” masih diatur langsung dari “Langit” oleh Puang Matua (Tuhan, Sang Pencipta), semua aktivitas keseharian di bumi berlangsung aman, tenteram, dan damai.Gemah ripah loh jinawi, kata orang jawa.

Bila ada masalah yang muncul dalam perikehidupan sehari-hari diutusla wakil penduduk Bumi ke langit menemui Puang Matua untuk meminta nasihat. Jalur transportasi-komunikasi yang digunakan adalah Eran diLangi,: sebuah tangga menjulang tinggi menuju langit yang sengaja diciptakan Puang Matua. Lalu, setelah Puang Matua bersabda atas persoalan yang dibentangkan ke hadapan-Nya, wakil penduduk Bumi itu pun turun lewat tanggga yang sama dan menyampaikan segala isi pembicaraanNya dengan Puang Matua kepada sekalian pendudukBumi untuk kemudian dijadikan pegangan hidup.

Selama beberapa generasi ruitinititas ini berjalan lancer. Sampai pada suatu ketika malapetaka itu muncul, berawal dari keinginan keluarga yang berniat mengawinkan anak mereka sesaudara kandung. Konon, keinginana itu dipicu oleh sikap pelit yang telah mereka kumpulkan kelek diwariskan kepada orang lain.

 Karena keinginan ini tidak umum, diutuslah anak lelakinya menemui Puang Matua di lagit untuk meminta petunjuk.Tak ada kata setuju dari Puang Matu. Akan tatapi, dasar manusia, seetiba di Bumi sang anak justru memutarbalikkan isi pesan Puang Matua, sehingga ia akhirnya “direstui” warga bumi untuk menghawini adik kandungnya sendiri.

Puang Matua pun marah. Penduduk Bumi kena tulah. Ancaman wabah dan kelaparan terjadi di mana-mana. Sesembahan dan ritus yang digelar oleh penduduk Bumi ditampik-Nya.

Di puncak kemarahanNya puang Matua merobohkan Eran diLangi’, sekaligus menandai putusnya jalur transportasi-komunikasi langsung antara Bumi dan Lngit. Sis-sia anak tangga menuju ke langit itu berkellimpangan jatuh ke Bumi, lalu membentuk bukit-bukit batu yang kini membentang dari wilayah Desa Rura kabupaten Enrekang hingga Rantepao di Tana Toraja.

TENTU saja itu semua hanya legenda. Akan tetapi, dalam kepercayaan asli masyarakat Toraja yang disebut Aluk Todolo, posisi legenda Eran diLangi’ tadi ternyata secara filosofis memiliki benang merah yang kuat dengan ceruta tentang asal-usul aluk itu sendiri.

Disebutkan bahwa ketika penghulu adat (tomina) mengajak penduduk naik ke langit untuk mencari aluk (baca:ajaran dan tata cara peribadatan), ia dihadapkan pada pertanyaan: jalan manakah yang harus ditempuh karena kini sudah tidak ada lagi tangga ke lagit?? Sejenak kemudian ia teringat pada ucapan pada leluhur bahwa tangga ke langit itu sama artinya dengan “pinggir bibirmu dan ia ada di ujung lidahmu”.

(Nakua tomina: Kendekki’ langnggan langi’ undaka’ Aluk. Na umbamo lakupolalan langngan ba’tangna langi’ na tae’o tu Eran diLangi’?? Apa nakua to diponene’: Samannamo Eran diLangi’ tu randan dipundukmu, samanamo enda’ dideata tu dara’ dilengko lilamu....)

 Selain percaya pada Puang Matua sebagai dewa tertinggi yang mengatur kehidupan di jagat Bumi, penganut kepercayaan Aluk Todolo juga percya pada berbagai kekuatan yang ada di sekelilingnya. Karena itu, ada berbagai upacara. Namun, pada dasarnya upacara-upacara itu terbagi dalam dua kelompok besar: upacara kegembiraan (rambu tuka’) dan upacara kesedihan (rambu solo’).

Dalam setiap upacara selalu ada unsur-unsur magis. Sebutla pada upacara ma’bugi yang konon menggunakan siklus lima tahunnan. Dalam upacara untuk mengusir wabah penyakit ini, kadang-kadang disertai ritus yang mereka sebut ma’terre.

Dalam ritus ini, dukun atau orang pintar yang bertindak sebagai pemimpin upacara menghapalkan mantra-mantra, lalu mereka yang terserang wabah biasanya kerasukan atau trance. Di tengah arena ditegakkan bamboo yang hanya dipegang oleh beberapa orang. Lalu, orang yang kerasukan tadi disuruh naik dan setiba dipuncak turun dengan posisi kepala kebawah. Sesampai di tanah, pemimpin upacara menancapkan pisau ke kening si “sakit” hingga berdarah-darah.

 “Anehnya, begitu luka tadi diusap dengan daun tabang (pepohonan sejenis perdu yang banyak tumbuh di kaki gunung di Tana Toraja), luka tadi langsung menutup. Tak ada bekas luka sama sekali dan orang tadi kembali sadar,” kata Ambe’Ato’, penduduk desa Durian, kecamatan Makale. Dia mengaku beberapa kali menyaksikan peristiwa “langkah” itu di tengah-tengah para pemeluk kepercayaan Aluk Todolo yang tinggal di sekitar Gunung Ke’pe’, masih dalam wilayah kecamatan Makale.

Kisah yang lebih seru adalah apa yang disebut “roh tebang”. Biasanya itu terjadi pada malam hari. Orang “sakti” pemilik ilmu ini secara fisik tengah tidur, tetapi rohnya terbang melanglang buana. Masyarakat percaya karena apa yang ia lihat selama ‘terbang’, lalu ia ceritakan pada pagi harinya, biasanya benar-benar terjadi. Misalnya, ia mengatakan bertemu roh sesorang yang dalam waktu dekat akan meninggal, ternyata beberapa hari kemudian terdengar lah berita ada orang meninggal dunia; orang dengan ciri-cirinya seperti yang ia ceritakan.

 “Memang sulit dipercaya , tetapi susah juga untuk tidak mempercayainya karena biasanya apa yang ia katakan terbukti kebenarannya. Akan tetapi, sekarang orang yang punya kemampuan seperti itu sudah tidak pernah lagi terdengar keberadaannya,”, kata Mangeka, yang semasa kecil masih sempat hidup di tengah-tengah segala sesuatu yang berbau magis dan mistis.

 Lepas dari itu semua, kalau kita datang ke Tana Toraja dan masuk ke dalam kehidupan masyarakat yang sebagian kecil masih menganut kepercayaan Aluk Todolo, mitos dan legenda adalah bagian dari keseharian mereka.


sumber:
- wikipedia
- torajakoe.blogspot.com
- dan sumber lain

Dayak Baraki

suku Dayak Baraki
(wildadventure-centralborneoisland.blogspot)
Suku Dayak Baraki, adalah salah satu di antara kelompok suku dayak yang bermukim di muara sungai Barito provinsi Kalimantan Selatan. Suku Dayak Baraki ini oleh para peneliti dikatakan sudah hampir tidak dapat diketahui lagi identitasnya, karena mereka telah berbaur dengan kelompok etnik banjar. Sebenarnya tidak begitu, karena sampai sekarang suku Dayak Baraki masih tetap eksis dan tetap mengaku sebagai orang dayak.
Beberapa situs menyebutkan bahwa suku Dayak Baraki adalah sama dengan suku Dayak Barangas, tetapi menurut orang Baraki mereka adalah etnis berbeda dengan orang Barangas, walaupun kemungkinan mereka berasal dari rumpun dan asal yang sama.

Orang Dayak Baraki, hidup di antara agama Islam yang menjadi mayoritas di wilayah provinsi Kalimantan Selatan. Karena itu suku Dayak Baraki terpengaruh untuk memeluk agama Islam dan tidak ada lagi yang masih mengamalkan agama asli suku dayak seperti agama Kaharingan. Suku Dayak Baraki tidak seperti suku dayak lain yang tidak mengaku dayak lagi apabila telah memeluk Islam, sampai hari ini mereka tetap mengaku sebagai orang Dayak.

Suku Dayak Baraki dalam berbahasa dan berkomunikasi sehari-hari memakai bahasa Melayu Banjar. Sebenarnya suku Dayak Baraki memiliki bahasa sendiri, tetapi diperkirakan hanya orang-orang tua yang sudah lanjut usia saja yang masih bisa bertutur dalam bahasa Dayak Baraki. Bahasa Baraki saat ini yang masih diucapkan oleh generasi usia menengah, biasanya sudah banyak menyerap atau terpengaruh bahasa Melayu Banjar.

Budaya dan adat istiadat suku Dayak Baraki juga terseret ke dalam budaya Melayu Banjar, sehingga budaya dan adat istiadat suku Dayak Baraki bisa dikatakan hampir musnah. Selain bahasa, budaya dan adat istiadat yang nyaris punah, sepertinya hanya tinggal pengakuan sebagai orang dayak saja yang masih tersisa dari suku Dayak Baraki.


sumber:

  • word-dialect.blogspot.com
  • wildadventure-centralborneoisland.blogspot.com
  • dayakbaru.com
  • wikipedia
  • dan sumber lain

Suku Dayak Umaq Kulit

Dayak Umaq Kulit
Suku Dayak Umaq Kulit, kadang disebut juga sebagai Lebu' Kulit, adalah salah satu sub-suku dari suku Dayak Kenyah. Orang Umaq Kulit mendiami beberapa wilayah, desa Long Kelawit, desa Long Lekiliu dan kecamatan Kayan Hulu, yang merupakan wilayah kabupaten Malinau, provinsi Kalimantan Timur.

Orang Umaq Kulit ini berada di dataran tinggi Apau Kayan, konon sebagai daerah asal orang Dayak Kenyah, berdekatan dengan garis perbatasan negara dengan Malaysia Timur. Di lingkungan alam hutan tropis yang masih perawan itu orang Umaq Kulit terkurung dalam isolasi, tidak banyak komunikasi dengan orang luar. Mereka hidup dari mata pencaharian utama berladang. Kehidupan mereka dalam lingkungan semacam itu penuh dengan tantangan. Itulah sebabnya mereka mencari jalan ke luar dengan mencari jalan melalui migrasi mencari tempat yang lebih memungkinkan mencari kesejahteraan.

Sebagian besar dari mereka telah bermukim di desa Long Bia, Peso, Bulungan. Sebagian di desa Lekak Paku, Kecamatan Tanjung Palas, Bulungan. Sebagian lainnya berdiam di desa Long Noran, Kecamatan Muara Wahau, Kutai Timur.


sumber:
- wikipedia
- melayuonline.com
- banuadayak.wordpress.com
- pedalaman-borneo.blogspot.com
- kenyahcommunity.blogspot.com
- dan berbagai sumber lain

Asal Usul Suku Dayak Banyadu


Dahulu seluruh orang Banyadu Purba mendiami sebuah wilayah perkampungan besar yang disebut Bandong,/semacam kota di itu. Perkampungan besar atau kota atau bandong ini bernama Banyuke. Banyuke ini merupakan tempat Temenggung berada. daerah Ketemenggungan Dayak Banyadu ini disebut Banua Satona. Kadang disebut juga sebagai Bandong Satona, atau Bandong (ibukota) dari Banua Satona.

Nenek moyang Dayak Banyadu kemudian menyebar keluar dari Bandong Banua-nya, menyebar secara bertahap, dengan menyusuri hilir sungai yang bernama sama seperti nama Bandong-nya yaitu sungai Banyuke. Tahap pertama mereka menyebar ke seluruh daerah kecamatan Banyuke Hulu dan Menyuke, lalu tahap berikutnya mereka menyebar ke daerah Ngabang dan terakhir mereka menyebar ke daerah Kabupaten Sanggau Kapuas. Akibatnya Banyuke yang sebelumnya berupa sebuah perkampungan besar/ kota (Bandong) lama-kelamaan mengecil hingga hanya menjadi sebuah kampung, karena ditinggal menyebar oleh penduduknya. Hal inilah yang menyebabkan Dayak Banyadu di zaman dulu dikenal dengan sebutan orang Banyuke karena mereka berasal dari Bandong (kota besar di masa silam) Banyuke. Sering terjadi kekeliruan akan masyarakat Dayak yang disebut Banyuke ini, terutama generasi muda sekarang dimana dalam anggapan mereka yang disebut orang Banyuke adalah Suku Dayak Kanayatn yang berdialek Banane alias orang Darit, padahal yang sebenarnya adalah untuk sebutan masyarakat Dayak Kanayatn yang berdialek Banyadu, hal ini tentu didasari oleh alasan bahwa semua desa atau semua penduduk yang tinggal di hilir tengah dan di hulu dari sungai yang mengalir di daerah tersebut adalah orang Banyadu, dan terlebih di karenakan asal kata Banyuke itu adalah dari nama sebuah Bandong (perkampungan besar di masa silam) orang Banyadu yang terletak di hulu sungai Banyuke tersebut. Selain itu menurut para peneliti di Formosa Taiwan juga terdapat suatu etnis yang masih berkerabat dekat dengan suku Dayak Banyadu. Diperkirakan etnis tersebut hijrah dari Kalimantan ke Taiwan kurang lebih 300 tahun yang lalu. Hal ini cukup diyakini, walaupun belum ada penelitian lebih lanjut mengenai ini.

Nenek moyang orang Banyadu yang telah menyebar ini kemudian membangun pemukiman-pemukiman awal di luar bandong mereka, pemukiman awal ini dikenal dengan sebutan Tammakng (baca:tambang). Penduduk desa awal atau desa asal alias Tamakng orang Banyadu di sepanjang sungai Banyuke dan anak-anak sungai Banyuke ini seperti masyarakat dayak lainnya juga melakukan kegiatan perladangan. Semakin lama semakin jauh ladang yang dibuka, akhirnya karena alasan sudah terlalu jauh dari kampung asal, maka para orang tua di masa itu berinisiatif mendirikan kampung-kampung baru di sekitar ladang mereka. Kampung baru itu disebut dengan istilah Varokng (baca: varong) yang bermakna sebagai kampung ladang. Seiring dengan perkembangan zaman dan peningkatan jumlah penduduk akhirnya varokng-varokng tersebut makin lama makin ramai. Desa-desa asal alias Tamakng orang Banyadu antara lain Tamakng Bale, Temia Ojol, Padang Pio, Loeng, Untang, Banyuke, Balantian dan lain-lain. Sementara desa-desa ladang atau Varokng seperti Tititareng, Sabah, Magon, Teriak, Sentibak, Peranuk, Temia Seo, Padang Manyun, Berinang Manyun, Sinto, Kampet, Sentibak dan lain-lain.

Istilah "Suku Dayak Banyadu" diambil dari istilah dalam bahasa mereka sendiri yaitu asal kata "nyadu" yang berarti "tidak". Kata ini digunakan sebagai istilah pembeda dialek dengan dialek Dayak lainnya. Dayak Banyadu sendiri merupakan salah satu anak suku dalam keluarga Dayak Kanayatn. diperhatikan dari bahasanya Dayak Banyadu bersama Dayak Bakati merupakan transisi antara keluarga Dayak Kanayatn dengan keluarga Dayak Bidayuh dimana sebagian bahasanya mirip atau sama dengan bahasa Kanayatn dan sebagian lagi mirip atau sama dengan bahasa Bidayuh. umumnya bunyi vokal bahasa Banyadu yang sama dengan bahasa keluarga Dayak Kanayatn lainnya cenderung berbunyi ke vokal "u" misal kata "ada" dalam bahasa Kanayatn lainnya pada Kanayatn Banyadu menjadi "adu" kata "sama" menjadi "samu" kata "datakng" menjadi "dutukng", "pesan' menjadi "pesun', "asap' menjadi "asup", "dalam" menjadi "dalum/darupm", "malam' menjadi "malum/ marupm", dan lain-lain.




sumber:
- wikipedia
- joshuaproject.net
- ethnologue.com
- llmap.org
- pedalaman-borneo.blogspot.com
- k-yu80.blogspot.com
- banuadayak.wordpress.com

Mithologi Suku Minahasa

Toar dan Lumimuut

Menurut cerita rakyat Minahasa bahwa orang Minahasa adalah keturunan Toar dan Lumimuut. 
Awalnya, keturunan Toar Lumimuut terdiri dari 3 kelompok, yaitu: Makatelu-pitu (tiga kali tujuh), Makaru-siuw (dua kali sembilan), Pasiowan-Telu (sembilan kali tiga). Tetapi terjadi perselisihan diantara kelompok-kelompok tersebut. Pemimpin mereka bernama Tona'as, kemudian memutuskan untuk melakukan pertemuan adat dan membicarakan masalah ini. Pertemuan berlangsung di Awuan (utara bukit Tonderukan). Pertemuan ini disebut Pinawetengan u-nuwu (membagi bahasa) atau Pinawetengan um-posan (membagi ritual). Pada pertemuan itu diputuskan bahwa ketiga kelompok keturunan tersebut diberi nama Tonsea, Tombulu dan Tontemboan. Di tempat Pertemuan ini berlangsung kemudian dibangun batu peringatan yang disebut Watu Pinawetengan (Batu Membagi).
Kelompok-kelompok Tonsea, Tombulu, Tontemboan dan kemudian mendirikan wilayah utama mereka yang berada Maiesu, Niaranan, dan Tumaratas masing-masing. Segera beberapa desa didirikan di luar wilayah. Desa-desa baru kemudian menjadi pusat berkuasa dari sekelompok desa disebut Puak, kemudian walak, sebanding dengan kabupaten masa kini.
Setelah sekian lama berselang datanglah orang-orang dari kelompok baru tiba di semenanjung Pulisan, karena adanya kelompok-kelompok baru ini, maka terjadilah berbagai konflik di daerah ini. Akhirnya orang-orang dari kelompok baru ini kemudian pindah ke pedalaman dan mendirikan desa-desa sekitar danau besar. Maka orang-orang ini disebut Tondano,atau Toulour (artinya orang air). Danau ini adalah danau Tondano sekarang.
Tahun-tahun berikutnya, kelompok lain datang lebih banyak ke Minahasa. Orang dari pulau Maju dan Tidore yang mendarat di Atep, yang menjadi nenek moyang sub-etnis Tonsawang. Sedangkan yang berasal dari Tomori Bay, merupakan nenek moyang dari sub-etnis Pasam-Bangko (Ratahan dan Pasan). Kemudian orang dari Bolaang Mangondow yang merupakan nenek moyang Ponosakan (Belang). Lalu orang dari kepulauan Bacan dan Sangi, yang kemudian mediami daerah Lembeh, pulau Talisei, Manado Tua, Bunaken dan Mantehage, yang menjadi sub-etnis Bobentehu (Bajo).
Pendaratan pertama kelompok-kelompok ini di tempat yang sekarang disebut Sindulang. Mereka kemudian mendirikan sebuah kerajaan yang disebut Manado hingga tahun 1670 dan kemudian menjadi walak Manado.
Orang dari wilayah Toli-toli, pada awal abad 18, pertama mendarat di Panimburan dan kemudian melanjutkan perjalanan ke daerah Bolaang Mangondow dan akhirnya menetap di Malalayang. Orang-orang ini merupakan nenek moyang dari sub-etnis Bantik.

Ini lah ke 9 sub-etnis di Minahasa, yang menjelaskan jumlah 9 di Manguni Maka-9:
  • Tonsea
  • Tombulu
  • Tontemboan
  • Tondano
  • Tonsawang
  • Ratahan Pasan (Bentenan) atau (Tounpakewa)
  • Ponosakan
  • Babontehu
  • Bantik

 Pejuang Minahasa 
Nama Minahasa, muncul pada saat Minahasa  berperang melawan Bolaang Mangondow. Pejuang-pejuang Minahasa dalam perang melawan Bolaang Mangondow adalah: Porong, Wenas, Dumanaw dan Lengkong (dalam perang dekat desa Lilang), Gerungan, Korengkeng, Walalangi (dekat Panasen, Tondano), Wungkar, Sayow, Lumi, dan Worotikan (dalam perang bersama Amurang Bay).


sumber:
- wikipedia
- manadoinfo01.wordpress.com
- kaskus.us
- theminahasa.net

Suku Minahasa

Di ujung paling utara pulau Sulawesi terdapat suatu suku bangsa yang berciri fisik ras mongolloid, yaitu suku Minahasa. Diduga suku bangsa ini berasal dari Formosa Taiwan sejak ribuan tahun SM, keturunan suku bangsa Austronesia di Formosa Taiwan, yang masuk melalui Filipina dan terus ke Sulawesi. Banyak terdapat kemiripan bahasa dari bahasa Minahasa dengan bahasa-bahasa di Formosa Taiwan.

Orang Minahasa memiliki nama marga, yang dipakai di belakang nama masyarakat Minahasa. Di Indonesia bagian Tengah dan Timur nama marga biasa disebut fam, yang berarti "nama keluarga". Marga Minahasa diambil dari nama keluarga yang digunakan oleh kepala rumah tangga, dengan demikian umumnya nama anak dari sebuah keluarga akan ditambahkan nama keluarga sang ayah di belakangnya.

watu pinawetengan
Minahasa purba, diperkirakan telah ada seribu tahun sebelum Masehi. Seorang peneliti memperkirakan bahwa suku Minahasa adalah keturunan langsung dari bangsa Mongol, karena terdapat persamaan dalam menganut kepercayaan kuno, Shamanisme, seperti suku lain di Kalimantan yaitu suku Dayak dan juga Korea. Diperkirakan sejak zaman Megalith suku Minahasa telah ada dan berkembang di tanah Sulawesi bagian Utara, dan menyebar ke beberapa bagian Sulawesi Tengah. Keberadaan suku Minahasa diperkirakan telah ada ribuan tahun sebelum Masehi, sezaman dengan suku Toraja, Batak dan Dayak.

kuburan batu purba minahasa
Banyak para peneliti yang memasukkan suku Minahasa ke dalam kelompok deutromalayan (deutro malayu/ melayu muda), tapi dilihat dari sisa peninggalan sejarah yang pernah ditemukan adalah berupa "Kuburan Purba" suku Minahasa dan penemuan prasasti di atas batu ber "Aksara Malesung", yang bernama "Watu Pinawetengan", yang berusia jauh lebih tua dari prasasti-prasasti lain di Indonesia, juga "Watu Rerumeran, Watu Tiwa" dan lain-lain, menunjukkan bahwa orang Minahasa Purba telah mengalami sejarah masa lalu yang tua, sezaman dengan bangsa-bangsa protomalayan lainnya.

Budaya Minahasa yang terkenal adalah Budaya "Mapalus", yaitu suatu budaya yang berpegang pada suatu sistem atau teknik kerjasama untuk kepentingan bersama dalam budaya Suku Minahasa. Secara fundamental, Mapalus adalah suatu bentuk gotong-royong tradisional yang memiliki perbedaan dengan bentuk-bentuk gotong royong. Secara filosofis, Mapalus mengandung makna dan arti yang sangat mendasar. Mapalus sebagai Local Spirit and Local Wisdom Masyarakat Minahasa yang terpatri dan berkohesi didalamnya: 3 (tiga) jenis hakekat dasar pribadi manusia dalam kelompoknya, yaitu: Touching Hearts, Teaching Mind, and Transforming Life. Mapalus adalah hakekat dasar dan aktivitas kehidupan orang Minahasa yang terpanggil dengan ketulusan hati nurani yang mendasar dan mendalam (touching hearts) dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab menjadikan manusia dan kelompoknya (teaching mind) untuk saling menghidupkan dan mensejahterakan setiap orang dan kelompok dalam komunitasnya (transforming life). Menurut buku, The Mapalus Way, mapalus sebagai sebuah sistem kerja memiliki nilai-nilai etos seperti, etos resiprokal, etos partisipatif, solidaritas, responsibilitas, gotong royong, good leadership, disiplin, transparansi, kesetaraan dan trust.

tari cakalele minahasa
Bangsa Minahasa Purba, pertama kali dikenal dengan nama Battacina pada masa ribuan tahun sebelum masehi, yang hidup dengan cara-cara nomaden, berkelana di rimba Sulawesi. Mereka memiliki ras mongoloid, berkulit kuning sampai coklat, rambut lurus dan tinggi sedang. Hidup dalam kelompok-kelompok kecil, yang menggunakan bahasa paling sederhana. Seiring berkembangnya waktu, mereka mulai berhubungan dengan bangsa-bangsa lain di Sulawesi Tengah yang juga sudah ada penduduknya, tapi beberapa suku di Sulawesi Tengah banyak yang memiliki ras weddoid dan polinesia, berkulit gelap dan rambut ikal bergelombang dan badan kekar. Diperkirakan pertemuan mereka dengan suku-suku lain di Sulawesi Tengah terjadi perselisihan dan peperangan. Selain bahasa yang tidak nyambung, pada masa itu mereka adalah bangsa yang suka berperang. Karena terjadi perselisihan mereka bergerak ke arah Sulawesi bagian utara  Mereka menemukan tempat di daerah pegunungan yang mirip dengan tempat asal mereka dahulu di dataran tinggi Yunnan di China Selatan dan Formosa Taiwan, yaitu di gunung Wulur-Mahatus. Di tempat inilah mereka merubah identitas mereka dengan nama Malesung. Di sinilah awal perjalanan mereka sebagai suatu kelompok suku Minahasa Tua yaitu Malesung. Karena berkembangnya suku Malesung ini, maka jumlah mereka bertambah banyak, sehingga mereka terpecah menjadi banyak suku yang tersebar-sebar ke seluruh wilayah Sulawesi Utara dan Sulawesi Tengah. Hanya saja waktu terjadinya musyawarah di Watu Pinawetengan, hanya dihadiri oleh 3 suku saja. Apabila ditelusuri berdasarkan bahasa, sebenarnya banyak keturunan-keturunan suku Malesung (Minahasa Tua) yang berada di Sulawesi Tengah, hanya saja karena telah terpisah ribuan tahun, sehingga garis asal-usul mereka tidak dapat ditelusuri lagi.

Menurut Jessy Wenas, bahwa ada 3 suku yang berpartisipasi dalam musyawarah di Watu Pinawéténgan. Dikatakan musyawarah adat pembagian di Watu Pinawetengan terjadi pada zaman Malesung, sekitar abad ke-7, orang Minahasa masih terdiri dari 3 sub-etnik besar, yaitu:
  • Tountewoh
  • Tombulu
  • Tongkimbut

Disebut oleh Jessy Wenas, ada 3 suku yang berpartisipasi, berarti kemungkinan besar masih ada beberapa suku lain yang tidak ikut dalam musyawarah di Watu Pinawetengan tersebut.

Sedangkan menurut pendapat Dr. J.P.G. Riedel, sekitar tahun 670, Musyawarah di Watu Pinawetengan membagi wilayah Minahasa berdasarkan 4 anak suku, yaitu:
  • Tountewoh
  • Tombulu
  • Toulour
  • Tompakewa

Pada masa zaman Malesung (Proto Minahasa/ Minahasa Tua), keturunan Toar dan Lumimuut, yang awalnya hanya terdiri dari 1 Taranak (Kelompok Masyarakat), yang berdiam di pegunungan Wulur-Mahatus, dibagi menjadi 3 Taranak, yaitu: 
  • Makarua Siouw   , sebagai pengatur ibadah dan adat
  • Makatelu Pitu      , yang terkuat, sebagai pengatur pemerintahan
  • Pasiowan Telu    , menjadi rakyat biasa

Makatelu Pitu sebagai Taranak yang terkuat, dan berhak memegang pemerintahan pada seluruh Wanua, yang terdiri dari:.
    • Tombulu
      • Tombariri
      • Tomohon (Tou Muung)
      • Sarongsong
      • Kakaskasen
      • Ares
      • Kalawat Atas (Klabat Atas)
      • Kalawat Wawa (Klabat Bawah)
      • Likupang.

    Di luar suku-suku di atas, yang berasal dari daerah lain, tapi tergabung dalam kelompok Minahasa, yang tidak ikut serta dalam musyawarah di Watu Pinawetengan, adalah:
    • Bantik(datang dari Sulawesi Tengah, nenek moyang juga berasal dari Toar-Lumimuut)
    • Babontehu, (datang dari Moro-Mindanao, nenek moyang juga berasal dari Toar-Lumimuut))
    • Borgo, (berasal dari keturunan campuran Minahasa - Portugis-Spanyol-Belanda)
    dan,
    • Tou Ure,  tinggal menetap di pegunungan Wulur - Mahatus. "Tou Ure" berarti "orang lama".
    • Keturunan Opok Suawa, pergi ke wilayah Gorontalo

    Saat ini, yang diakui sebagai suku besar Minahasa, adalah:
    1. Tountemboan
    2. Tombulu
    3. Tonsea
    4. Toulour / Tondano
    5. Tonsawang - Tombatu
    6. Bantik
    7. Ponosakan
    8. Pasan dan Ratahan (Bentenan)
    9. Babontehu
    10. Borgo

    Mayoritas masyarakat suku Minahasa beragama Kristen. Mereka memiliki hubungan erat dengan negara barat. Hubungan pertama dengan orang Eropa terjadi saat pedagang Spanyol dan Portugal tiba di sana. Saat orang Belanda tiba, dan memperkenalkan agama Kristen ke seluruh masyarakat Minahasa. Agama Kristen tumbuh dengan kuat dalam kehidupan masyarakat suku Minahasa. Setiap perkampungan memiliki beberapa bangunan gereja.

    Bahasa di Minahasa:

    bahasa di Minahasa













    Dalam sejarah Minahasa, hanya satu Taranak yang menurunkan suku-suku di Minahasa, yaitu Taranak Makatelu Pitu. Sedangkan untuk 2 Taranak lainnya, seperti Taranak Makarua Siouw dan Pasiowan Telu tidak diketahui sejarah kelanjutannya.

    Istilah-istilah penting dalam suku Minahasa:
    • walian         : pemimpin agama / adat serta dukun
    • tonaas         : ahli di bidang pertanian, kewanuaan dan dipilih menjadi kepala walak
    • teterusan     : panglima perang
    • potuasan     : penasehat
    • wanua         : wilayah pemukiman besar/ utama
    • taranak       : kelompok suku besar
    • pakasa'an  : anak suku
    • walak          : klan, atau suku kecil di bawah pakasa'an
    • fam              : nama keluarga (marga)
    sumber:
    sumber lain dan foto:
    baca juga:

    Suku Dayak Kanayatn

    Dayak Kanayatn, adalah salah satu suku Dayak yang mendiami pulau Kalimantan, tepatnya di daerah kabupaten Landak, Kabupaten Pontianak, Kabupaten Bengkayang, sebagian kecil di kabupaten Ketapang serta kabupaten Sanggau.

    Penari Dayak Kanayatn
    Pakaian Tradisional suku Dayak Kanayatn terbuat dari kulit Tarab atau Kapuak/Kapoa'. Bajunya berbentuk Rompi yang disebut Baju Marote atau baju uncit. Cawatnya terbuat dari Kain tenun atau kulit Kayu yang disebut Kapoa. Serta mahkota atau ikat kepala yang dalam bahasa ahe disebut Tangkulas. Tangkulas ini biasanya dihiasi dengan bulu Ruai/Kuau Raja, serta bulu Enggang. Terkadang, jika bulu burung Ruai tidak ada, bisa diganti dengan Anjuang Merah.

    Upacara adat yang biasa diadakan oleh suku ini antara lain Naik Dango, Muakng Rate, Gawai Dayak, dan lain-lain.

    Agama
    Religi asli suku Dayak Kanayatn tidak terlepas dari adat istiadat mereka. Bahkan dapat dikatakan adat menegaskan identitas religius mereka. Dalam praktik sehari-hari, orang dayak kanayatn tidak pernah menyebut agama sebagai normativitas mereka, melainkan adat. Sistem religi ini bukanlah sistem hindu Kahuringan seperti yang dikenal oleh orang-orang pada umumnya.

    Orang Kanayatn menyebut Tuhan dengan istilah Jubata. Jubata inilah yang dikatakan menurunkan adat kepada nenek moyang Dayak Kanayatn yang berlokasi di bukit bawakng (sekarang masuk wilayah kabupaten Bengkayang). Dalam mengungkapkan kepercayaan kepada Jubata, mereka memiliki tempat ibadah yang disebut panyugu atau padagi. Selain itu diperlukan juga seorang imam panyangahatn yang menjadi seorang penghubung, antara manusia dengan Tuhan ( Jubata ).

    Sekarang ini banyak orang Dayak Kanayatn yang menganut agama Kristen dan segelintir memeluk Islam. Kendati sudah memeluk agama, tidak bisa dikatakan bahwa orang Dayak Kanayatn meninggalkan adatnya. Jika seorang Dayak Kanayan memeluk agama Islam, ia tidak lagi disebut Dayak, melainkan Melayu atau orang Laut.

    Bahasa
    Dayak Kanayatn memakai bahasa ahe/nana' serta damea/jare dan yang serumpun. Sebenarnya secara isologis (garis yang menghubungkan persamaan dan perbedaan kosa kata yang serumpun) sangat sulit merinci khazanah bahasanya. Ini dikarenakan bahasa yang dipakai sarat dengan berbagai dialek dan juga logat pengucapan. Beberapa contohnya ialah : orang Dayak Kanayatn yang mendiami wilayah Meranti (Landak) yang memakai bahasa ahe/nana' terbagi lagi ke dalam bahasa behe, padakng bekambai, dan bahasa moro. Dayak Kanayatn di kawasan Menyuke (Landak) terbagi dalam bahasa satolo-ngelampa', songga batukng-ngalampa' dan angkabakng-ngabukit. selain itu percampuran dialek dan logat menyebabkan percampuran bahasa menjadi bahasa baru.

    Banyak Generasi Dayak Kanayatn saat ini tidak mengerti akan bahasa yang dipakai oleh para generasi tua. Dalam komunikasi saat ini, banyak kosa kata Indonesia yang diadopsi dan kemudian "di-Dayak-kan". Misalnya ialah :bahasa ahe asli : Lea ,bahasa indonesia : seperti ,bahasa ahe sekarang : saparati .Bahasa yang dipakai sekarang oleh generasi muda mudah dimengerti karena mirip dengan bahasa indonesia atau melayu.

    Lembaga Adat
    Suku Dayak merupakan bagian dari masyarakat adat. Masyarakat adat adalah komunitas-komunitas yang hidup berdasarkan asal usul keturunan diatas suatu wilayah adat, yang memiliki kedaulatan atas tanah dan kekayaan alam, kehidupan sosial-budayanya diatur oleh hukum adat dan lembaga adat yang mengelola keberlangsungan hidup masyarakatnya.

    Hukum adat Dayak Kanayatn mempunyai satuan wilayah teritorial yang dusebut binua. Binua merupakan wilayah yang terdiri dari beberapa kampung (dulunya radakng/ bantang). Masing masing binua punya otonominya sendiri, sehingga komunitas binua yang satu tidak dapat mengintervensi hukum adat di binua lain.

    Setiap binua dipimpin oleh seorang timanggong(kepala desa). timanggong memiliki jajaran-bawahan yaitu pasirah (kepala dusun) dan pangaraga (ketua RW/RT). Ketiga pilar inilah yang menjadi lembaga adat Dayak Kanayatn.

    Sistem Kekerabatan
    Sistem pertalian darah suku Dayak Kanayatn menggunakan sistem bilineal/parental (ayah dan ibu). Dalam mengurai hubungan kekerabatan, seorang anak dapat mengikuti jalur ayah maupun ibu. Hubungan kekerabatan terputus pada sepupu delapan kali. Hubungan kekerabatan ini penting karena hubungan ini menjadi tinjauan terutama pada perkara perkawinan. Mungkin hal ini dimaksudkan agar tidak merusak keturunan.


    Lagu-lagu Dayak Kanayatn:


    sumber:
    - word-dialect.blogspot.com
    - dayakpost.com
    - wikipedia
    - youtube
    - dan berbagai sumber




    Suku Dayak Kadazan

    Suku Dayak Kadazan, adalah salah satu etnis Dayak yang bermukim di Sabah Malaysia. Beberapa penulis sering menggabungkan Dayak Kadazan dengan Dayak Dusun, karena menggunakan bahasa yang sama. Tetapi sebenarnya Dayak Kadazan dan Dayak Dusun adalah dua etnis yang berbeda tapi mirip atau mirip tapi berbeda, sehingga muncul istilah Dayak Kadazan-Dusun. Istilah Kadazan-Dusun ini wujud dari hasil penggabungan etnik Kadazan dan Dusun serta beberapa etnik kecil lain. Penggabungan ini adalah akibat pertelingkahan politik. Lagipula, perbedaan antara kaum Kadazan dan Dusun tidak begitu berbeda..Beda antara bahasa Kadazan dan Dusun ialah seperti bahasa Malaysia dan bahasa Indonesia.

    Orang Kadazan, seperti halnya orang Dusun memiliki perayaan yang berbeda daripada suku Dayak lainnya, yaitu perayaan Tadau Kamaatan (Haverst Day). Orang Kadazan tidak mempunyai pengaturan dalam hal mempunyai anak, sehingga mereka cenderung memiliki banyak anak. Dalam berbagai hal, suku Kadazan memiliki tradisi kuat dalam ilmu mistik. Pada saat ini mereka ini telah memeluk agama Kristen (Protestan dan Katholik) serta Islam, namun walaupun begitu mereka masih mempertahankan sebagian adat resam dahulu. Perkawinan campur antara Orang Cina, Kadazan dan Dusun,  telah melahirkan etnis baru yang disebut "Sino Kadazan-Dusun" di Pinampang, Tembunan, Ranau dan Kuala Penyu.

    Tun Fuad Stephens, Huguan Siou (Pemimpin Agung) pertama Kadazan, menyatakan istilah Kadazan digunakan untuk menyatukan 14 suku kaum kelompok Kadazan yang berdialek sama, tetapi orang Dusun menginginkan penggabungan yang lebih besar. Dengan itu istilah Kadazan-Dusun dipilih sebagai nama dari suku besar akibat penggabungan puluhan sub-suku dari Kadazan dan Dusun.

    Suku-suku yang membentuk Kadazan-Dusun, terdiri dari 41 suku, yaitu:
    1. Bisaya
    2. Bonggi
    3. Bundu
    4. Dumpas
    5. Gana
    6. Garo
    7. Idaan
    8. Kimaragang
    9. Kolobuan
    10. Kuijau
    11. Labuk
    12. Lingkabau
    13. Liwan
    14. Lobu
    15. Lotud
    16. Lundayeh
    17. Makiang
    18. Malapi
    19. Mangkaak/kunatong
    20. Minokok
    21. Murut
    22. Ngabai
    23. Paitan
    24. Pingas
    25. Rumanau
    26. Rungus
    27. Sinobu
    28. Sinorupu
    29. Sonsogon
    30. Sukang
    31. Sungai
    32. Tagahas
    33. Tatana
    34. Tangara
    35. Tidong
    36. Tindal
    37. Tobilung
    38. Tolinting
    39. Tombonuo
    40. Tuhawon
    41. Tutung
    Lazimnya masyarakat daripada subetnik yang disebut di atas adalah berasal (mendiami) kawasan-kawasan tertentu umpamanya Kimaragang di daerah Kota Marudu, Lotud di daerah Tuaran, Orang Sungai di daerah Kinabatangan, Sugut, Paitan dan Pitas. Kebanyakan orang Kadazan-Dusun menganuti agama Kristen. Bagi Orang Sungai yang tinggal di daerah Pitas, mereka menganut agama Islam manakala daerah-daerah lain seperti Kinabatangan (Tongod) dan Paitan, Orang Sungai beragama Islam dan Kristen. Masyarakat Lotud (Suang Lotud) turut mendiami kawasan Pantai Barat Selatan negeri Sabah terutamanya Tuaran, Tamparuli, Telipok dan dan sedikit di Kota Belud (Tempasuk). Mereka hidup secara kolektif dengan mendiami rumah panjang yang mengumpulkan beberapa keluarga, iaitu antara 150 - 200 orang. Walau bagaimanapun, pada masa kini, rumah panjang jarang dilihat dalam etnik ini. Kebanyakannya telah mengalami pembangunan fizikal dan mental.
    Jadi saat ini hampir tidak bisa dibedakan mana kelompok Kadazan dan mana kelompok Dusun, karena sebanyak 41 suku ini telah berbaur di dalam nama baru Dayak Kadazan-Dusun.

    gadis kecil Dayak Kadazan
    Perayaan Adat
    Pesta Kaamatan (Menuai) disambut oleh Kadazan-Dusun sebagai merayakan tuaian baik. Pesta Kaamatan disambut sepanjang bulan Mei, walaupun perayaan ini diadakan hanya pada tanggal 30 dan 31 Mei. Puncak perayaan Kaamatan adalah peraduan ratu cantik atau unduk ngadau, tarian tradisi, dan upacara puncak yang dipimpin oleh Bobohizan "ketua pendita"
    Pesta Kaamatan bagi kaum Kadazan juga dikenali sebagai 'Tadau Ka'amatan' dalam bahasa Kadazan-Dusun.
    Kadazan percaya kepada makhluk halus dan dipercayai terdapat lima makhluk halus: Kinoringan (Ketua makluk halus & Pencipta), Rusod (semangat semua benda hidup kecuali manusia), Koududuwo (semangat manusia), Tombiruo (semangat orang yang telah meninggal), dan Rogon (semangat jahat).
    Menurut kepercayaan Kadazan, semangat padi merupakan Kinoingan (Kinorohingan dalam dialek Dusun) yang dikenali sebagai Bambaazon, disembah sebagai pencipta dan berkuasa sumber kepada kewujudan. Semangat padi Bambaazon dimuliakan pada pokok padi, beras, dan nasi. Banyak yang meyakini bahwa "tanpa padi, tiada kehidupan".
    Ketika pesta Kaamatan, penduduk Sabah mengenakan pakaian tradisi mereka dan bersuka-ria. Selain menari Sumazau dengan alat muzik tradisi, tapai (arak beras) dihidangkan sebagai minuman istimewa. Penduduk Sabah akan menyapa sesama mereka dengan ucapan 'Kopivosian Tadau Ka'amatan' atau 'Selamat Hari Menuai'.

    Makanan
    Makanan tradisi yang terkenal di kalangan kaum Kadazan-Dusun ialah Hinava, Noonsom, Pinaasakan, Bosou, Tuhau, Sup Kinoring Bakas dan Sup Manuk Lihing. Makanan-makanan ini dapat disediakan dengan pelbagai cara mengikut kebiasaan amalan tradisi kaum Kadazan-Dusun.

    tari Sumazau, Dayak Kadazan
    Tarian
    Tarian Sumazau merupakan tarian tradisi Kadazan-Dusun yang terkenal di seluruh Malaysia. Tarian ritualnya memenuhi pelbagai fungsi seperti mengucap kesyukuran yang berkaitan dengan kegiatan menanam dan menuai padi dan untuk menolak bala, menyemah semangat, dan mengobati penyakit.
    Irama Sumazau adalah perlahan. Alat alat pengiring tarian adalah set gong dan gendang. Pasangan penari berhadapan dan menggerak-gerakkan kaki berlangkah kecil, sementara tumit kaki diangkat-turunkan mengikut irama. Ketika menari tangan dikepakkan keluar, gerakannya turun naik seperti burung terbang. Biasanya Sumazau ditarikan pada masa hari Perayaan Majlis Jamuan Pesta Kaamatan.

    Pakaian tradisional
    Pakaian Tradisional Dayak Kadazan disebut "Penampang". Pakaian menggunakan kain hitam yang bersulamkan benang emas, digunakan pada saat sambutan Pesta Menuai.

    Sedangkan pakaian tradisional Dayak Dusun Tindal Kota Belud dipanggil 'Sinipak'.


    sumber:
    - dayakpost.com
    - melayuonline.com
    - bincang.net
    - kawanlah.com
    - sabah.edu.my
    - e-borneo.blogspot.com
    - jurnaltoddoppuli.wordpress.com
    - muluview.blogspot.com
    - wikipedia
    - dan sumber lain



    Suku Dayak Banyadu

    seorang perempuan Banyadu
    Suku Dayak Banyadu, mendiami kawasan Kalimantan Barat, Indonesia. Banyak bermukim di daerah kecamatan Banyuke hulu, Banyuke Darit, Meranti, Serimbu dan di kecamatan Ngabang, di kota Ngabang kabupaten Landak serta di kecamatan Teriak,di kota Bengkayang, di beberapa desa di kecamatan Samalantan dan di desa-desa transmigrasi di seluruh kabupaten Bengkayang serta di kecamatan Tayan Hulu dan kota Sosok, kecamatan Tayan dan kecamatan Kembayan kabupaten Sanggau Kapuas.

    Banyadu di Taiwan
    Menurut beberapa peneliti menyatakan bahwa di Taiwan terdapat suatu suku yang nyaris mirip dan menggunakan bahasa juga hampir 80 % sama dengan bahasa Dayak Banyadu. Suku tersebut suku Bunun yang bertempat tinggal di Alisan daerah pegunungan di Formosa Taiwan. Kemungkinan suku Bunun ini adalah nenek moyang suku Dayak Banyadu yang menyeberang ke Kalimantan sejak ribuan tahun yang lalu. Tetapi ada yang beranggapan suku Bunun justru keturunan suku Dayak Banyadu yang hijrah ke Taiwan kira-kira 300 tahun yang lalu. Mana yang benar ? sepertinya para peneliti perlu melakukan penelitian yang lebih mendalam.

    seorang imam Banyadu
    Adat dan Budaya
    Adat budaya masyarakat Banyadu umumnya sama dengan adat Dayak rumpun Klemantan lainnya, yang membedakannya hanya pada istilah penyebutannya saja, yaitu salah satu adat budayanya "Baliatn" umumnya dijalankan dengan menggunakan bahasa Dayak Kanayatn yang berdialek Bananna meskipun dukun Balian-nya asli orang Banyadu. Inilah salah satu alasan di samping bahasanya yang menyebabkan Dayak Banyadu dikelompokkan ke dalam keluarga Dayak Kanayatn. Sebagaimana masyarakat Dayak lainnya pada masa lampau Orang Banyadu juga tinggal di rumah-rumah panjang (rumah Betang atau rumah Bantang) namun sekarang ini tidak ada satupun desa mereka yang masih menyisakannya. Ketika orang Banyadu mendirikan rumah tinggal tunggal (Lamin atau Ramin). Mereka membuat rumah mereka masih mirip rumah panjang, hal ini dilihat dari bentuknya yang juga memanjang hanya saja panjangnya tidak sepanjang rumah panjang komunal. Sampai saat ini rumah-rumah panjang tunggal ini masih terdapat di beberapa desa saja seperti di desa Berinang Manyun ada dua buah jika masih ada alias belum dibongkar.
       
    Agama
    Orang Banyadu memiliki agama adat, yang menurut masyarakat Dayak di Kalimantan Tengah disebut Kaharingan. Sistem kepercayaan monoteis yang berpusat pada satu Tuhan yang disebut Jubata. Dalam mengontrol dunia Jubata dibantu oleh Sangiakng-sangiakng atau semacam malaikat pada agama Kristen. Ketika imam Banyadu melakukan ritual agama adat sering nama Jubata disebut-sebut sebagai Jubata yang di gunung, atau gunung di daerah ini atau daerah itu, hal ini bukan berarti bahwa Jubata tersebut banyak jumlahnya namun lebih bermakna bahwa sang kuasa (Tuhan) ada dimana-mana atau berkuasa atas segala sesuatu. Jubata pada masyarakat Dayak Banyadu seperti pada masyarakat Dayak Kanayatn disebut-sebut berdiam atau tinggal di surga atas (Saruga Samo) atau secara khusus disebut dengan istilah Sabayatn. Di masa sekarang orang Banyadu menganut agama Kristen Katholik, dan Kristen Protestan dan sisanya tetap mempertahankan agama Kaharingan.

    sumber:
    • dayakpost.com
    • joshuaproject.net
    • ethnologue.com
    • llmap.org
    • pedalaman-borneo.blogspot.com
    • k-yu80.blogspot.com
    • banuadayak.wordpress.com
    • wikipedia
    • dan sumber lain

    lihat juga: