Selain di Arunachal Pradesh sebagai populasi terbesar suku Monba (50.000), populasi suku Monba juga tersebar di Tibet dan Bhutan.
Penyebaran suku Monba adalah:
- Arunachal Pradesh, di Tawang dan kabupaten Kameng Barat (West Kameng districts)); 50.000 orang
- Tibet, di Cona County, daerah Otonomi Tibet (Tibet Autonomous Region); 25.000 orang,
dan di Pelung Township, Nyingchi County dan Medog County.
- Bhutan; 2.500 orang
- China
Suku Monba, terbagi menjadi 6 sub-grup, yang dibedakan dari variasi bahasa mereka, yaitu:
- Tawang Monba
- Dirang Monba
- Lish Monba
- Bhut Monba
- Kalaktang Monba
- Panchen Monba
Suku Monba, berbicara dalam bahasa mereka sendiri, yaitu bahasa Monba, yang diasumsikan sebagai bagian dari keluarga bahasa Tibeto-Burman, bahasa terpisah dari klaster Tibetic. Bahasa Monba biasanya ditulis dengan huruf Tibet.
Berikut beberapa kelompok bahasa Monba:
- bahasa Sherdukpen
- bahasa Lish
- bahasa Chug
- bahasa Sartang
keempat bahasa di atas diusulkan sebagai bagian dari bahasa Bugun (bahasa Kho-Bwa), tapi sebenarnya tidak memiliki keterkaitan sama sekali.
Dialek:
- dialek Tawang, diucapkan oleh kelompok Tawang Monba, yang disebut juga bahasa East-Bodish (Bodish-timur).
- dialek Dakpa, yang diucapkan di Bhutan, diduga merupakan dialek dari bahasa Tawang.
- dialek Tshangla, dialek terkait erat diucapkan di desa Senge, Nyukmadung dan Lubrang
- dialek Brokpa, diucapkan oleh perantau.
- - dialek Dirang (dikenal sebagai "Central Monba")
- - dialek Murshing dan Kalaktang (juga dikenal sebagai "Southern Monba")
Bahasa lain yang terdapat pada orang Monba, adalah:
- dialek dari desa Zemithang, Mago dan Thingbu, belum bisa dipastikan apakah terkait erat dengan dialek Tawang atau Brokeh.
Pada dasarnya orang Monba adalah penganut
Gelug, salah satu sekte agama Buddha Tibet, yang diadopsi pada abad 17, oleh pengaruh Bhutanese-educated Merag Lama. Namun demikian, keyakinan asli mereka seperti
Bon, unsur-unsur Pre-Buddish Faith (Iman pra-Buddha) yang sering juga disebut "Bon" tetap kuat di antara orang Monba, terutama di daerah dekat ke dataran Assam. Di setiap keluarga Monba, terlihat khas sebuah altar kecil Buddha diberikan dalam cangkir kecil dan menyalakan lampu mentega.
Orang Monba, dalam kesehariannya memiliki gaya-hidup sebagai pemburu-pengumpul. Mereka masih percaya bahwa totem dan klan idola adalah bagian dari semangat harimau. Menurut keyakinan mereka "semangat harimau" adalah manifestasi dari roh hutan leluhur, untuk mengambil dukun muda ke hutan untuk diinisiasi.
Budaya Monba yang terkenal adalah pada ukiran kayu, juga semacam lukisan yang disebut "Thangka", dan karpet serta kain tenun. Mereka juga memproduksi kertas dari pohon lokal "sukso". Mereka memiliki mesin cetak yang berada di biara Tawang, untuk mencetak buku-buku agama yang dicetak di atas kertas dan kayu blok lokal. Selain itu mereka juga dikenal untuk produksi mangkuk kayu dan produk anyaman bambu.
Acara tradisional yang terkenal pada suku Monba adalah:
- Festival Panen Choskar,
- Festival Losar, Selama Festival Losar, mereka berdoa di biara Tawang untuk berdoa bagi kedatangan Tahun Baru Tibet.
- Festival Ajilamu, selama Festival Ajilamu mereka melakukan tarian pantomim
- Festival Torgya.
- Festival Choskar, pada festival ini Buddha Lama akan membaca kitab suci agama selama beberapa hari. Setelah itu, penduduk desa akan berjalan di sekitar ladang ditanami dengan sutra di punggung mereka. Arti penting dari festival ini adalah untuk berdoa untuk budidaya yang lebih baik dan melindungi biji-bijian dari serangga dan binatang liar. Kemakmuran desa tidak dikecualikan juga. Semua hewan kecuali manusia dan harimau yang diizinkan untuk diburu. Menurut tradisi, hanya satu orang diperbolehkan untuk berburu harimau pada hari baik. Setelah berburu harimau, tulang rahang, bersama dengan semua giginya, digunakan sebagai senjata sihir. Diyakini akan membangkitkan kekuatan dan semangat harimau leluhur, yang akan menemani dan melindungi sepanjang jalan.
Sejarah
Pada masa lalu sekitar tahun 500 SM hingga 600 Masehi, menunjukkan adanya sebuah kerajaan pernah berdiri di wilayah orang Monba, yaitu Lhomon atau Monyul.
Pada abad 11, Monba Utara di Tawang berada di bawah pengaruh Buddhisme Tibet dari denominasi Nyingma dan Kagyu, yang membuat orang Monba mengadopsi tulisan Tibet untuk bahasa mereka, kemudian disusul kehadiran misionaris Drukpa yang hadir pada abad ke-13 dan Gelugpa di abad ke-17.
Tahun 1914, Inggris dan otoritas kolonial di India menarik McMahon line, yang mereka klaim sebagai perbatasan antara Cina Tibet dan British India. Garis membagi tanah wilayah hunian orang Monba, dan menjadi sumber pertentangan di tahun-tahun berikutnya.
Pada tahun-tahun berikutnya, China mengklaim perbatasan pra-McMahon sebagai perbatasan antara Tibet dan India. Setelah kemerdekaan India dan perubahan pemerintahan di Cina, sengketa menjadi isu utama dalam hubungan antara China dan India.
Garis McMahon (McMahon Line) adalah garis efektif kontrol dalam periode ini, meskipun pada wilayah perbatasan bisa terjadi konflik. Pada tahun 1962, patroli militer Cina yang berkelana di Garis McMahon menarik respon militer dari India, yang mengakibatkan Perang Sino-India. Namun, perang berakhir dengan penarikan militer secara sukarela oleh China dari Garis McMahon.
Masyarakat
Masyarakat tradisional Monba terdiri dari enam menteri lokal dikenal sebagai
Trukdri. Para anggota dewan ini dikenal sebagai
Kenpo, yang berarti adalah Kepala Biara Tawang. "Lama" juga memegang posisi terhormat, yang terdiri dari dua biarawan yang dikenal sebagai
Nyetsangs, dan dua lainnya
Dzongpon.
Dalam tradisi kehidupan keluarga, suami adalah kepala keluarga dan sebagai pengambil semua keputusan. Dalam ketidakhadirannya, istri mengambil alih semua tanggung jawab. Biasanya mereka lebih suka anak perempuan, karena anak perempuan harus tinggal di rumah orang tuanya setelah dia menikah, sedangkan sang suami pindah ke rumah mertuanya. Tradisi ini juga ditemukan pada suku Khasi Meghalaya, India.
Orang Monba, perlahan mengalami pergeseran kehidupan, dari pemburu-pengumpul, saat ini mulai banyak yang memelihara sapi, yak, sapi, babi, domba dan unggas.
source: