Mitologi Asal Usul suku Dayak Siang
Dalam mitologi, sejarah suku Dayak Siang, bahwa suku Dayak Siang diturunkan oleh Ranying Hattala Langit (Tuhan Pencipta) di Puruk Kambang Tanah Siang, di sekitar wilayah desa Oreng kecamatan Tanah Siang Selatan.
Orang pertama dari suku Dayak Siang pertama kali lahir di Lowu Korong Pinang dari pasangan suami-istri Langkit dan Mongei. Lama kelamaan penduduk orang Siang berkembang di Lowu Tomolum (sekarang desa Tamorum), yang merupakan tempat atau perkampungan para sangiang atau para dewa yang luhur dan suci.
Lowu Korong pinang dan lowu Tamolum adalah dua lowu (kampong) dan mempunyai komunikasi budaya dan adat istiadat yang sangat berkembang dan beragam.
Seorang keturunan dari Langkit dan Mongai yang bernama Tingang Ontah, diambil oleh Dewa Dalung serta dibawa ke langit untuk belajar hukum adat, dimana sekarang hukum adat tersebut diberlakukan dan ditaati oleh seluruh keturunan orang Dayak Siang. Inti dari ajaran nya, terutama tentang hubungan manusia dengan sesama dan alam sekitarnya, serta menyelamatkan tempat-tempat yang secara adat dilindungi atau tidak boleh diganggu, seperti: Tajahan/Pahewan, Kaleka, Sepan dan lain-lain. Konservasi kawasan ini juga dapat membantu masyarakat untuk mempertahankan prinsip-prinsip predikat Manusia Garing dan Manusia Tingang, dimana Manusia Garing dan Manusia Tingang, merupakan manusia yang bertugas selaku pengurus lingkungan dalam Garis-garis Besar Belom Bahadat (Norma Kesopanan), yaitu terhadap unsur flora, seperti: Ma`ancak, Manumbal/Manyanggar dan sebagainya, dan juga terhadap unsur fauna, seperti: Mampun/Mahanjean, Ngariau/Ngaruhei, dan hal lain yang menyangkut ritual budaya seperti Tiwah dan lain sebagainya.
Dijelaskan lebih jauh, selaku pengurus lingkungan hidup (bukan penguasa), maka manusia mengurusi 5 (lima) unsur yang terdiri dari:
Seorang keturunan dari Langkit dan Mongai yang bernama Tingang Ontah, diambil oleh Dewa Dalung serta dibawa ke langit untuk belajar hukum adat, dimana sekarang hukum adat tersebut diberlakukan dan ditaati oleh seluruh keturunan orang Dayak Siang. Inti dari ajaran nya, terutama tentang hubungan manusia dengan sesama dan alam sekitarnya, serta menyelamatkan tempat-tempat yang secara adat dilindungi atau tidak boleh diganggu, seperti: Tajahan/Pahewan, Kaleka, Sepan dan lain-lain. Konservasi kawasan ini juga dapat membantu masyarakat untuk mempertahankan prinsip-prinsip predikat Manusia Garing dan Manusia Tingang, dimana Manusia Garing dan Manusia Tingang, merupakan manusia yang bertugas selaku pengurus lingkungan dalam Garis-garis Besar Belom Bahadat (Norma Kesopanan), yaitu terhadap unsur flora, seperti: Ma`ancak, Manumbal/Manyanggar dan sebagainya, dan juga terhadap unsur fauna, seperti: Mampun/Mahanjean, Ngariau/Ngaruhei, dan hal lain yang menyangkut ritual budaya seperti Tiwah dan lain sebagainya.
Dijelaskan lebih jauh, selaku pengurus lingkungan hidup (bukan penguasa), maka manusia mengurusi 5 (lima) unsur yang terdiri dari:
- unsur flora dan fauna,
- sesama manusia,
- para arwah,
- roh-roh gaib,
- makhluk manusia, yang terdiri dari 3 unsur, yaitu: jiwa/sukma bereng (jasad), hambaruan dan salumpuk (roh).
Ada seorang tokoh bernama Cahawung, terjatuh ponyangnya (jimat) di atas yang berada di hulu sungai Tingon (anak sugai Bantian), yang mana bukit tersebut dinamakan Puruk Batun Ponyang. Di tempat yang sama ada kejadian yang menimpa seorang dewa bernama Oling, tangannya terluka terkena Mandau (senjata khas dayak) dan darahnya tak bisa berhenti keluar, lalu genangan darahnya berubah menjadi Lawang (danau) yang sekarang disebut sebagai Lawang Kelami, yang terletak antara desa Tomolum dan desa Mongkolisoi. Hal tersebut menyebabkan para dewa–dewi yang yang mendiami desa Tomolum pindah ke Lowu Uut Sungoi yang dinamakan sebagai Sungoi Cahai Langit. Sampai sekarang masih terdapat bukti, yaitu sebuah bukit yang dinamakan Keleng Lunjan yang dapat dilihat di Lowu Tokung di bukit Tokung ini bila digali tanahnya akan ditemukan pecahan-pecahan guci.
Lowu Korong Pinang kemudian berkembang dan berpindah ke Lowu Dirung Jumpun, dari sini berpindah lagi ke Lowu Pina Lunuk atau Lowu Olung Owuh, dan pindah lagi ke Lowu Olung Mohoi, kemudian pindah lagi ke lowu Bangan Tawan. Adapun lowu Tomolum juga mengalami beberapa kali perpindahan yaitu ke Lowu Lawang Ulit Bakoi, Siwo, lalu ke Lowu Haju, lalu ke Datah Lahung, lowu Kalang Sisu, lowu Kuhung Apat dan Likun Puan dan kembali lagi ke Datah Lahung.
Saya orang Dayak Siang dari Desa Sokoq,, 30 tahun saya sudah tidak pulang ke kampung halaman saya
ReplyDelete