Showing posts with label Aceh. Show all posts
Showing posts with label Aceh. Show all posts

Suku Gayo Serbejadi (Lukup)

suku Gayo Serbejadi
Suku Gayo Serbejadi (Lokop, Lukup), adalah sub-suku Gayo yang berdiam di kabupaten Aceh Timur provinsi Aceh.

Konon suku Gayo Serbejadi ini, adalah kelompok masyarakat yang berasal dari orang Gayo Lues, Deret dan Lut, yang bermigrasi ke wilayah ini. Hidup selama berabad-abad menyatu membentuk suatu komunitas yang sedikit berbeda dengan etnis Gayo lainnya, sehingga mereka disebut sebagai etnis Gayo Serbejadi atau Gayo Lukup. Mereka memiliki budaya yang sedikit berbeda dengan kelompok Gayo lainnya. Tetapi walaupun begitu mereka tetap mengakui diri mereka sebagai Urang Gayo, dengan embel-embel Serbejadi.

Orang Gayo Serbejadi ini memiliki bahasa yang agak berbeda dengan bahasa Gayo lainnya, tapi walaupun begitu, di antara mereka masih dapat berkomunikasi dengan baik dengan etnis Gayo lainnya. Mereka mengatakan suku Gayo cuma satu, hanya saja karena sejak dahulu mereka telah tersebar-sebar ke beberapa wilayah, sehingga sebutan untuk mereka juga jadi berbeda-beda.

Masyarakat suku Gayo Serbejadi mayoritas adalah pemeluk agama Islam. Mereka adalah pemeluk Islam yang taat. Sehingga segala kebudayaan dan adat-istiadat yang mereka amalkan mengandung unsur Islami. Walaupun mereka taat dalam beragama, tetapi mereka menerima segala kalangan dari berbeda agama untuk hidup berdampingan di wilayah mereka. Wilayah pemukiman mereka saat ini banyak dimasuki pendatang dari berbagai wilayah di Sumatra, bahkan dari luar Sumatra.

Kehidupan masyarakat suku Gayo Serbejadi ini pada umumnya hidup sebagai petani, perladangan, dan bercocok tanam sayur-sayuran, cabe merah, kakao, tembakau dan kopi arabica yang tersebar di berbagai wilayah pemukiman suku Gayo Serbejadi.

sumber:
  • sosekling.pu.go.id
  • wikipedia
  • dan sumber lain

Suku Gayo Lues

tari Saman
kesenian suku Gayo Lues
Suku Gayo Lues, adalah sub-suku Gayo yang berdiam di kabupaten Gayo Lues dan beberapa kecamatan di Aceh Tenggara, juga sebagian kecil terdapat di Aceh Selatan provinsi Aceh.

Pemukiman suku Gayo Lues ini yang berada di kabupaten Gayo Lues, berada di gugusan pegunungan Bukit Barisan, sebagian besar wilayahnya merupakan area Taman Nasional Gunung Leuser yang terisolasi di provinsi Aceh.

Kebudayaan dan adat-istiadat sub-suku Gayo Lues, hampir tidak ada perbedaan dengan sub-suku Gayo lainnya, seperti Gayo Serbejadi (Lukup), Gayo Kalul, Gayo Lut dan Gayo Deret. Hanya saja dibedakan dari dialek yang digunakan, mereka memiliki dialek yang berbeda dengan sub-bahasa Gayo lainnya.

Walaupun memiliki dialek yang berbeda dengan kelompok Gayo lainnya, tapi mereka bukanlah suku yang berbeda dengan suku Gayo lainnya, mereka tetaplah suku Gayo. Mungkin karena wilayah mereka yang berbeda dan terpisah dengan etnis Gayo lainnya, serta dialek yang mereka ucapkan sedikit berbeda, oleh karena itu mereka disebut sebagai Gayo Lues.

Masyarakat suku Gayo Lues, mayoritas memeluk agama Islam, yang pada masa dahulu dibawa oleh orang Aceh dan orang Minangkabau yang keturunannnya juga banyak bermukim di wilayah ini. Mereka adalah penganut Islam yang taat, sehingga beberapa kebudayaan mereka banyak mengandung unsur Islami.

Suku Gayo Lues walaupun hidup di pegunungan yang termasuk daerah terisolasi, tetapi mereka menerima kehadiran pendatang dengan tangan terbuka. Mereka memiliki sikap yang ramah terhadap siapapun, sehingga wilayah Gayo Lues saat ini telah banyak dimasuki pendatang dari berbagai wilayah dari daerah Sumatra, dan dapat hidup berdampingan secara damai.

Kehidupan masyarakat suku Gayo Lues, pada umumnya hidup pada bidang pertanian, seperti bercocok tanam sayur-sayuran, cabe merah, serai wangi, kakao, tembakau dan kopi arabica.

sumber:
  • ismatantawi.blogspot.com
  • nakarasido.com
  • wikipedia
  • dan sumber lain
foto:
  • nakarasido.com

Suku Gayo Deret

Suku Gayo Deret, disebut juga sebagai Gayo Linge, adalah sub-suku Gayo yang berdiam di daerah Linge dan sekitarnya (masih merupakan bagian wilayah kabupaten Aceh Tengah di provinsi Aceh.

Kebudayaan dan adat-istiadat sub-suku Gayo Deret, sebenarnya hampir tidak ada perbedaan dengan sub-suku Gayo lainnya, seperti Gayo Serbejadi (Lukup), Gayo Kalul, Gayo Lut dan Gayo Lues. Hanya saja dibedakan dari aksen yang digunakan, mereka memiliki aksen sedikit berbeda dengan sub-bahasa Gayo lainnya.

Di wilayah Gayo Deret inilah dahulunya pernah berdiri sebuah kerajaan besar sekitar abad X, yang bernama Kerajaan Linge (Kerajaan Lingga). Kerajaan Lingga ini adalah kerajaan yang didirikan oleh orang-orang Gayo pada masa lalu, yang raja pertamanya bernama Genali. Konon, orang Gayo lah pemeluk Islam lebih dahulu daripada orang Aceh yang menjadi mayoritas di provinsi Aceh ini.

koin peninggalan Kerajaan Linge
Orang Gayo Deret, dilihat dari adat-istiadat dan budaya, tidak jauh berbeda dengan adat-istiadat dan budaya dari puak Gayo yang lain. Hanya terdapat perbedaan istilah saja dalam penyebutan beberapa istilah budaya dan adat-istiadat mereka. Menurut mereka orang Gayo Deret dengan puak Gayo lainnya, adalah sama, hanya karena terpisah oleh wilayah yang berbeda saja, maka mereka disebut sebagai Gayo Deret. Sedangkan istilah Deret sendiri, tidak diketahui berasal dari mana. Tetapi beberapa orang tua dari masyarakat Gayo Deret mengatakan bahwa Deret, adalah nama seseorang yang dahulunya diberi tugas oleh sang Raja mereka untuk memelihara seluruh jenis binatang yang berada di wilayah adat mereka ini.

Kehidupan masyarakat Gayo Deret juga semakin maju dari tahun ke tahun, mereka semakin menunjukkan eksistensi sebagai orang Gayo, walau berada di tengah-tengah budaya mayoritas suku Aceh di provinsi Aceh ini. Dahulu mereka dalam berkomunikasi dengan masyarakat lain di luar komunitas mereka, biasanya mengaku sebagai orang Aceh, karena kuatir kalau menyebut kata "dari gayo", karena "konon" orang tidak tahu apa itu "orang gayo". Tetapi saat ini, mereka lebih berani untuk menyebut diri sebagai orang Gayo, dan bukan Aceh lagi. Karena secara budaya dan adat-istiadat, mereka berbeda dengan budaya dan adat-istiadat Aceh.
Dilihat dari ciri fisik dan bahasa, orang Gayo berbeda dengan orang Aceh. Bahasa Gayo justru lebih berkerabat dengan bahasa Batak, terutama dengan bahasa Batak Karo dan Batak Pakpak.

Masyarakat Gayo Deret, awalnya hidup pada bidang pertanian, perladangan serta bercocok tanam berbagai jenis sayur-sayuran dan buah-buahan. Saat ini mereka lebih mencoba pada tanaman keras seperti kopi, kakao dan lain-lain.

diolah dari berbagai sumber

foto:
  • ayundafirsty.blogspot.com
  • lintasgayo.com

Suku Gayo Kalul

tari Bines
kesenian suku Gayo Kalul
Suku Gayo Kalul, adalah sub-suku Gayo yang berdiam di kabupaten Aceh Tamiang provinsi Aceh.

Secara adat dan budaya, suku Gayo Kalul ini tidaklah berbeda dengan puak Gayo yang lainnya, dikarenakan wilayah pemukiman mereka yang berada terpisah dari puak Gayo lainnya, sehingga mereka disebut sebagai Gayo Kalul.

Kebudayaan dan adat-istiadat sub-suku Gayo Kalul, hampir tidak ada perbedaan dengan sub-suku Gayo lainnya, seperti Gayo Serbejadi (Lukup), Gayo Deret, Gayo Lut dan Gayo Lues. Hanya saja dibedakan dari dialek yang digunakan, mereka memiliki dialek yang berbeda dengan sub-bahasa Gayo lainnya. Beberapa kata dari bahasa Gayo Kalul memiliki beberapa perbedaan, tapi masih dapat dipahami oleh puak Gayo lainnya, misalnya dalam penyebutan orang, kalau dalam bahasa Gayo pada umumnya menyebut kata "orang" adalah "jema", sedangkan dalam bahasa Gayo Kalul menjadi "urang". Walaupun terdapat beberapa perbedaan dalam perbendaharaan kata dalam bahasa Gayo Kalul, tetapi mereka masih dapat saling berkomunikasi dengan puak Gayo lainnya.

Masyarakat Gayo Kalul, pada umumnya hidup sebagai petani di ladang dan kebun yang berada di sekitar wilayah pemukiman mereka. Saat ini banyak dari mereka yang telah bekerja di sektor swasta dan pemerintahan. Tidak sedikit dari mereka yang mulai merantau ke wilayah lain, seperti ke Banda Aceh, Medan hingga sampai ke pulau Jawa.

diolah dari berbagai sumber

foto:
  • simehate.wordpress.com

Suku Gayo Lut

danau Laut Tawar
daerah pemukiman suku Gayo Lut
Suku Gayo Lut, adalah sub-suku Gayo yang berdiam di sekitar danau Laut Tawar. kabupaten Aceh Tengah provinsi Aceh.

Suku Gayo Lut, disebut sebagai Gayo Lut, karena wilayah kediaman mereka yang berada di sekitar danau Laut Tawar yang dalam bahasa Gayo disebut danau Lut Tawar. Selain disebut Gayo Lut, kadang mereka disebut juga sebagai Gayo Laut.

Pemukiman suku Gayo Lut, dahulunya terdiri dari rumah-rumah panggung yang panjangnya bisa mencapai 20 hingga 30 meter, dan lebarnya bisa mencapai 10 meter. Dengan bagian bawah, tempat menyimpan binatang ternak seperti sapi dan kambing. Saat ini telah banyak berubah, dan bentuk rumah dibangun sejajar dengan tanah.

Untuk kebudayaan dan adat-istiadat, tidak ada perbedaan dengan sub-suku Gayo lainnya, seperti Gayo Serbejadi (Lukup), Gayo Deret, Gayo Kalul dan Gayo Lues. Hanya saja dibedakan dari dialek yang digunakan, mereka memiliki dialek yang berbeda dengan sub-bahasa Gayo lainnya.

Masyarakat suku Gayo Lut, mayoritas pemeluk agama Islam. Agama Islam telah lama berkembang di wilayah ini, konon menurut cerita mereka, agama Islam lebih dahulu masuk ke masyarakat Gayo dari pada ke suku Aceh.

suku Gayo Lut
Pada umumnya kehidupan masyarakat Gayo Lut, adalah berprofesi sebagai petani, seperti menanam padi di sawah, berladang, bercocok tanam berbagai jenis sayur-sayuran. Mereka juga menanam tanaman keras seperti kopi arabica, yang saat ini semakin berkembang dan terkenal, seperti kopi Gayo.
Selain itu beberapa dari mereka hidup sebagai nelayan penangkap ikan di danau Laut Tawar.
Saat ini, tidak sedikit dari masyarakat Gayo Lut yang telah berhasil di perantauan, menjadi pengusaha ataupun pejabat pemerintahan

sumber:
  • lintasgayo.com
  • sosekling.pu.go.id
  • wikipedia
  • dan sumber lain
foto:
  • buzzerbeezz.wordpress.com
  • lintasgayo.com

Suku Batak 27 (Batak Bebesen)

Suku Batak 27, atau suku Batak Bebesen, adalah suatu kelompok masyarakat yang berada di dalam adat istiadat suku Batak Gayo, yang dahulunya berasal dari tanah Batak tanah Utara yang bermigrasi ke wilayah Tanah Gayo. Suku Batak 27 ini bermukim di wilayah Bebesen, yang masih termasuk wilayah adat suku Gayo.

Dahulu banyak orang Batak dari tanah Utara datang ke Tanah Gayo dengan bermacam-macam cara, yang kini bermukim di sebelah barat Danau Laut Tawar, Pengasingan serta Celala, sekarang keturunannya tidak dapat dibedakan lagi. Akan tetapi, ada satu kenangan yang masih melekat dalam benak orang Gayo, yaitu yang terjadi terhadap anak buah Reje Cik Bebesan dan Ketol. Seterusnya adalah pada keturunan salah seorang reje yang ternama dan terkemuka di Tanah Gayo yang mendiami bagian timur daerah aliran sungai Jemer yaitu, Reje Linge. Orang Gayo yang dimaksud ialah orang Gayo Bebesen yang berdiam di bagian barat Danau Laut Tawar yang kalau bertengkar dengan kampung tetangganya sering diejek Batak Bebesan atau Batak 27.

Dalam cerita rakyat tersebut dikisahkan tentang seorang yang bernama Lebe Keder, yang datang untuk menuntut bela kematian kawannya yang meninggal karena dibunuh dan hartanya dirampok. Ketika itu, sebanyak 20 orang Batak, yang salah satunya bernama Lebe Keder, lewat Alas dan Tanah Gayo, berangkat menuju Aceh, dengan tujuan untuk masuk Islam dan belajar mengaji. Selain untuk ongkos dan belanja sendiri, mereka juga membawa titipan ongkos untuk pulang bagi tujuh teman mereka. Melihat pundi-pundi penuh dengan uang, timbul niat jahat dalam hati salah seorang raja Gayo, yaitu Reje Bukit, yang memerintah di bagian barat Danau Laut Tawar yang mengajaknya bermain judi.

Ternyata, pada waktu itu, Reje Bukit bernasib sial. Dia kalah dan mau tidak mau harus merelakan sebagian kekayaannya berpindah ke dalam pundi-pundi orang Batak Utara tadi. karena dihantui oleh perasaan marah, kesal, malu dan iri, Reje Bukit nekad memancung salah seorang di antara mereka, lalu menggantungkan kepalanya di atas sebatang pohon bambu tidak jauh dari Bebesan. Karena itulah tempat itu disebut Pegantungan sampai saat ini. Kesembilan belas orang-orang Batak Utara pun merasa takut dan langsung melarikan diri menuju Aceh untuk menemui kawan-kawannya, sekaligus bermaksud untuk mengadukan kezaliman reje Gayo tersebut kepada raja Aceh. Sultan memberi mereka restu untuk memerangi reje Gayo itu dan yakin bahwa mereka akan dapat mengalahkannya, tetapi Reje Bukit sendiri tidak boleh dibunuh.

Pada serangan balasannya, ke 26 orang dari Batak Utara ini mengalahkan pasukan Reje Bukit. Reje Bukit sendiri, dalam keadaan panik, melarikan diri dan tersesat ke dalam suatu paya (rawa-rawa) dekat kampung Kebayakan, sehingga tempat itu disebut Paya Reje sampai saat ini. Setelah itu dibuatlah perjanjian yang menyatakan bahwa Reje Bukit bersama anak buahnya ditunjuk untuk menempati kampung Kebayakan sekarang dan ke-26 orang Batak Utara tersebut, yang semua sudah masuk Islam, menempati wilayah yang sekarang sudah menjadi kampung induk Raja Cik, yaitu kampung Bebesen. Di tempat ini mereka berkembang dan keturunannya disebut sebagai suku Batak Bebesen atau suku Batak 27.

Dalam kalangan suku Batak 27 ini juga berkembang tradisi marga-marga yang masih dipertahankan oleh mereka hingga saat ini. Marga-marga tersebut adalah Munthe, Cibero, Melala, Lingga dan Tebe.

sumber:
  • rajabatak2.wordpress.com
  • wikipedia
  • dan sumber lain

Suku Aneuk Jamee

suku Aneuk Jamee
Suku Aneuk Jamee, adalah suatu masyarakat adat yang telah lama bermukim di provinsi Aceh, yang tersebar di kabupaten Aceh Selatan, kabupaten Aceh Barat, kabupaten Aceh Barat Daya dan kabupaten Nagan Raya.

Suatu keunikan dari suku Aneuk Jamee ini adalah bahasanya adalah hasil dari pembauran beberapa bahasa yang ada di Sumatra. Apabila didengarkan maka bahasa Aneuk Jamee ini mirip dengan bahasa Minangkabau, juga mirip seperti bahasa Aceh, dan juga mirip dengan bahasa Melayu. Akibat dari kemiripan-kemiripan ini, bahasa Aneuk Jamee sering dianggap sebagai suatu dialek dari bahasa Minangkabau.

Menurut masyarakat Aceh sendiri, bahwa suku Aneuk Jamee ini adalah suku pendatang, walau mereka telah tinggal lama sejak ratusan tahun yang lalu, istilah pendatang tetap melekat pada diri mereka. Tetapi bagi masyarakat Aneuk Jamee sendiri, mengatakan bahwa mereka telah menjadi penghuni wilayah ini sangat lama sekali, sudah sejak beratus-ratus tahun yang lalu.

Suku Aneuk Jamee ini menurut cerita, berasal dari Ranah Minang. Orang Aceh setempat menyebut mereka sebagai "Aneuk Jamee" yang berarti tamu atau pendatang. Umumnya suku Aneuk Jamee terkonsentrasi di kabupaten Aceh Selatan dan kabupaten Aceh Barat Daya . Selain itu terdapat kelompok-kelompok kecil yang menetap di sekitar kawasan Meulaboh, kabupaten Aceh Barat, sekitar kawasan Sinabang, kabupaten Simeulue, kabupaten Aceh Singkil dan kota Subulussalam. Menurut cerita, konon ketika pecahnya perang paderi, para pejuang paderi mulai terjepit oleh serangan kolonial Belanda. Minangkabau yang pada saat itu merupakan bagian dari kerajaan Aceh meminta bala bantuan tentara Aceh. Ketika keadaan makin kritis, rakyat terpaksa dieksoduskan, pada saat itulah rakyat Minangkabau bertebaran di sepanjang pesisir pantai Barat-Selatan Aceh. Umumnya bahasa minang tetap digunakan sebagai bahasa ibu, namun proses perjalanan waktu yang sekian lama telah mengakibatkan bahasa tersebut berasimilasi dengan bahasa Aceh, sehingga jadilah "bahasa aneuk jamee" sebagaimana yang dituturkan saat ini. Di samping banyak menerima serapan kata dari bahasa Aceh, secara umum tidak banyak perubahan, hanya terdapat beberapa konsonan dan vokal serta sedikit dialeknya yang berubah.

senyum seorang anak gadis
suku Aneuk Jamee
 
Orang Aceh menyebut mereka sebagai Aneuk Jamee yang berarti tamu atau pendatang. bahasa yang digunakan bukan bahasa Minang lagi tapi Bahasa Jamee, bahasa yang mirip tapi tidak sama.

Masyarakat Aneuk Jamee sejak awal telah memeluk agama Islam, sehingga kehadiran mereka di wilayah ini tidak mendapat pertentangan dari penduduk setempat. Sampai saat ini mereka hidup rukun dengan suku-suku lain di wilayah ini seperti suku Alas, suku Gayo, suku Singkil dan lain-lain.
Beberapa tradisi budaya suku Aneuk Jamee juga sangat kental dengan aroma Islami nya.

Kehidupan masyarakat suku Aneuk Jamee sehari-hari adalah sebagai petani di ladang, dan juga sebagian sebagai nelayan. Banyak juga dari mereka yang berprofesi sebagai pedagang. Selain itu di halaman rumah mereka kadang memelihara hewan ternak seperti ayam, bebek, kambing dan sapi.

sumber:
sumber lain dan foto:

Suku Julu

Suku Julu, adalah suatu komunitas suku yang berada di kabupaten Aceh Singkil daratan. Suku Julu ini sering disebut sebagai bagian dari suku Singkil, kadang disebut juga sebagai bagian dari kelompok suku Pakpak, selain itu mereka disebut juga sebagai bagian dari suku Boang.

Menurut penuturan beberapa masyarakat suku Boang, dahulu mereka memang berasal dari daerah Boang Pakpak, tetapi mereka telah lama tinggal di wilayah ini, dan mereka berbeda agama dengan suku Boang yang berada di wilayah kabupaten Pakpak Bharat. Jadi mereka lebih suka kalau disebut sebagai orang Julu atau suku Julu, dan beberapa malah menyatakan mereka berbeda dengan suku Boang. Selain itu mereka juga tidak mau disebut sebagai bagian dari suku Singkil. Mereka menyatakan bahwa mereka adalah suku Julu, bukang Boang apalagi Singkil.
Walaupun saat ini mereka telah menyatakan terpisah dari suku Pakpak, dan telah berdiri sendiri sebagai suatu suku tersendiri, yang memiliki bahasa dan budaya sendiri, tetapi biar bagaimanapun juga yang pasti mereka berasal dari rumpun yang sama dengan suku Pakpak,
Secara budaya, suku Julu ini berbeda dengan suku Singkil, serta bahasa yang diusung oleh suku Julu, juga lebih dekat dengan bahasa Pakpak. Hal ini menunjukkan bahwa suku Julu memang berkerabat atau berasal dari suku Batak Pakpak.

Suku Julu saat ini sebagian besar memeluk agama Islam, akibat pengaruh dari budaya dan tradisi masyarakat di kabupaten Aceh Singkil yang pada umumnya beragama Islam. Tetapi adat dan budaya suku Julu sampai saat ini masih tetap dipertahankan, walaupun sudah agak terpengaruh oleh budaya Islam.

Suku Julu sebagian besar hidup sebagai petani di dataran tinggi, seperti bertanam sayur-sayuran, dan berbagai jenis tanaman lain.

sumber:
  • harian-aceh.com
  • wikipedia
  • dan sumber lain

Suku Tamiang

suku Tamiang
Suku Tamiang, adalah suatu kelompok masyarakat yang berada di kabupaten Aceh Tamiang, yaitu di kecamatan Karang Baru, kecamatan Kejuruan Muda, Kecamatan Kota Kuala Simpang, kecamatan Seruway, kecamatan Tamiang Hulu dan kecamatan Bendahara.

Bahasa Tamiang memiliki kesamaan bahasa dengan bahasa masyarakat suku Melayu Langkat yang berada di kabupaten Langkat provinsi Sumatera Utara. Dan juga budaya yang diusung oleh suku Tamiang juga mirip dengan budaya suku Melayu Langkat.

Masyarakat Tamiang pada mulanya mendiami beberapa kecamatan yang tersebar di kabupaten Aceh Timur, yang pada tahun 2002 berganti nama menjadi kabupaten Aceh Tamiang. Pemberian nama Aceh Tamiang dikarenakan wilayah ini dihuni oleh mayoritas etnis Tamiang.



senyum manis dari penari
tari ula-ula lembing
suku Tamiang
Asal usul masyarakat etnis Tamiang, belum dapat dipastikan, karena tidak adanya bukt-bukti sejarah secara tertulis yang akurat untuk menjelaskan asal muasal suku bangsa Tamiang ini.
Beberapa cerita rakyat dan legenda yang ada pada masyarakat Tamiang pun dijadikan petunjuk untuk menelusuri asal usul suku Tamiang ini. Salah satunya terdapat legenda yang mengisahkan bahwa nama Tamiang berasal dari nama salah satu gugusan pulau yang terletak di Riau, yang konon merupakan daerah asal nenek moyang mereka.
Cerita lain mengatakan bahwa suku Tamiang berasal dari keturunan 
sebuah kerajaan yang bernama Kerajaan Aru. Kerajaan Aru adalah sebuah kerajaan yang berada di pantai sebelah timur pulau Sumatra. 

Menurut perkiraan beberapa penulis di jalur web, mengatakan bahwa suku Tamiang ini diperkirakan dahulunya adalah pendatang dari tanah Melayu, seperti dari Sumatra Timur dan Riau, yang bermigrasi ke wilayah ini. Di wilayah ini beberapa melakukan perkawinan campur dengan penduduk setempat yang sudah ada di wilayah tersebut, yang akhirnya membentuk suatu komunitas tersendiri dengan budaya dan bahasa tersendiri.

Adapun daerah yang banyak dihuni oleh masyarakat Tamiang dapat dikelompokkan dalam dua bagian. Pertama, daerah yang terletak pada bagian barat dari Kabupaten Aceh Timur, yang terdiri dari Kecamatan Karang Baru, Kecamatan Kejuruan Muda dan Kecamatan Tamiang Hulu. Kedua, yang terletak pada daerah pantai, pemukiman penduduk berada di antara daerah yang berawa-rawa dan berhutan bakau. Sedangkan daerah pedalaman yang menjadi daerah pemukimannya adalah daerah yang berdekatan dengan hutan alam dan daerah perkebunan besar, seperti karet dan kelapa sawit.


tarian suku Tamiang
Di Tanah Tamiang ini pernah berdiri sebuah kerajaan, yang bernama Kerajaan Benua Tamiang. Seperti halnya dengan Peureulak demikian juga dengan Tamiang; artinya sampai saat ini belum terdapat kesamaan pendapat mengenai kapan masuk, berkembang dan tumbuhnya kekuatan politik Islam di sana. Menurut A.Hasjmy raja pertama yang memerintah di kerajaan Islam Benua Tamiang ialah Raja Meurah Gajah (580-599 H = 1184-1203 M) dan raja yang terakhir ialah Raja Muda Sedia (753-800 H = 1353-1398 M). Sedang menurut Majelis Ulama Kabupaten Aceh Timur, raja pertama yang memerintah di sana ialah Raja Muda Sedia (1330-1352 M) dan raja terakhir ialah Raja Po Garang (1490-1528 M); setelah masa pemerintahannya, yaitu pada masa pemerintahan Raja Sri Mengkuta (1528-1558 M). Kerajaan benua Tamiang digabungkan ke dalam federasi Kerajaan Aceh Darussalam yang mulai dibangunkan pada tahun 1514 oleh Sultan Ali Mughayat Syah (sultan yang pertama, 1514-1530 M). Tampaknya pendapat dari Majelis Ulama Kabupaten Aceh Timur searah dengan pendapat yang dikemukakan oleh H.M. Zainuddin dalam bukunya “Tarich Atjeh dan Nusantara".

Masyarakat suku Tamiang, hidup pada bidang pertanian, seperti bertani dan bercocok tanam di ladang. Selain itu mereka juga memelihara beberapa hewan ternak seperti ayam, bebek, kambing dan sapi. Saat ini kehidupan masyarakat Tamiang sudah lebih maju, karena banyak yang sudah bekerja di sektor pemerintahan dan juga di sektor swasta seperti berdagang atau membuka usaha mandiri.


sumber:
  • harian-aceh.com
  • dirmanmanggeng.wordpress.com
  • foto: tanohaceh.com
  • foto: flickr.com
  • wikipedia
  • dan sumber lain

Marga Suku Alas

Suku Alas, adalah suatu suku yang bermukim di dataran tinggi Bukit Barisan, yang berada di kabupaten Aceh Tenggara (yang lazim disebut Tanah Alas).

Sejak abad ke-18 dan 20, wilayah Tanah Alas banyak dimasuki para pendatang dari luar daerah, seperti dari Gayo, Aceh, Singkil, Pak-Pak, Karo, Toba, Minang, Mandailing dan China. Karena banyaknya para pendatang tersebut, maka masyarakat suku Alas kembali menampakkan identitas nya untuk membedakan masyarakat mereka dengan para pendatang, dengan mencantumkan nama marga (merge) di belakang nama depan mereka.

Marga pada suku Alas, adalah:
  • Selian
  • Sekedang
  • Beureueh
  • Pinem
  • Mahe
  • Acih
  • Seucawan
  • Ramut
  • Deski
  • Klieng
  • Sambo
  • Bangko

sumber:
  • harian-aceh.com
  • wikipedia
  • dan sumber lain

Suku Sigulai

pantai Sigulai
Suku Sigulai, kadang disebut juga sebagai suku Salang, adalah suatu komunitas suku yang mendiami pulau Simalur bagian utara. Suku Sigulai ini sebagian besar bermukim di kecamatan Simalur Barat dan kecamatan Alafan. Mereka juga mendiami sebagian desa di kecamatan Salang, kecamatan Teluk Dalam dan kecamatan Simalur Tengah.

Suku Sigulai termasuk salah satu suku asli di kepulauan Simalur ini, bersama-sama dengan suku Devayan, Lekon dan Haloban. Tidak adanya sejarah asal usul suku Sigulai ini secara tertulis, sehingga tidak diketahui secara pasti asal usul suku Sigulai ini. Hanya saja beberapa perkiraan para penulis di beberapa situs di web, mengatakan bahwa suku Sigulai ini dahulu berasal dari tempat yang sama dengan suku Devayan, Lekon, Haloban dan Nias serta Mentawai. Karena secara fisik suku Sigulai ini termasuk ke dalam ras mongoloid yang dahulunya bermigrasi ke wilayah ini bersama-sama suku Nias, Mentawai, Devayan, Lekon dan Haloban, dan tersebar-sebar ke beberapa wilayah di pulau dan kepulauan di sebelah barat pulau Sumatra. Salah satunya suku Sigulai ini yang menetap di daerah ini sampai sekarang.

Masyarakat suku Sigulai mayoritas telah memeluk agama Islam yang begitu kuat mempengaruhi wilayah ini, sehingga beberapa seni-budaya suku Sigulai terasa nilai-nilai Islami nya.

Bahasa Sigulai, masih berkerabat dengan bahasa Devayan, juga dengan bahasa Lekon dan Nias. Walaupun berbeda tetapi masih terdapat kemiripan dalam perbendaharaan kata serta dialeknya. Bahasa Sigulai sendiri saat ini berada di tengah-tengah dominasi bahasa Aneuk Jamee yang menjadi bahasa pengantar di wilayah ini. Selain bahasa Aneuk Jamee, bahasa Aceh juga turut mempengaruhi kehidupan berbahasa suku-suku asli di pulau Simalur ini. Sehingga kalangan generasi muda suku Sigulai cenderung berbicara dalam bahasa Aneuk Jamee dalam kehidupan pergaulannya. Bahasa Sigulai sendiri, tinggal diucapkan di wilayah perkampungan, di rumah-rumah dan kalangan suku Sigulai saja.

Kehidupan suku Sigulai dalam kesehariannya rata-rata sebagai nelayan dan sebagian memilih sebagai petani di ladang.

sumber:



  • harian-aceh.com
  • foto: obeytea.blogspot.com
  • wikipedia
  • dan sumber lain

Suku Lekon

Suku Lekon, adalah suatu masyarakat adat yang terdapat di kecamatan Alafan kepulauan Simalur (Simeulue) di provinsi Aceh. Suku ini bermukim di desa Lafakha dan desa Langi.

Suku Lekon ini diperkirakan hadir di kepulauan Simalur ini bersama-sama dengan suku Devayan, Sigulai dan Haloban, juga beserta suku Nias, Mentawai dan Enggano, yang pada perjalanan migrasi bangsa Proto Malayan dari daratan Indochina pada sekitar 7000 tahun yang lalu. Tersebar-sebar di beberapa pulau dan kepulauan yang membentuk komunitas suku-suku tersendiri. Tidak diketahui secara pasti, apakah mereka dahulunya berasal dari satu komunitas atau memang sejak awal sudah menjadi beberapa etnis yang berbeda. Tetapi apabila dilihat dari kemiripan bahasa antara bahasa Lekon dengan bahasa Devayan, juga dengan bahasa Nias, diperkirakan dahulunya mereka berasal dari suatu tempat yang sama atau juga berasal dari satu etnis yang sama. Hanya saja, karena telah terpisah-pisah sekian lama, maka bahasa dan adat-istiadat mereka pun mengalami perubahan.

Secara fisik suku Lekon ini berbeda dengan suku Aceh yang menjadi mayoritas di provinsi ini. Karena suku Lekon ini memiliki ciri-ciri fisik berkulit kuning dan bermata agak sipit, yang menunjukkan bahwa mereka termasuk ke dalam ras mongoloid, seperti suku Devayan, Sigulai, Haloban, Nias, Mentawai dan Enggano.
Bahasa Lekon sering dianggap sebagai dialek dari bahasa Devayan, karena terdapat banyak kemiripan dari perbendaharaan kata dan dialek. Bahasa Lekon, saat ini terdesak oleh bahasa Aneuk Jamee yang lebih mudah diucapkan, sehingga mempengaruhi generasi muda Lekon untuk lebih suka berbicara dalam bahasa Aneuk Jamee yang menjadi bahasa pengantar di wilayah kepulauan Simalur ini. Suku Aneuk Jamee, adalah komunitas pendatang campuran suku Minang, Melayu dan Aceh, yang juga telah lama menetap di wilayah ini. Perkembangan suku Aneuk Jamee sangat pesat dalam berkembang biak, sehingga bahasa Aneuk Jamee pun pesat mempengaruhi kehidupan suku-suku asli di kepulauan Simalur ini. Masyarakat suku Lekon selain bisa berbicara dalam bahasa Aneuk Jamee, mereka juga bisa berbicara dalam bahasa Devayan.

Masyarakat suku Lekon, biasanya dalam kegiatan sehari-hari hidup sebagai nelayan, tetapi ada juga yang lebih memilih untuk bertani di ladang. Selain itu mereka juga memelihara hewan ternak seperti ayam, bebek, kambing dan sapi.

sumber:
  • dari berbagai sumber
  • dan wikipedia

Suku Haloban

perkampungan nelayan suku Haloban
Suku Haloban, adalah suatu komunitas suku yang bermukim di kabupaten Aceh Singkil, tepatnya berada di kecamatan Pulau Banyak. Kecamatan Pulau Banyak merupakan suatu kecamatan yang terdiri dari tujuh desa dengan ibukota kecamatan terletak di desa Pulau Balai.

Suku Haloban ini hidup di kepulauan Banyak, yang berada di pesisir sebelah barat pulau Sumatra. Mereka adalah penghuni asli di kepulauan Banyak ini. Secara fisik dan ras mereka berbeda dengan suku Aceh yang menjadi mayoritas di provinsi Aceh. Mereka memiliki ras mongoloid, berkulit kuning dan bermata agak sipit, seperti penduduk dari pulau Nias dan Mentawai.
Di pulau Banyak ini, suku Haloban hidup berdampingan dengan suku pendatang yang telah lama menetap di wilayah ini, seperti suku Aneuk Jamee dan suku Nias.

masyarakat Haloban
Suku Haloban berbicara dalam bahasa Haloban, yang masih berkerabat dekat dengan bahasa Devayan di pulau Simalur (Simeulue), dan juga dengan bahasa Nias di kepulauan Nias.  Bahasa Haloban sendiri saat ini  hampir tergeser oleh bahasa para pendatang yang semakin banyak memenuhi wilayah pulau Banyak ini. sehingga bahasa Haloban saat ini hanya digunakan di rumah-rumah atau di kalangan mereka sendiri. Sedangkan para generasi mudanya banyak yang lebih suka berbicara dalam bahasa Aneuk Jamee atau bahasa Aceh.

Asal usul suku Haloban ini diperkirakan datangnya bersama-sama dengan nenek moyang suku Nias, Mentawai dan Enggano, juga dengan suku Devayan, Sigulai dan Lekon. Pada masa sekitar 7000 tahun yang lalu mendarat dan tersebar di pulau-pulau sebelah barat pulau Sumatra. Dapat dilihat dari struktur fisik dan bahasa terdapat banyak kemiripan. Hanya saja budaya suku Haloban saat ini sudah terpengaruh dari budaya Islam yang menggeser budaya asli suku Haloban.

Suku Haloban secara mayoritas telah memeluk agama Islam yang pada masa lalu begitu kuat mempengaruhi wilayah ini. Beberapa adat istiadat dan seni-budaya suku Haloban banyak dipengaruhi oleh budaya Islam, yang dibawa oleh pendatang-pendatang dari Aceh dan Minang.
Selain agama Islam yang menjadi mayoritas di pulau Banyak ini, terdapat juga agama Kristen yang dianut oleh suku Nias yang berada di desa Sialit. Walaupun di daerah ini terdapat dua kelompok agama, tetapi kerukunan beragama sangat terjaga dan harmonis di wilayah ini.

karamba ikan milik suku Haloban
Kehidupan sehari-hari suku Haloban ini adalah sebagai nelayan dan petani. Mereka menanam berbagai macam tanaman untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka sehari-hari. Selain itu mereka juga memelihara beberapa hewan ternak seperti ayam, bebek, kambing dan sapi.

sumber:
  • harian-aceh.com
  • foto: kepulauanbanyak.blogspot.com
  • foto: acehoceancoral.org
  • wikipedia
  • dan sumber lain

Suku Batak Alas

Tari Saman, suku Alas
Suku Batak Alas, adalah salah satu komunitas suku yang bermukim di kabupaten Aceh Tenggara, yang disebut oleh masyarakat Alas sebagai Tanah Alas. Suku Alas ini hidup di dataran tinggi Bukit Barisan, yang dilalui banyak sungai, salah satunya adalah Lawee Alas (sungai Alas).

Menurut para peneliti bahwa suku Alas ini dikelompokkan ke dalam rumpun Batak, beserta suku Pakpak, Karo, Toba, Kluet dan lain-lain. Diperkirakan suku Alas ini justru lebih tua dari suku Batak lain, yang datang pada gelombang pertama kelompok Proto Malayan yang menyebar di Tanah Alas sekarang ini.

Suku Alas ini berbeda dengan suku Aceh yang menjadi mayoritas di provinsi Aceh ini, dari struktur fisik dan bahasa sangat berbeda. Bahasa Alas sendiri masih berkerabat dengan bahasa Gayo, Karo, Singkil, Toba dan Pakpak serta Kluet. Dalam kehidupan sehari-hari, suku Alas ini tidak mau disebut sebagai orang Aceh, mereka menyatakan bahwa mereka justru lebih tua dari suku Aceh, tetapi mereka mengaku memiliki hubungan kerabat dengan suku Gayo, Karo, Toba, Singkil, Pakpak dan Kluet.

Sejak abad ke-18 dan 20 penduduk Tanah Alas semakin bertambah karena migrasi atau kedatangan penduduk dari luar daerah Alas, diantaranya dari Gayo Lues, Aceh, Singkil, Pak-Pak, Karo, Toba, Minang, Mandailing dan China. Karena sebagian besar para pendatang ini memiliki marga-marga sebagai identitas, maka suku Alas menampakkan kembali marga-marga mereka untuk membedakan mereka dengan suku-suku pendatang tersebut. Marga (Merge) yang terdapat di pada masyarakat Alas antara lain adalah Selian, Sekedang, Beureueh, Pinem, Mahe, Acih, Seucawan, Ramut, Deski, Klieng, Sambo dan Bangko.

Gampong atau desa dalam orang Alas disebut kute. Suatu kute biasanya didiami oleh satu atau beberapa klan, yang disebut merge. Anggota satu merge berasal dari satu nenek moyang yang sama. Pola hidup kekeluargaan mereka adalah kebersamaan dan persatuan. Mereka menarik garis keturunan patrilineal, artinya anak mewarisi nama marga dari keturunan laki-laki. Mereka juga menganut adat eksogami merge (jodoh harus dicari di merge lain).

Masyarakat suku Alas mayoritas adalah pemeluk agama Islam. Mereka menjalankan syariat agama Islam dengan taat. Pengaruh Islam sangat kuat dalam kehidupan masyarakat suku Alas. Beberapa kesenian suku Alas terlihat banyak dipengaruhi oleh budaya Islam.

Seni budaya, Kabupaten Aceh Tenggara memiliki kekayaan budaya tersendiri yang berbeda dengan daerah lain di Aceh. Kesenian tradisional yang telah mendunia adalah Tari Saman yang sering disebut Tari Tangan Seribu.

Seni perang adat alas yang memakai rotan sebagai alat dan tameng, dengan cara saling memukul terhadap lawan. Biasanya sering dilakukan dalam upacara untuk menyambut tamu kehormatan. Kesenian yang menggunakan seruling sebagai medianya. Sering dilantunkan dalam acara adat seperti jagai, sebagai musik pengiring dalam acara perkawinan namun hal ini masih sering didengar walaupun sudah jarang orang yang bisa memainkannya.

Masyarakat suku Alat sebagian besar berada di pedesaan, bermatapencaharian dari pertanian dan peternakan. Tanah Alas merupakan lumbung padi untuk daerah Aceh. Tapi selain itu mereka juga berkebun karet, kopi dan kemiri, serta memanfaatkan hutan untuk mencari berbagai hasil hutan, seperti kayu, rotan, damar dan kemenyan. Selain itu mereka juga memelihara ternak seperti bebek, ayam, kuda, kambing, kerbau dan sapi.

sumber:
  • harian-aceh.com
  • foto: clupst3r.wordpress.com
  • wikipedia
  • dan sumber lain

Suku Mantee

Suku Mantee, (Mante), adalah suatu suku yang diperkirakan hidup di hutan pedalaman provinsi Aceh. Suku Mantee ini adalah suatu suku yang misterius, karena keberadaannya sampai saat ini hanyalah berdasarkan cerita dari penduduk yang mengaku pernah melihatnya di tengah hutan pedalaman.

Banyak penduduk mengaku pernah melihat suku ini, tetapi tidak berlangsung lama, karena suku Mantee ini begitu bertemu dengan orang asing, atau orang di luar komunitas mereka, maka mereka akan langsung lari bersembunyi masuk ke dalam hutan. Suku Mantee ini tidak mau melakukan kontak hubungan dengan penduduk lain.

Ukuran tubuh suku Mantee ini di luar lazimnya manusia biasa, karena suku Mantee ini hanya berukuran kurang lebih semeter, alias bertubuh kerdil, atau kira-kira seukuran tubuh anak usia 6 tahun. Memiliki kulit berwarna hitam dan berambut ikal. Ciri-ciri fisik seperti ini mengingatkan kita kepada suku Pigmi di Afrika. Tetapi suku Mantee ini bukanlah ras negroid seperti suku Pigmi, melainkan memiliki ras weddoid, seperti suku Kubu di Jambi, hanya saja berukuran tubuh kecil.

Keberadaan suku Mantee ini, pada awalnya hanya dianggap sebagai cerita-cerita rakyat saja, yang biasa muncul dari satu mulut ke mulut yang lain. Tetapi belakangan hal ini mulai menarik perhatian beberapa penulis di media internet untuk membahas tentang suku Mantee ini. Walaupun data yang dibutuhkan tidak ada, melainkan hanya dari cerita dari mulut ke mulut saja.

diolah dari berbagai sumber

Suku Devayan

suku Devayan
Suku Devayan, adalah salah satu suku minoritas di provinsi Aceh. Hidup di pulau Simalur (Simeulue) yang berada di sebelah barat pulau Sumatra. Suku Devayan ini mendiami kecamatan Teupah Barat, Simeulue Timur, Simeulue Tengah, Teupah Selatan dan Teluk Dalam.

Secara ras, suku Devayan ini berbeda dengan suku Aceh yang menjadi mayoritas di provinsi Aceh. Suku Devayan ini memiliki bahasa sendiri, yaitu bahasa Devayan. Suku Devayan ini secara fisik mirip dengan suku Nias dan Mentawai yang mendiami kepulauan Nias di Sumatra Utara. Ciri-ciri kulit berwarna kuning, mata agak sipit, menjelaskan bahwa suku Devayan ini termasuk ke dalam ras mongoloid. Ciri-ciri ini dimiliki hampir seluruh penduduk yang mendiami pulau dan kepulauan di pesisir sebelah barat pulau Sumatra. Bahasa Devayan sendiri masih berkerabat dengan bahasa Nias, dari segi dialek dan perbendaharaan kata banyak terdapat kemiripan.
Saat ini bahasa Devayan, sedang terancam kepunahan, karena generasi muda suku Devayan sepertinya lebih suka berbicara menggunakan bahasa Aneuk Jamee yang menjadi bahasa pengantar di wilayah ini. Sedangkan bahasa Devayan sendiri hanya digunakan di rumah-rumah atau di kalangan suku Devayan saja.

Asal usul suku Devayan ini diperkirakan pada awal kedatangannya kira-kira 7000 tahun yang lalu, pada perjalanan migrasinya melintas dari sebelah barat pulau Sumatra dan tersebar di pulau-pulau yang berada di sebelah barat pulau Sumatra. Datang bersama-sama dengan suku-suku yang berada di pulau kepulauan di pesisir sebelah barat pulau Sumatra, seperti suku Nias, Mentawai dan Enggano.

Di pulau Simalur, suku Devayan hidup berdampingan dengan suku Haloban, suku Sigulai dan suku Lekon. Selain itu ada juga kelompok pendatang keturunan campuran Minangkabau dan Melayu yang telah tinggal lama di pulau Simalur tersebut, yang disebut suku Aneuk Jamee.

Suku Devayan saat ini mayoritas memeluk agama Islam. Agama Islam berkembang dengan kuat di pulau Simalur ini, yang menjadi agama mayoritas seluruh penduduk di pulau Simalur.

Suku Devayan kebanyakan bermata pencaharian sebagai nelayan, dan juga bertani pada ladang tanah kering. Mereka juga menanam tanaman keras seperti kelapa, ubi dan lain-lain. Selain itu tidak sedikit dari masyarakat suku Devayan yang telah bekerja di sektor pemerintahan dan swasta, dan juga sebagai guru dan pedagang.


diolah dari berbagai sumber

foto: ranselkosong.com