Orang Marena, Sulawesi

Orang Marena (To Marena), adalah suatu komunitas masyarakat yang terdapat di dusun Marena sebuah dusun jauh dari desa Bolapapu kecamatan Kulawi kabupaten Sigi provinsi Sulawesi Tengah. Populasi orang Marena lebih dari 250 orang.

orang Marena
Orang Marena saat ini banyak bermukim di desa O'o Parese sekitar 18 km dari desa Bolapapu. Di tempat ini mereka membuka kebun untuk lahan pertanian. Pada tahun 2007 pemerintah setempat memasukkan desa O'o Parese menjadi bagian kecamatan Kulawi Selatan. Tapi orang Marena menolak bergabung dengan kecamatan Kulawi Selatan, dikarenakan pada umumnya di kecamatan Kulawi Selatan dihuni oleh etnis Uma. Akhirnya orang Marena kembali ke desa Bolapapu kecamatan Kulawi yang beretnis Moma sebagai asal usul nenek moyang mereka walaupun untuk pelayanan administrasi sangat jauh.

Orang Marena memiliki sistem pemerintah adat sendiri, yaitu:
  • Maradika (Kepala Kampung), mengatur hubungan ngata (kampung) dengan ngata lain yang disebut ”Hintuwu Ngata”, Menentukan perang dengan ngata lain, tempat pengambilan keputusan terakhir.
  • Totua Ngata, mengatur dan mengawasi aturan adat yang disepakati dalam musyawarah, Memimpin dan melaksanakan setiap upacara adat, menentukan besar kecilnya sanksi adat atas pelanggaran, memimpin sidang menyangkut penyelesaian perselisihan pada tingkat dusun atau kampung, mengatur pelaksanaan perkawinan adat serta menentukan besar kecilnya mas kawin menurut keturunan dari keluarga yang bersangkutan.

Orang Marena punya cara sendiri dalam mengelola wilayah kehidupannya. Mereka menyebut istilah wilayah kehidupannya dengan sebutan huaka. Jadi Huaka To Marena itu berarti wilayah kehidupan orang Marena. Sedangkan pengelolaan sumberdaya alam dalam bahasa local disebut katuvua. Terkait dengan huaka dan katuvua ini, orang Marena punya tata cara pembagian wilayah dan pemanfaatannya secara tradisional. Orang Marena membagi wilayah kehidupannya dalam beberapa kategori wilayah, antara lain: Wana Ngkiki, Wana, Pangale dan Oma.
  • Wana Ngkiki yaitu kawasan hutan yang terletak dipuncak-puncak gunung, bersuhu dingin, ditumbuhi lumut, jauh dari pemukiman dan tidak ada aktivitas manusia di dalamnya.
  • Wana yaitu hutan rimba yang luas dan tutupannya rapat. Pada tingkatan ini tidak ada aktivitas manusia untuk membuka ladang atau kebun, karena kalau dibuka menurut pengetahuan tradisionalnya dapat mengakibatkan bencana kekeringan karena Wana ini adalah hutan primer yang menyangga dan menjaga ketersedian air.
  • Pangale yaitu hutan yang berada di pegunungan dan dataran. Pangale termasuk kategori hutan sekunder yang bercampur dengan hutan primer karena sebagian sudah ada aktivitas manusia atau telah diolah menjadi ladang. Pangale dipersiapkan untuk kebun dan daerah datarannya untuk persawahan.
    Pangale ini dimanfaatkan juga untuk:
     
    • Mengambil kayu dan rotan yang digunakan untuk berbagai keperluan rumah tangga,
    • Pandan hutan dipergunakan untuk membuat tikar dan bakul,
    • Obat-obatan untuk perawatan kesehatan,
    • Wewangian
    • Umbut dan daun melinjo untuk sayuran.
  • Pahawa Pongko yaitu hutan bekas kebun yang telah ditinggalkan yang berumur 25 tahun ke atas. Sudah hampir menyerupai hutan sekunder semi hutan primer (pangale), pohon-pohonnya sudah tumbuh besar. Karena itu kalau dibuka kembali menjadi ladang untuk menebangnya sudah harus menggunakan pongko (tempat menginjakan kaki yang terbuat dari kayu) yang agak tinggi dari tanah agar dapat menebang dengan baik sama seperti mopangale(membuka hutan pangale), agar dari tonggak pohon yang ditebang tadi diharapkan dapat tumbuh tunas kembali sehingga sesuai dengan namanya yaitu pahawa pongko. Pahawa artinya ganti, sedangkan pongko artinya tangga atau tempat menginjakkan kaki pada waktu menebang.
  • Oma yaitu hutan bekas ladang atau kebun yang sering diolah pada tingkatan ini disebut oma dimanfaatkan untuk menanam kopi, kakao dan tanaman tahunan lainnya. Berdasarkan umur dan pemanfaatannya tingkatan oma ini dibagi menjadi:
    • Oma Ntua
    • Oma Ngura
    • Oma Ngkuku
    • Oma Balingkea

Orang Marena mengelola alam secara bijaksana, tidak mengekspoitasi habis-habisan sumber hutan, tetapi tetap merawatnya. Mereka bertanggungjawab menjaga alam yang kelak akan diwariskan kepada keturunan-keturunannya.

Dalam masyarakat Marena memiliki penjaga kampung atau tondo boya yang berperan menjaga hutan Marena. Pelanggaran yang dilakukan oleh anggota masyarakat mereka maupun dari orang luar akan dikenakan sanksi adat.

Orang Marena mayoritas memeluk agama Kristen. Agama Kristen berkembang dengan baik di kalangan masyarakat Marena. Beberapa bangunan gereja berdiri di dekat sekolah dasar di Marena. 
Mereka memiliki Bantaya, yaitu semacam rumah tempat pertemuan, yang biasanya diadakan apabila ada acara pertemuan bagi warga kampung.

Belakangan ini beberapa wilayah hutan orang Marena ditetapkan oleh pemerintah daerah setempat masuk dalam bagian kawasan Taman Nasional Lore Lindung. Hal ini membuat mereka semakin terdesak, karena sebagian besar dari mereka memanfaatkan hasil hutan.

Orang Marena pada dasarnya hidup pada bidang pertanian, mereka membuka lahan kebun untuk menanam padi ladang, jagung, kopi, kakao, kayu manis dan tanaman lainnya. Tanaman produksi yang paling utama bagi mereka adalah kakao. Sedangkan dari hutan mereka mengambil rotan dan kayu sebagai bahan bangunan atau yang mereka sebut sebagai ramuan rumah.

sumber:
  • lpaawamgreen.blogspot.com
  • yancearizona.wordpress.com
  • masyarakatadat.org
sumber lain dan foto:
  • libuperempuan.blogspot.com

0 comments:

Post a Comment

Silahkan berkomentar di bawah ini, Kami mohon maaf, apabila terdapat kekeliruan atau ada yang tidak sesuai dengan pendapat pembaca, sehubungan dengan sumber-sumber yang kami terima bisa saja memiliki kekeliruan.
Dengan senang hati kami menerima segala kritik maupun saran pembaca, demi peningkatan blog Proto Malayan.
Salam dan terimakasih,