Suku Moronene, Sulawesi

suku Moronene
Suku Moronene, adalah salah satu suku yang terdapat di Sulawesi Tenggara. Populasi orang Moronene diperkirakan sekitar 5.000 orang.

Istilah "moronene" berasal dari kata "moro" yang berarti "serupa" dan "nene" yang berarti "pohon resam". Pohon Resam adalah sejenis tanaman paku, yang banyak ditemukan di daerah ini. Kulit batangnya bisa dijadikan tali, sedangkan daunnya adalah pembungkus kue lemper. Resam hidup subur di daerah lembah atau pinggiran sungai yang mengandung banyak air. Daerah pemukiman suku Moronene biasanya di daerah yang banyak kawasan sumber air.

Para pakar anthropolog berkeyakinan bahwa orang Moronene ini adalah penghuni pertama wilayah ini. Mereka tergolong suku bangsa Proto Malayan (Melayu Tua) yang datang dari Hindia Belakang pada zaman prasejarah atau zaman batu muda, kira-kira 2.000 tahun sebelum Masehi. Namun sekitar abad 18, mereka tergusur oleh semakin berkembangnya penduduk lain yang juga menghuni wilayah ini, yaitu suku Tolaki, yang mendesak mereka masuk ke pedalaman Sulawesi Tenggara.
Pada awalnya mereka adalah bangsa nomaden, yang selalu berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain, hingga akhirnya mereka menetap di kawasan Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai. Sebuah peta yang dibuat oleh pemerintah Belanda pada tahun 1820 sudah tercantum nama Kampung Hukaea sebagai kampung terbesar suku Moronene, yang saat ini wilayah pemukiman mereka ini masuk dalam areal Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai. Kampung pemukiman suku Moronene ini tersebar di 7 kecamatan yang berada di kabupaten Buton dan kabupaten Kolaka. Penyebaran orang Moronene ini terdapat juga di kabupaten Kendari, mereka mengungsi dan bermigrasi akibat gangguan keamanan dari Darul Islam sekitar tahun 1952-1953. Kampung Hukaea, Laea, dan Lampopala, bagia orang Moronene disebut sebagai Tobu Waworaha atau perkampungan tua bekas tempat tinggal para leluhur mereka.

Sebagian besar orang Moronene memeluk agama Islam, seperti suku-suku lain di wilayah Sulawesi Tenggara. Agama Islam telah lama berkembang di kalangan masyarakat suku Moronene ini. Orang Moronene yang memeluk agama Islam sampai saat ini tetap mengunjungi tobu sambil membersihkan kuburan leluhur mereka ketika hari raya Idul Adha. Akhir-akhir ini banyak orang Moronene yang dari daerah lain kembali pulang ke kampung Hukaea-Laea, karena kuburan-kuburan leluhur mereka banyak hilang dipindahkan oleh orang tak dikenal. 

orang Moronene
Kehidupan tenang masyarakat suku Moronene ini mulai terusik oleh pemerintah sejak tahun 1990 yang menetapkan wilayah adat suku Moronene sebagai kawasan taman nasional. Dengan alasan itulah aparat Pemda Sulawesi Tenggara mengerahkan polisi dan tentara menggelar Operasi Sapu Jagat untuk mengusir keluar orang-orang Moronene. Alasannya, biar hutan tak rusak sehingga bisa dijual sebagai obyek ekoturisme dan sumber pendapatan daerah lainnya. Sekali lagi nasib rakyat, tertindas oleh pemerintah yang sewenang-wenang merampas tanah adat mereka. Padahal hak masyarakat adat atas tanah ulayat mereka telah diakui oleh Undang-Undang Kehutanan tahun 1999.

sumber:
sumber lain dan foto:
  • irvan-httpkslnblogspot.blogspot.com
  • mataharigading.blogspot.com

0 comments:

Post a Comment

Silahkan berkomentar di bawah ini, Kami mohon maaf, apabila terdapat kekeliruan atau ada yang tidak sesuai dengan pendapat pembaca, sehubungan dengan sumber-sumber yang kami terima bisa saja memiliki kekeliruan.
Dengan senang hati kami menerima segala kritik maupun saran pembaca, demi peningkatan blog Proto Malayan.
Salam dan terimakasih,