tetua adat suku Hoaulu |
Dilihat dari gaya hidup dan tradisi suku Hoaulu sepertinya masih terkait kekerabatan dengan suku Naulu yang juga berada di pulau Seram, hanya saja suku Naulu telah hidup lebih maju dibanding suku Hoaulu yang masih mempertahankan gaya hidup tradisional.
Pemukiman suku Hoaulu yang berada di desa Hoaulu, berada di pedalaman, hanya bisa ditempuh dengan berjalan kaki selama kira-kira 2 jam dari ruas jalan trans Seram. Perjalanan menuju desa Hoaulu melalui hutan dan sungai Oni yang selebar 10 meter.
Suku Hoaulu pada dasarnya masih hidup secara nomaden, menjelajah hutan-hutan untuk mencari sumber penghidupan. Tapi akhir-akhir ini mereka sudah mulai terbiasa menetap di pemukiman. Mereka masih melaksanakan ritual mengagungkan leluhur. Sebagian besar dari mereka masih mengkonsumsi sagu sebagai makanan sehari-hari. Di hutan sekitar pemukiman mereka, marena mengumpulkan hasil seperti buah langsa, dengan menggunakan saloi. Saloi adalah kantong yang terbuat dari anyaman bambu.
Menurut cerita, bahwa suku Hoaulu pada masa dahulu menjalankan tradisi memotong kepala orang, khususnya kepala musuh atau dari suku-suku lain sebagai tumbal untuk roh nenek moyang. Tapi pada generasi yang sekarang, kebiasaan tersebut sudah lama tidak dilakukan. Walaupun mereka tinggal di pedalaman, tapi mereka mengerti bahwa membunuh orang itu adalah salah, dan bisa terkena sanksi hukum pemerintah setempat.
Sebagian besar rumah pemukiman suku Hoaulu sudah dimasuki listrik yang berasal dari tenaga surya, dan rumah-rumah mereka sudah diterangi dengan lampu-lampu listrik seperti bohlam maupun lampu neon, tapi uniknya khusus rumah Tetua Adat suku Hoaulu yang bernama Makahiti Ipatapale yang berusia 81 tahun, tidak menggunakan listrik sama sekali. Menurut sang Tetua Adat, "Roh nenek moyang tidak membolehkan ada listrik di rumah ini". Rumah sang Tetua Adat hanya menggunakan suluh dari daun damar yang menyala remang-remang. Itu sudah cukup terang menurutnya. Rumah sang Tetua Adat dianggap sebagai rumah yang sakral atau keramat bagi masyarakat suku Hoaulu.
Masyarakat suku Hoaulu masih menerapkan tradisi keyakinan lama mereka, yaitu percaya kepada roh-roh nenek moyang. Mereka meyakini bahwa dalam benda-benda yang berada di rumah Tetua Adat, seperti Leautu yang merupakan sebuah kantong anyaman bambu dan parang, diyakini merupakan tempat persemayaman roh-roh nenek moyang mereka. Bagi para perempuan yang sedang berada di rumah Tetua Adat tidak boleh menyebutkan kata "leautu" apalagi mendekatinya. Apabila hal itu dilakukan, maka sang perempuan akan mengalami haid tanpa henti. Kesakralan rumah sang Tetua Adat tetap diyakini oleh masyarakat suku Hoaulu.
Dalam adat-istiadat suku Hoaulu, apabila perempuan sedang dalam masa haid harus tinggal di rumah yang disebut Liliposo. Rumah Liliposo berukuran 5 x 5 x 5 meter yang hampir seluruhnya ditutupi oleh bangkawang (atap daun sagu). Mereka masih mengandalkan ritual doa kepada arwah nenek moyang yang diiringi musik tifa untuk menyembuhkan penyakit. Dalam tradisi suku Hoaulu, para laki-laki yang sudah dianggap dewasa harus mengenakan ikat merah di kepala. Tradisi lain adalah Cidaku dan Sasi (larangan mencegah pengambilan hasil bumi sebelum waktu panen).
Walaupun di sisi lain modernisasi sudah merambah ke desa-desa lain di pulau Seram, tapi masyarakat suku Hoaulu tetap mempertahankan keterisolasian dan jauh dari kehidupan dunia luar. Walaupun beberapa masyarakat suku Hoaulu mengharapkan orang Hoaulu agar keluar dari keterisolasian. Masalah terisolasinya suku Hoaulu membuat mereka kesulitan menjual hasil bumi akibat tak ada akses jalan ke desa pemukiman mereka. Selain tidak adanya bantuan alat penunjang kegiatan belajar-mengajar yang membuat generasi mudanya juga tidak bisa mendapatkan pendidikan secara layak.
Rasa kebersamaan dan persaudaraan sangat kuat bagi masyarakat suku Hoaulu, terlihat dari setiap ada kegiatan, gotong royong menjadi tradisi bagi mereka. Apabila ada salah satu anggota suku yang membangun rumah, selalu dikerjakan secara bergotongroyong. Mereka mengadakan pesta adat Kahua selama 3 hari pada saat pembangunan rumah sampai pada tahap pemasangan atap rumah dengan bangkawang.
Rasa kebersamaan dan persaudaraan sangat kuat bagi masyarakat suku Hoaulu, terlihat dari setiap ada kegiatan, gotong royong menjadi tradisi bagi mereka. Apabila ada salah satu anggota suku yang membangun rumah, selalu dikerjakan secara bergotongroyong. Mereka mengadakan pesta adat Kahua selama 3 hari pada saat pembangunan rumah sampai pada tahap pemasangan atap rumah dengan bangkawang.
sumber:
0 comments:
Post a Comment
Silahkan berkomentar di bawah ini, Kami mohon maaf, apabila terdapat kekeliruan atau ada yang tidak sesuai dengan pendapat pembaca, sehubungan dengan sumber-sumber yang kami terima bisa saja memiliki kekeliruan.
Dengan senang hati kami menerima segala kritik maupun saran pembaca, demi peningkatan blog Proto Malayan.
Salam dan terimakasih,