Suku Dayak Wehea

suku Dayak Wehea
(mongabay)
(foto: Aji Wihardandi)
Suku Dayak Wehea, adalah salah satu suku dayak yang terdapat di provinsi Kalimantan Timur. Orang Dayak Wehea tersebar pada 6 desa kecamatan Muara Wehea, antara lain: desa Nehas Liah Bing, Long Wehea, Diaq Leway (di bantaran sungai Wehea) serta desa Dea Beq, Diaq Lay dan Bea Nehas (di bantaran sungai Tlan).

Kadang suku Dayak Wehea disebut sebagai suku Dayak Wahau, istilah "wahau" sendiri bukanlah berasal dari bahasa mereka sendiri, tapi penyebutan "wahau" adalah sebuatan oleh orang luar yang salah menyebut "wehea" menjadi "wahau". Karena terjadi kesalahan pengucapan ini, orang Dayak Wehea sempat dimasukkan ke dalam kelompok Dayak Bahau yang berada di sekitar sungai Mahakam.

Keunikan suku Dayak Wehea ini, adalah mereka tidak mengenal rumah Betang atau Lamin, seperti suku dayak lainnya di Kalimantan. Rumah adat orang Dayak Wehea disebut Eweang, yang di masa lalu rumah-rumah penduduk (rumah panggung tinggi) biasanya saling terhubung dengan jembatan dan biasa disebut Teljung.

rumah orang Wehea
(mongabay)
(foto: Aji Wihardandi)
Rumah panjang suku Dayak Wehea, kini atapnya sudah banyak memakai seng, rumah dibuat dari kayu seluruhnya. Tiang rumah, lantai, dinding, atap, pasak, pengikat (rumah diikat dengan rotan atau akar dan dipasak dengan kayu), semuanya diambil di hutan. Transportasi berupa sampan dibuat dengan mengeruk batang pohon. Peralatan kerja dan berburu yang mereka miliki masih banyak yang sederhana seperti kapak, beliung, parang, bakul, tikar, mandau, perisai, sumpitan dan senjata lantak.

tarian suku Dayak Wehea
(kembang-janggut)
Masyarakat suku Dayak Wehea memiliki banyak ritual, yaitu:
  • Ritual Lom Plai (pesta panen padi), dengan tata urutan ritual diawali dengan Ngesea Egung (memukul gong), Lag Pesyai, Pesyai Wet Min dan Pesyai Dug Min.
  • Ritual Embob Jengea (memasak lemang dan Beangbit atau kue khas Wehea), yang terdiri dari beberapa ritual yaitu: Ritual Seksiang (perang-perangan), Embos Min, Peknai, Nekeang, Nluei Hudoq dan Hudoq.
  • Ritual Nemlen, yaitu sebuah ritual pendewasaan diri bagi kaum muda Wehea, sebelum mengikuti ritual tersebut warga Wehea tidak boleh menikah dan kaum perempuannya belum dibolehkan bertato. 
  • Ritual Naq Dung Tung, yaitu sebuah ritual untuk memberi makan para arwah sekaligus untuk menghantarkan para arwah menuju "alam"nya,
  • Ritual Naq Unding
  • Ritual Neaq Lom (pesta adat anak),
  • Ritual Naq Ngelan (pesta memberi nama anak)
  • dan beberapa ritual lainnya.

Orang Dayak Wehea, juga banyak memiliki tarian tradisional, yaitu:
  • Tari Hudoq
  • Tumbambataq
  • Njiak Keleng
  • Ngewai.

Dalam masyarakat suku Dayak Wehea, upacara ritual adat yang terpenting adalah perayaan upacara adat Lomplai, yang diadakan pada bulan April setiap tahunnya. Upacara ini adalah sebuah ungkapan rasa syukur atas nikmat panen padi yang melimpah tahun ini. Ungkapan terimakasih kepada Putri Long Diang Yung, yang telah mengorbankan diri, saat kampung Dayak Wehea dilanda kekeringan ribuan tahun silam. Upacara ini selalu dilakukan pada tanggal yang berbeda setiap tahunnya. Sistem penanggalan yang digunakan adalah sistem penanggalan tradisonal Dayak berdasar perhitungan pergeseran bulan.

tari Hudoq
suku Dayak Wehea
(
mongabay)
(foto: Aji Wihardandi)
Suku Dayak Wehea berhasil melestarikan dan mewariskan adat dan budaya mereka kepada para generasi di bawah mereka. Suku Dayak Wehea memiliki budaya yang beragam. Tari-tarian khas suku Dayak Wehea dan seni suara yang disebut Nluei., ritual peperangan, dan setiap acara puncak diakhiri dengan saling berkejaran sambil mencorengkan muka dengan arang dan menyiram air satu sama lainnya. Semboyan suku Dayak Wehea yang membuat mereka berhasil melestarikan budaya mereka adalah "Budaya dan alam adalah kekayaan utama yang dimiliki orang Dayak Wehea. Jika tidak dijaga dan diwariskan kepada anak cucu kami sejak dini, maka kami tidak akan bisa mewariskan apa pun”. Semboyan penuh semangat suku Dayak Wehea ini benar-benar indah sekali.

Orang Dayak Wehea memiliki karakter yang sangat ramah, walaupun terhadap pendatang, mereka akan bersikap ramah menyambut orang. Biasanya mereka akan senang dan akan mengundang pendatang untuk diajak makan bersama.

Menurut penuturan Kepala Adat Desa Nehes Liah Bing, Bapak Ledjie Taq, bahwa nenek moyang suku Dayak Wehea berasal dari Cina Daratan. Dalam perjalanan migrasi menuju ke Malaysia, sebagian rombongan tersebut singgah dan menetap di Apau Kayan. Kemudian mereka beranak cucu dan membentuk satu komunitas tersendiri. Dalam perkembangan komunitas tersebut, terjadilah perang saudara untuk berebut kekuasaan sehingga pecah menjadi 2 kelompok. Salah satu dari kelompok tersebut melarikan diri dan berusaha mencari tempat tinggal sendiri. Dan sampailah anggota rombongan tersebut ke kawasan Gunung Kombeng dan mulai menetap di sana. Kemudian secara bertahap mereka pindah ke hulu “Long Mesaq Teng” (sungai Wehea), namun beberapa anggota kembali turun ke arah hilir untuk menetap disana, selanjutnya tempat tersebut berkembang dan diberi nama kampung Nehas Liah Bing. Nehas tersebut berarti pasir, sedangkan Liah Bing diambil dari nama belakang orang yang pertama membuka kampung tersebut yaitu Boq Liah Bing.

Orang Dayak Wehea masih tetap berhubungan dengan dengan hutan dengan mengumpulkan damar dari kayu meranti, menyadap getah merah dari pohon getah merah, mengambil madu dari lebah yang bersarang di pohon. Selain itu mereka juga berburu ke hutan, dan juga melaksanakan praktek bertani dengan pola tebang dan bakar lahan di hutan. Mereka juga menanam dan memanen tanaman hutan seperti karet, rotan dan tengkawang.

sumber:
  • word-dialect.blogspot.com
  • mongabay.co.id
  • kembang-janggut.blogspot.com
  • dayakpost.com
  • kaltimpost.co.id
  • theborneopost.com

  • dayakbaru.com
  • wikipedia
  • nuamuri.blogspot.com
  • dan beberapa sumber lain

6 comments:

  1. sangat menarik informasinya, tetapi sebagai tambahan, bahwa suku dayak wehea tersebar pada 6 desa kecamatan muara wehea (sebenarnya bukan wahau), antara lain: desa nehas liah bing, long wehea, diaq leway,dibantaran sungai wehea (bukan sungai wahau) serta desa dea beq, diaq lay dan bea nehas (dibantaran sungai tlan - bukan telen). dalam kosa kata suku dayak wehea, sebutan wahau tidak ada dalam bahasa asli mereka, dan penyebutan wahau adalah sebuatan oleh orang luar yang datang ke wehea dan karena kesulitan menyebut wehea akhirnya mereka menyebut wahau dan sempat dimasukan kedalam kelompok dayak bahau di sungai mahakam.
    suku dayak wehea tidak mengenal rumah panjang seperti lamin atau rumah betang, tetapi rumah adat dalam suku wehea adalah eweang sedangkan pada masa lalu, rumah-rumah penduduk (rumah panggung tinggi) biasanya saling terhubung dengan jembatan dan biasa disebut teljung.
    suku dayak wehea memiliki beberapa ritual, al: ritual lom plai atau pesta panen padi dengan tata urutan ritual diawali dengan ngesea egung (memukul gong), lag pesyai, pesyai wet min dan pesyai dug min, dan puncaknya pada ritual embob jengea yang terdiri dari beberapa ritual yaitu: ritual seksiang, embos min, peknai, nekeang dan nluei hudoq serta hudoq.
    ritual adat lainnya adalah Nemlen, yaitu sebuah ritual pendewasaan diri bagi kaum muda wehea dan pada masa lalu, sebelum mengikuti ritual tersebut warga wehea tidak boleh menikah dan kaum perempuannya belum boleh bertato. Ritual lainnya adalah naq dung tung, yaitu sebuah ritual untuk memberi makan para arwah sekaligus untuk menghantarkan para arwah menuju "alam"nya, juga terdapat ritual neaq lom (pesta adat anak), naq ngelan (pesta memberi nama anak) dan beberapa ritual lainnya.
    sementara itu, terdapat beberapa jenis seni tari suku dayak wehea, al: tari hudoq, tumbambataq, njiak keleng dan ngewai.
    demikian sebagai tambahan untuk koreksi dan masukan dari kami, dan informasi selengkapnya dapat diakses di: nuamuri.blogspot.com

    ReplyDelete
    Replies
    1. @Chris Ringgi
      terima kasih sekali untuk koreksi dan tambahannya,
      menambah wawasan bagi kita semua
      salam kenal

      Delete
  2. terima kasih mas hrs, luar biasa, komunitas ini hingga tahun 2004 sama sekali tidak dikenal khalayak, karena keterbatasan informasi disamping karena terjadi kesalahan penyebutan atas nama komunitas tersebut. sebuah kearifan tradisional lainnya yang tersisa adalah saat mereka (Dayak Wehea) menetapkan Hutan Lindung Wehea seluas 38.000 hektar secara adat, melalui sebuah ritual sumpah adat yang melibatkan 6 kampung dan disaksikan oleh beberapa suku lainnya di wilayah kecamatan muara wehea dan kung beang.
    mulai sejak itu, suku Dayak Wehea akhirnya mulai dikenal publik, dan puncaknya sejak tahun 2006, saat banyak media datang untuk menangkap sekelumit keunikan dari sebuah kearifan tersisa dalam ritual pesta panen mereka, yang merupakan salah satu ritual pesta panen yang masih sangat lengkap dalam tradisinya yang memakan waktu hampir 1.5 bulan. demikian untuk tambahan informasi, dan semoga nanti informasi tersebut diatas dapat semakin lengkap, terima kasih.


    regards,
    chris djoka

    ReplyDelete
  3. Dear Mas Hrs,

    Sebagai tambahan terkait dengan tulisan tentang Neaq Lom dapat diambil dari blog saya yang tulisannya juga dimuat di kompas.com, terima kasih.

    Regards,
    Chris

    ReplyDelete
  4. Trimakasih untuk infonya. Kalo untuk masalah perizinan kesana bagai mana? Saya minta infonya dong buat perizinanya?

    ReplyDelete
  5. Setiap April selalu dilaksanakan Pesta Panen Padi (Lom Plai). Lom=Pesta dan Plai=Padi. Ritual awal dimulai sejak minggu pertama atau kedua Maret dan Puncaknya pada minggu pertama atau kedua April sedang penutupnya dalam Ritual Embos Epaq Plai bersama dengan tenggelamnya matahari dengan total waktu antara 1-1.5 bulan. Keramaian utama terjadi pada saat puncak pesta panen karena terdapat ragam ritual yang ditampilkan hanya dalam sehari, al: ngesea egung, seksiang, embos min, peknai dan pada sore hari dengan atraksi hudoq dan tarian tumbambataq. Untuk menuju ke Wehea sangat gampang sejak 3 tahun terakhir, dari Samarinda atau Balikpapan dapat menggunakan kendaraan roda 4 (taksi kijang inova) dengan perjalanan samarinda-wehea selama 7-8 jam dengan biaya reguler Rp. 300 ribu / orang dan jika carter berkisar antara Rp. 1.4 - 1.6 juta. Dapat juga dari arah Berau, dengan jarak tempuh selama 4 jam dengan biaya Rp. 200-250 ribu / orang. Jika berkunjung ke Hutan Lindung Wehea dapat datang langsung untuk mengurus perijinannya ke Sekretariat Lembaga Adat Wehea Desa Nehas Liah Bing (jika dari Sangatta: dari arah polsek Muara Wehea, lurus tidak berbelok, melalui jalan cor hingga ke Kantor Pos dan setelah itu belok kanan dan ikuti terus hingga ketemu simpang 3 belok kiri dan lurus. 200 meter dari simpang terakhir bertemu sebuah bangunan kayu khas Dayak Wehea, dan disitulah Sekretariat Lembaga Adatnya. So, disana dapat berkoordinasi terkait perijinan dengan Ibu Yuli Wetuq (dapat juga di invite di FB). Semoga sedikit info ini bermanfaat. ... Note: untuk tahun 2017, Puncak Pesta Panen di Nehas Liah Bing pada minggu kedua April, sedangkan untuk desa-desa Wehea lainnya serta gabungan dari seluruh desa Wehea masih menunggu konfirmasi dan akan disampaikan kemudian.... Salam Lestari...

    ReplyDelete

Silahkan berkomentar di bawah ini, Kami mohon maaf, apabila terdapat kekeliruan atau ada yang tidak sesuai dengan pendapat pembaca, sehubungan dengan sumber-sumber yang kami terima bisa saja memiliki kekeliruan.
Dengan senang hati kami menerima segala kritik maupun saran pembaca, demi peningkatan blog Proto Malayan.
Salam dan terimakasih,