Suku Batak Siladang

Suku Batak Siladang, adalah suatu komunitas adat yang berada di kabupaten Mandailing Natal. Perkampungan suku Siladang ini berada di desa Aek Banir dan desa Sipaga-paga kecamatan Panyabungan kabupaten Mandailing Natal. Populasi suku Siladang ini diperkirakan lebih dari 2.000 orang.

Masyarakat suku Siladang ini berbicara dengan bahasa Siladang, yang sepintas lalu mirip dengan bahasa Mandailing, tetapi apabila diperhatikan dengan seksama, akan terasa jelas perbedaannya. Bahasa Siladang ini pernah dianggap sebagai bahasa yang hampir punah, tetapi setelah dilakukan penelitian oleh Staf peneliti Balai Bahasa Medan (BBM), Anharuddin Hutasuhut menjelaskan bahwa penutur bahasa tersebut masih cukup banyak. Suatu bahasa dapat dikatakan terancam punah kalau penuturnya kurang dari 500 orang, sementara penutur bahasa Siladang ternyata lebih dari dua ribu orang.

Suku Siladang ini dikelompokkan ke dalam bagian dari sub-suku Mandailing, kadang disebut juga sebagai suku Mandailing Siladang atau suku Siladang Mandailing.

Bahasa Siladang ini memiliki intonasi yang memakai huruf "o dan e". Contoh: dalam bahasa Siladang "pala to sonnari pabilo dope", berbeda dengan versi bahasa Mandailing: "pala inda sannari andingan dope", yang artinya  "kalau tidak sekarang kapan lagi".

Suku Siladang ini diperkirakan hasil percampuran beberapa suku bangsa yang pada masa dahulu menetap di wilayah ini, terjadi pembauran antara suku Lubu, suku Ulu dan suku Mandailing.
Pada masa lalu berdasarkan laporan J. Kreemer (1912) dalam De Loeboes in Mandailing dinyatakan bahwa orang Lubu adalah cikal bakal penduduk Siladang, yang dulunya mendiami  11 pemukiman di daerah Padang Lawas dan Mandailing. Pada saat dilakukan pendataan pada tahun 1891 jumlah masyarakat Lubu tercatat sebanyak  2.033 jiwa.

Pada awal terbentuknya suku Siladang adalah berasal dari nenek moyang mereka yang berasal dari daerah Sibinail di Muara Sipongi, hidup 2 kelompok suku yang bernama suku Ulu dan suku Lubu, yang mendiami wilayah pedalaman di sekitar Muara Sipongi. Suku Ulu ini masih menganut agama animisme Hindu. Di wilayah ini suku Ulu hidup bertetangga dengan suku Lubu selama beberapa abad. Tetapi karena adanya invasi dari pasukan Paderi Minangkabau, memaksa sebagian dari mereka untuk pindah ke pedalaman hutan Sumatra. Orang Lubu dan Ulu tersebut melarikan diri ke tengah hutan. Pakaian suku Lubu dan suku Ulu ini pada masa itu terbuat dari kulit kayu dan beberapa hiasan untuk menutupi bagian bawah badan (setengah telanjang). Pekerjaan orang Ulu adalah berladang dan berburu serta mengumpulkan hasil hutan, yang ditukarkan dengan penduduk Lubu. Senjata mereka adalah sumpit beracun. Pada masa itu masyarakat Orang Ulu mempunyai rumah dan pakaian lebih baik dari orang Lubu.

Pada waktu Perang Paderi yang bergolak pada akhir abad ke-19, sebagian penduduk yang berdiam di sekitar desa Sibinail yang sekarang, berpindah ke suatu daerah baru yang berada di wilayah Mandailing Natal sekarang yang disebut sekarang ini dusun Siladang. Perpindahan mereka dikabarkan karena menghindar dari tekanan serdadu Paderi. Di wilayah baru mereka ini, mereka berbaur dengan suku Batak Mandailing yang telah terlebih dahulu berada di daerah ini. Di tempat baru ini lah di antara mereka terjadi pembauran dan perkawinan-campur yang akhirnya terbentuk suatu bahasa dan adat-istiadat tersendiri yang disebut sebagai bahasa dan adat-istiadat Siladang, yang berbeda dengan bahasa dan adat-istiadat asal mereka di desa Sibinail. Di tempat baru ini lah terbentuk suatu komunitas masyarakat adat yang disebut suku Siladang.

Ada sebuah legenda cerita tentang si Sampuraga yang diyakini masyarakat suku Siladang ini. Terdapat sejumlah peralatan pesta yang masih tersisa sampai sekarang, seperti kuali dan sendok besar. Juga masih terlihat bekas suatu lubang yang dianggap penduduk sekarang sebagai sumber datangnya banjir. Sampai sekarang lubang itu selalu panas. Kapan saja seseorang memanggil nama Sampuraga di sekitar tempat itu, airnya akan marah. Air di dalam lobang akan melompat dan menyiram dan air yang disemburkan akan menjadi sangat panas. Kini, lokasi di 'tempat kejadian' Si Sampuraga itu menjadi semacam tempat wisata. Banyak wisatawan mengunjungi lokasi 'kampung' Si Sisampuraga tersebut.

Masyarakat suku Siladang sebagian besar hidup dari pertanian dan sebagai buruh tani. Kehidupan masyarakat desa Aek Banir dan desa Sipaga-paga terlihat cukup baik. Bangunan rumah mereka terbuat dari kayu.  Komoditi yang diusahakan masyarakat umumnya  karet dan coklat serta mengusahakan gula aren dan sapu ijuk.

Beberapa kata dalam bahasa Siladang:
  • dope = lagi, juga
  • ivang = mereka
  • loki = laki
  • ipah = lepas
  • pajusi = gadis
  • léhé = leher
  • aé = air
  • hélé = hilir
  • apé = api
  • jalme = manusia
  • amai = ibu
  • balinda = lari
  • holo = alu
  • mentuhe = mentua
  • edi =adik
  • to = tidak
  • tobo = terbang
  • bopo? = bapak
  • baso = basuh
  • pavéok = periuk
  • lopoi = lapar
  • pabilo = kapan
  • pala = kalau
  • podo = padang
  • ponjo = panjang
  • topo? = tapak
  • botu = batu
  • tomi? = tumit
  • hato? = atap
  • hanau = enau
  • cakau = sambar
  • sonnari = sekarang

sumber:
  • Matua Harahap
  • Tapanuli Selatan Dalam Angka: akhirmh.blogspot.com
  • Butar-Butar, Maruli, 1984. Morfologi dan Sintaksis Bahasa Siladang. Jakarta: PPPB
    T. Syarfina dan T. Silvana Sinar. 2010. “Prosodi Bahasa Siladang Sumatera Utara”. USU
    “Melirik Kehidupan Warga Siladang” (www.medanbisnisdaily.com)
    “Sampuraga” (www.yusleniashari.page.tl/home.htm)
    "Sibinail dan Suku Ulu" (http://masyarakatadat.org/)
  • wikipedia
  • dan sumber lain

0 comments:

Post a Comment

Silahkan berkomentar di bawah ini, Kami mohon maaf, apabila terdapat kekeliruan atau ada yang tidak sesuai dengan pendapat pembaca, sehubungan dengan sumber-sumber yang kami terima bisa saja memiliki kekeliruan.
Dengan senang hati kami menerima segala kritik maupun saran pembaca, demi peningkatan blog Proto Malayan.
Salam dan terimakasih,