Asal Usul Suku Dayak Bugau (Mitologi)

suku Dayak Bugau
Suku Dayak Bugau, adalah masyarakat adat suku dayak yang hidup di kabupaten Sintang, yaitu di kecamatan Ketungau Hulu, yang mendiami desa Jasa, desa Rasau, desa Sungai Bugau, desa Nanga Bugau dan desa Sebadak, selain itu juga terdapat di kampung Senaning, Sungai Antu, Engkeruh, Sebuluh, Lubuk Pucung, Pangkalan Parit, Riam Sejawak, Wak Sepan, Birong, Rentong, Nyelawai dan Kedang Ran. Di kecamatan Ketungau Hulu, suku Dayak Bugau hidup berdampingan bersama suku Dayak Mandau, Dayak Kumpang, Dayak Embara dan Dayak Sebaruk.

Asal-usul orang Dayak Bugau secara mitologis. Manusia pertama kali diciptakan oleh Yang Mahakuasa melalui malaikatnya dari sejenis kayu yang disebut kayu Kumpang. Manusia yang tercipta dari kayu Kumpang itu hanya bisa berteriak. Ternyata dia tidak menjadi manusia yang sempurna.

Melihat kayu tersebut tidak menjadi manusia, maka diciptakan lagi manusia dari pangkal pisang Luran dan tanah Alau. Dari bahan itu dibentuk 2 manusia, yaitu laki-laki dan perempuan. Calon manusia itu ditaruh di atas piring dan ditutup dengan selimut. Selama tujuh hari lamanya, piring yang berisi calon manusia itu ditaruh di persimpangan jalan tujuh simpang. Selama itu pula para malaikat datang dengan membawa tombak dan parang. Mereka mengacu-ngacukan tombak dan parang itu ke calon manusia tersebut. Maka calon manusia itu pun memekik.

Sang laki-laki menyebut diri Muga dan yang perempuan menyebut diri Rama. Mereka menyebutkan nama-nama itu karena merasa seakan-akan diancam dengan tombak dan parang yang diacukan kepada mereka berdua. Walaupun berbentuk manusia dan dapat memekik, kedua calon manusia itu belum menjadi manusia yang sempurna. Setelah hidup bersama sekian lama, sepasang manusia ini memiliki keturunan yang belum sempurna pula. Setelah 7 keturunan, maka manusia yang belum sempurna itu mulai menurunkan manusia “purba”. Mulai saat itulah manusia baru diakui betul sebagai manusia dan memiliki adat. Karena ada adat inilah maka manusia tidak lagi bertingkah seperti hewan. (sumber: Mozaik Dayak).

Setelah berbagai turun-temurun, ada beberapa tokoh yang cukup menonjol, yaitu si Bui Nasi yang membawa manusia pada kebiasaannya untuk memakan makanan pokok nasi. Lalu ada si Putong Kempat, yang kawin dengan Aji Melayu. Keturunan mereka inilah yang menjadi orang Melayu.

Menurut orang Dayak Bugau sendiri, dalam cerita asal usul ini terdapat kejanggalan, diceritakan si Putong Kempat, merupakan salah satu tokoh dalam penciptaan manusia pertama kawin dengan perempuan bernama Aji Melayu, yang merupakan orang dari keturunan Jawa pada masa Majapahit. Cerita asal-usul ini putus sampai di sini. Tidak ada yang tahu kelanjutan cerita asal-usul tersebut. Yang menjadi kejanggalan lain, adalah "pada zaman Majapahit", sedangkan orang Bugau yang pertama hadir jauh ribuan tahun sebelum ada kerajaan Majapahit.

Dalam cerita mitologi asal usul lain, dari suku Dayak Bugau, adalah bahwa orang dayak itu berteman dengan makhluk halus yang bernama si Buah Kana. Si Buah Kana ini, walaupun makhluk halus namun memiliki fisik dan tubuh seperti manusia. Waktu itu si Buah Kana dan manusia hidup dalam satu rumah betang. Kini bekas-bekas Rumah Panjang (tembawai), yang ditempati Buah Kana dan manusia itu banyak terdapat di Sekapat (Ketungau Tengah), Lubuk Lidung (Ketungau Tengah), Sungai Kelintik, Sungai Idai (Ketungau Hulu), Tampun Juah di Hulu Sungai Saih (Kabupaten Sanggau), dan masih banyak lagi.

Dari kelompok si Buah Kana itu ternyata ada yang tidak suka dengan manusia, tetapi ada juga yang suka. Oleh karena itu, Buah Kana mengadakan bada’, yaitu memberi tanda-tanda yang dibuat dari darah atau kotoran yang dipercikkan ke rumah-rumah. Tanda-tanda itu tidak serempak. Apabila tanda yang diberikan dari darah maka rumah-rumah akan terpercik-percik dengan darah, begitu juga jika tanda yang dibuat dari kotoran. Semua tanda itu merupakan peringatan bahwa sudah tiba saatnya antara Buah Kana dengan manusia harus berpisah. Kalau tidak dituruti, maka bada’, dapat menyebabkan peperangan atau wabah sampar.

Selanjutnya kelompok si Buah Kana pindah dari Tampun Juah dan membuat pemukiman di Binjai, di Nibung Berayah (sekarang di Binjai, dekat Empura, Ketungau Hulu). Ketika Buah Kana pindah ke Binjai, manusia membuntutinya. Karena Buah Kana dan manusia pindah maka Tampun Juah pun menjadi kosong. Di Tampun Juah ada sebuah Lubuk yang kalau ada orang mandi di situ maka orang tersebut tidak akan pernah pulang lagi.

Di Nibung Berayah, manusia dan kelompok Buah Kana hidup di betang yang berdekatan. Namun si Ijau dan si Keling (Buah Kana yang kakak beradik) selalu bertentangan sikapnya terhadap manusia. Tindakan si Ijau selalu menjadikan manusia dirugikan, misalnya ia membawa anak manusia menyelam dari hulu hingga hilir. Dengan demikian anak manusia itu pun mati. Ia juga menyentik orang yang sedang bunting hingga keguguran atau anak itu terlahir tetapi mati. Sebaliknya, si Keling justu menjadi pihak yang menghidupkan kembali anak-anak dan bayi-bayi yang mati itu.

Karena pertentangan-pertentangan yang terjadi tersebut, akhirnya Buah Kana pindah dari Nibung Berayah ke tempat yang belum diketahui. Namun yang jelas kepindahan mereka diikuti oleh manusia. Ketika manusia pindah mengikuti Buah Kana tersebut, ada beberapa manusia yang kembali lagi ke Nibung Berayah karena ketinggalan tempat sirih pinangnya. Sebagian manusia turun dari sampan dan menunggu mereka yang kembali ke Nibung Berayah di Pintas Engkajang. Sementara itu, rombongan Buah Kana yang menunggu itu tidak sabar. Akhirnya dengan sampan yang mereka kendarai, mereka berangkat terlebih dahulu. Setelah sampan manusia yang digunakan untuk mengambil tempat sirih datang, manusia mengejar Buah Kana yang telah berangkat terlebih dahulu. Tibalah manusia itu di Nanga Melawi. Di situ mereka kehilangan jejak Buah Kana, mereka bingung apakah Buah Kana itu milir Kapuas atau mudik ke Melawi. Saat itu di Melawi tidak ada manusia. Karena kehilangan jejak, maka kelompok manusia tersebut membuat tempat tinggal di sekitar sungai Senentang yang letaknya berhadapan dengan sungai Melawi. Di sinilah saat putus generasi kedua.

Generasi yang berkembang hingga sekarang merupakan keturunan dari generasi penceritaan yang ketiga. Tidak diceritakan secara jelas bagaimana muncul dan berkembangnya generasi ini. Namun demikian, ada beberapa pangkat-pangkat sebagai berikut.
  • Demung, adalah pangkat yang disandang oleh orang kaya. 
  • Tuak, adalah pangkat yang disandang oleh ahli perang. 
  • Tunggul/Pangkal, adalah pangkat yang disandang oleh orang yang pandai. 
  • Manang,
  • Bedamang, adalah pangkat yang disandang oleh orang yang ahli perang dan ahli obat. 
  • Manuk Sabung, adalah pangkat yang disandang oleh orang yang dianggap pemberani. 

Tradisi lisan yang masih hidup adalah kana. Suatu seni cerita dengan cara melantunkannya dengan irama yang agak monoton, tetapi tetap enak dan menarik didengar. Tokohnya yang paling terkenal adalah si Keling dan si Kumang. Kesenian lisan lain yang masih hidup dan bertahan dalam budaya suku Dayak Bugau, adalah jandeh, didi, renung dan ngerasak.


sumber:
  • kebudayaan-dayak.org
  • gambar-foto: picasaweb.google.com
  • wikipedia
  • dan sumber lain

2 comments:

  1. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete
  2. terima kasih udah posting aku bangga jadi dayak bugau tanah tempat kelahiran ku semoga dayak bugau lebih maju kedepanya.

    ReplyDelete

Silahkan berkomentar di bawah ini, Kami mohon maaf, apabila terdapat kekeliruan atau ada yang tidak sesuai dengan pendapat pembaca, sehubungan dengan sumber-sumber yang kami terima bisa saja memiliki kekeliruan.
Dengan senang hati kami menerima segala kritik maupun saran pembaca, demi peningkatan blog Proto Malayan.
Salam dan terimakasih,