Suku Hoanya, Formosa, Taiwan

Suku Hoanya, adalah suatu kelompok masyarakat penduduk asli Formosa, Taiwan, yang belum mendapat pengakuan dari pemerintah Taiwan. Orang Hoanya berdiam terutama di kabupaten Changhua, kota Chiayi, Nantou County, dan di sekitar kota Tainan.

nama lain: Hungya, Hongya, Hoannya, Hoyana, Kali
bahasa: Hoanya
kelompok bahasa: Austronesia
dialek: Lloa (Loa), Arikun, Hoanya

Orang Hoanya sempat dianggap hilang dalam sejarah. Di masa lalu orang Hoanya banyak terpisah-pisah, dan banyak yang berasimilasi dengan budaya China Han. Tapi walau mereka hidup dalam budaya China Han, rasa Hoanya tetap melekat dalam hati mereka. Sehingga merupakan kerinduan untuk kembali ke dalam masyarakat adat Hoanya, seperti di masa nenek moyang mereka dahulu.
Orang Hoanya dari segala penjuru, bersatu dan masih eksis serta telah mengadakan perayaan tradisional di kota Puli, Nantou County. Perayaan tradisional orang Hoanya adalah "Festival Budaya Hoanya" yang digelar tepat dengan Hari Tahun Baru tradisional Hoanya, berdasarkan pada tanggal 15 bulan 11 kalender Imlek.
Perayaan tradisional Festival Budaya Hoanya, termasuk kegiatan lomba lari tradisional untuk para laki-laki muda untuk membuktikan status mereka sebagai prajurit Hoanya, upacara pemujaan leluhur, ritual berburu rusa dan acara pesta yang diikuti semua anggota suku.
Acara tradisional ini mendorong kebangkitan budaya dan identitas dari keturunan orang Hoanya . Sekitar 20.000 orang Hoanya dapat melacak kembali asal usul keluarga mereka untuk kembali ke adat Hoanya. Keturunan Hoanya yang sempat terceraiberai, banyak tinggal di sekitar kabupaten Taiwan tengah Nantou, Taichung, Changhua, Yunlin, dan Chiayi.

Selain acara tradisional Festival Budaya Hoanya, masih terdapat beberapa tradisi Hoanya yang kembali dibangkitkan, seperti upacara panen yang berlangsung 4 hari.
Upaya masyarakat Hoanya untuk melawan kekuatan asimilasi masyarakat China Han, dan berharap bahwa peristiwa budaya-kebangunan rohani dapat diselenggarakan bagi masyarakat.

Orang Hoanya berbicara dalam bahasa Hoanya, yang merupakan salah satu cabang dari rumpun bahasa Austronesia. Bahasa Hoanya berada dalam tekanan bahasa China Han, sehingga banyak orang Hoanya yang tidak lagi berbicara dalam bahasa Hoanya. Generasi muda banyak yang berbicara dalam bahasa China Han. Bahasa Hoanya sebelumnya dituturkan di daerah pusat barat, dari Taihsi ke Peimen sampai ke daerah bahasa Tsou Selatan.

Bahasa Hoanya terdiri dari 3 dialek, yaitu:
  • Lloa
  • Arikun
  • Hoanya

orang Hoanya
(englishservice)
Di masa lalu, Minsyong Township, yang dahulu disebut "Damao", adalah menjadi pusat awal dari komunitas Hoanya berasal. Pada tahun 1920, Jepang mengganti nama Damao menjadi Minsyong, yang terdiri dari 22 Jhuang (desa). Pada tanggal 20 Januari 1946, Minsyong Township berkembang menjadi Chyiayi District kemudian menjadi Chiayi County, Tainan County, dan 22 Jhuang (desa) ditambah desa Bao Set.

Kehidupan orang Hoanya cenderung lebih baik saat ini. Banyak dari orang Hoanya yang berprofesi sebagai pedagang atau pada sektor swasta lainnya.


sumber:
artikel lain:

Suku Makatao, Formosa, Taiwan

Suku Makatao, adalah suatu kelompok yang tidak secara resmi diakui oleh pemerintah sebagai pribumi, yang menetap di sepanjang hilir sungai Tanshui  di Kaohsiung dan Pintung County Chishan Township, Formosa, Taiwan. Populasi orang Makatao pada tahun 2.000 terdapat 121 keluarga dengan jumlah penduduk 460 orang.

nama lain: Makatto, Ah Ho
bahasa: Makatao
kelompok bahasa: Austronesia

suku Makatao
(youtube)
Suku Makatao, sekitar tahun 1860 awalnya menetap di Taitung Countys Changbin Township, tapi sekitar tahun 1860, kelompok ini direlokasi ke Pintung Countys Chishan Township.

Menurut cerita rakyat orang Makatao, dahulunya mereka adalah penghuni awal daerah Kaohsiung sejak lebih dari 2.000 tahun yang lalu. Daerah Kaohsiung dahulu bernama "Takao" atau "Dagao", di daerah ini masih terdapat situs kuno peninggalan komunitas Dagao dari suku Makatao, sebuah cabang dari suku Siraya.
Di wilayah Dagao dahulu, orang Makatao menanam bambu hutan di hutan sekitar pemukiman mereka untuk menghentikan invasi dari bajak laut. Dalam bahasa Makatao "Takau" berarti bambu, sedangkan orang Cina Han menerjemahkannya sebagai "Dagao". Di Takao atau Dagao, terdapat sungai Takao, yang menjadi wilayah pemukiman orang Makatao di masa lalu.

Sekitar tahun 1563 (abad 16), masuknya Bajak Laut Dao Lin Chien dari China yang meyakini darah manusia yang disiramkan ke kapal-kapal mereka bisa menangkal roh-roh jahat. Bajak Laut Dao Lin Chien membantai masyarakat adat lokal Makatao di Takao dan membasahi kapal mereka dengan darah orang Makatao. Banyak Makatao orang tewas dalam pembantaian dan sisanya melarikan diri ke Pintung. Orang Makatao yang selamat melarikan diri dan bermigrasi ke Ah Ho Lin (bukit di Dashu) dan membentuk komunitas Ah Ho saat ini di kota Pingtung, sebelah selatan Taiwan.

Pada saat Belanda tiba di Dagao, populasi suku Makatao sudah tidak ada lagi di Dagao. Hanya terdapat situs makam kecil di Tsaishan, yang diduga adalah sisa dari suku Makatao. Di bukit di belakang Candi Lon-Chuan, dekat pintu masuk ke Taman Wisata Alam, Hsiao-Si Shell Grave, terdapat sebuah situs arkeologi yang mendokumentasikan sejarah gaya hidup suku Makatao lebih dari 2.000 tahun yang lalu.
Selain itu juga terdapat satu situs arkeologi di kota Kaohsiung, yang diperkirakan berusia 4.000 hingga 5.000 tahun SM, yang diperkirakan berasal dari peninggalan manusia yang lebih tua dari suku Makatao, yaitu suku Pepo. Dari penggalian di sekitar situs juga ditemukan tembikar dan alat-alat batu konsisten dengan periode Budaya Niu-chou-zi.

perempuan Makatao
wajah di tatto
(youtube)
Orang Makatao, memiliki bahasa asli, yaitu bahasa Makatao, yang merupakan bahasa dari kelompok rumpun Autronesia. Tapi, seperti yang dialami kebanyakan kelompok penduduk asli di Formosa yang berada di bawah tekanan asimilasi suku bangsa Han, suku Makatao pun mulai kehilangan sebagian besar tradisi budaya, ritual, lagu dan bahasa mereka.

sumber:
artikel lain:

Suku Tefuye, Formosa, Taiwan

Suku Tefuye, adalah suatu kelompok masyarakat adat kecil yang terdapat di Alishan, Formosa, Taiwan.

bahasa: Tsou dialek Tefuye
kelompok bahasa: Austronesia


suku Tefuye
(dmtip)
Suku Tefuye merupakan sub-kelompok dari suku Tsou Utara (Northern Tsou), bersama dengan suku Dabang dan Lijia. Ketiga kelompok masyarakat adat ini lah yang disebut sebagai kelompok suku Tsou Utara. Secara tradisional orang Tefuye, Dabang dan Lijia, hampir tidak perbedaan, terutama dalam tradisi adat istiadat, budaya dan bahasa, hanya terdapat perbedaan dalam dialek.

Tefuye bermukim di desa Lijia. Tetangga dekat mereka di wilayah Alishan adalah suku Dabang yang bermukim di Dabang. Selain suku Dabang yang menjadi tetangga suku Tefuye, ada satu kelompok masyarakat lagi yang disebut sebagai suku Lijia yang pemukiman lumayan jauh, bermukim di desa Lijia dan desa Shizi yang berjarak sekitar 10,3 km dari dabang.

Tradisi Ritual Mayasvi,
upacara perang di desa Tefuye, Alishan.
Untuk menghormati dewa dan prajurit.
Perjuangan suku untuk melindungi
identitas budayanya
(reuters), (chinapost)
Ritual adat yang utama pada masyarakat Tefuye, adalah tradisi ritual "Mayasibi" (Mayasvi dalam bahasa Tsou), yaitu ritual tradisional pengorbanan yang diadakan setiap tahun, yang dilakukan atas dasar rotasi. Mayasvi biasanya terjadi pada pertengahan Februari, tapi waktunya dapat berubah dari tahun ke tahun. Hal ini diadakan baik oleh masyarakat suku Tefuye maupun Dabang. Awalnya tradisi ini adalah sebuah upacara untuk menghormati para dewa dan untuk menyambut kembalinya prajurit, serta untuk mengakui prestasi penting seperti pembangunan rumah. Namun, selama pendudukan Jepang atas Taiwan (1895-1945), Jepang berperang dengan suku-suku asli, dan upacara ini berubah menjadi acara yang digelar setahun sekali.

sumber:
artikel lain:

Suku Dabang, Formosa, Taiwan

Suku Dabang, adalah suatu kelompok masyarakat adat kecil yang terdapat di Alishan, Formosa, Taiwan.

nama lain: Dapang, Tabangu
bahasa: Tsou dialek Dabang
kelompok bahasa: Austronesia


laki-laki suku Dapang
(dmtip)
Suku Dabang merupakan sub-kelompok dari suku Tsou Utara (Northern Tsou), bersama dengan suku Tefuye dan Lijia. Ketiga kelompok masyarakat adat ini lah yang disebut sebagai suku Tsou Utara. Secara tradisional orang Dabang, Tefuye dan Lijia, tidaklah berbeda, terutama dalam tradisi, budaya dan bahasa, hanya terdapat perbedaan dalam dialek.

Daerah Dabang, awalnya didirikan oleh suku-suku yang mendiami wilayah ini sekitar 300 tahun yang lalu, dan sekarang menjadi desa terbesar untuk bermukimnya suku Tsou.

Ritual adat yang utama pada masyarakat Dabang, adalah tradisi ritual "Mayasibi" (Mayasvi dalam bahasa Tsou)", yaitu ritual tradisional pengorbanan yang diadakan setiap tahun, yang dilakukan atas dasar rotasi. Mayasvi biasanya terjadi pada pertengahan Februari, tapi waktunya dapat berubah dari tahun ke tahun. Hal ini diadakan baik oleh masyarakat suku Dabang maupun suku Tefuye. Awalnya tradisi ini adalah sebuah upacara untuk menghormati para dewa dan untuk menyambut kembalinya prajurit, serta untuk mengakui prestasi penting seperti pembangunan rumah. Namun, selama pendudukan Jepang atas Taiwan (1895-1945), Jepang berperang dengan suku-suku asli, dan upacara ini berubah menjadi acara yang digelar setahun sekali.

sumber:
artikel lain:

Suku Tsou Utara, Formosa, Taiwan

Suku Tsou Utara (Northern Tsou), adalah suatu kelompok masyarakat adat yang hidup di daerah Alishan, Formosa, Taiwan, yang dikenal sebagai suku Tsou Utara, atau disebut juga sebagai orang Alishan. Populasi orang Tsou Utara di Alishan hampir 4.000 orang. Orang Tsou Utara adalah penduduk asli daerah Alishan.

nama lain: Alishan, Arisan, Northern Tsou, Tazo
bahasa: Tsou
kelompok bahasa: Austronesia

suasana alam di Alishan
(wikipedia)
Wilayah pemukiman orang Tsou Utara memiliki tempat yang indah dan natural, sehingga menarik para wisatawan untuk mengunjungi daerah ini. Daerah Alishan menjadi daerah tujuan wisata populer. Di Alishan, suku Tsou adalah pilar pariwisata budaya. Ada 8 desa Tsou di daerah indah: Laiji, Dabang, Tefuye, Shanmei, Sinmei, Lijia, Chashan dan Leye. Setiap desa telah mengembangkan tema karakteristik yang di atasnya untuk pusatnya pengembangan masyarakat dan upaya promosi pariwisata.

Bahasa Tsou Utara adalah salah satu bahasa Austronesia dituturkan di Taiwan selatan. Bahasa Tsou Utara yang dituturkan di Mt. Ali dan Nantou County, terdiri dari 3 dialek, yaitu dialek Tapangu, Tfuya dan Luhtu.
Suku Tsou Utara bertahan di distrik Alishan, di utara dan selatan. Mereka mengklaim identitas mereka sendiri. Beberapa desa memiliki sebuah pondok pertemuan tradisional di mana orang berkumpul untuk membahas hal-hal penting.
Orang Tsou yang budaya dan adat mereka yang terancam dengan budaya China dan Taiwan, tetap berusaha mempertahankan demi melestarikan budaya mereka dengan mengadakan beberapa upacara tradisional Tsou. Acara tradisional diadakan selama 3 hari dengan melakukan 6 ritual ibadah untuk menjaga kesatuan dan budaya penduduk asli.

Kepala suku dan para tetua memimpin upacara tradisional, dengan menampilkan prajurit laki-laki membunuh babi dengan tombak, membayar upeti kepada dewa mereka dan mengundang para dewa ke masyarakat. Para prajurit kemudian mengambil babi yang dibunuh untuk berbagi dengan keluarga mereka.
Ritual tradisional tidak terbuka untuk umum, sedangkan yang diperbolehkan untuk ditonton hanya ketika dalam acara lagu tradisional dan tarian.

Di Alishan terdapat 3 kelompok masyarakat adat, dengan 3 dialek yang sedikit berbeda dan bermukim di lokasi yang terpisah. Ketiga kelompok masyarakat adat ini disebut sebagai suku Tsou Utara, yaitu:
  • Dabang, bermukim di Dabang
  • Tefuye, bermukim di Tefuye
  • Lijia, berada di Lijia (sekitar 10,3 km dari Dabang)

Dalam kepercayaan tradisional, mereka menyembah dewa perang. Makanan tradisional mereka yang utama adalah babi tradisional.
Tradisi lama mereka seperti berburu kepala, saat ini sudah ditinggalkan, seiring dengan beralihnya sebagian besar dari orang Tsou dari agama ethnic ke agama Kristen yang dibawa para misionaris sekitar abad 17.

tarian orang Tsou Utara (Alishan)
(archello)
Orang Tsou di gunung Ali, rata-rata memiliki kepribadian tenang, hidung lurus, kulit kuning, mata agak sipit, merupakan ciri khas ras mongoloid. Sekilas mereka mirip dengan keturunan China, tapi mereka adalah ras yang berbeda, mereka lebih mendekati dengan ras Asia Tenggara, tepatnya mereka adalah dari kelompok Austronesia, yang lebih mendekati dengan bangsa-bangsa dari Malayo-Polynesia, seperti Malaysia, Filipina, Indonesia dan Polynesia.

Orang Tsou Utara di Alishan, untuk pakaian tradisional mereka menggunakan pakaian dari kulit binatang, seperti dari kulit kijang, termasuk topi dan sepatu. Pembuatan pakaian dari kulit ini dilakukan dengan cara tradisional, dengan mencukur semua bulu pada kulit, mengeringkan, menempatkannya di dalam mortir, dan memukulnya dengan alu sampai menjadi lembut dengan mengulang beberapa kali. Bagian kulit di tangan binatang itu tidak akan digunakan untuk membuat pakaian kulit dan topi, yang semuanya berasal dari kulit kijang, berbeda dengan orang Paiwan yang menggunakan kulit kambing.

Selain dari kulit binatang, orang Tsou biasanya memakai pakaian warna merah dengan topi bulu penuh ornamen. Sedangkan perempuan memakai korset merah, kain penutup kepala, baju biru dan rok hitam.

Orang Tsou Utara di Alishan pada umumnya hidup pada tanaman teh dan matsum di gunung Ali. Mereka belajar menanam teh dari orang-orang China Han. Pada dasarnya orang Tsou hidup dari berburu, tapi karena kegiatan berburu dilarang oleh pemerintah Taiwan, maka mereka beralih ke kegiatan penanaman teh dan matsum. Beberapa lain mencoba pada tanaman rebung dan kubis.

sumber:
artikel lain:

Suku Kanakanavu, Formosa, Taiwan

orang Kanakanavu
(english.cntv)
Suku Kanakanavu, adalah suatu kelompok masyarakat yang hidup di desa Minsheng dan Minquan di Sanmin Town, Kaohsiung County yang berada di Formosa, Taiwan. Populasi suku Kanakanavu diperkirakan hanya sekitar 500 orang.

nama lain: Tsou Selatan (Southern Tsou)
bahasa: Kanakanavu
kelompok bahasa: Austronesia

Suku Kanakanavu bermukim di pegunungan Anguana di Kaohsiung County, mereka hidup bertetangga dengan suku Hla'alua yang hidup di desa Gaozhong dan Taoyuan di Taoyunag Town. Kedua suku ini dimasukkan ke dalam sub-kelompok suku Tsou, sehingga sering disebut sebagai suku Tsou Selatan, walau mereka sendiri cenderung menolak istilah "tsou". Identitas kedua suku ini telah lama menjadi perdebatan, bahasa mereka berbeda dengan Tsou Utara, mereka tidak hidup bersama, dan legenda mereka serta struktur sosial juga berbeda secara signifikan.

Suku Kanakanavu yang sering disebut sebagai suku Tsou Selatan, oleh peneliti dari Sayama, Ykichi (1915) dan Hengli Lin (1963) menunjukkan bahwa terdapat 11 ritual keagamaan tradisional di kalender mereka, yaitu:
  1. ma'anai (merebut kembali),
  2. mitoalu (menabur ),
  3. morulabalu (penyiangan),
  4. pulling and plucking (menarik dan mencabut),
  5. kana-koala (inisiasi malai dari pigweed),
  6. mata-ulu kaisisi pi-Kuapa (menakut-nakuti burung),
  7. umaunu (buah),
  8. ala-mia'u (awal panen),
  9. mikaungu (akhir panen),
  10. moa-nivi (akhir dari bersasaran dan untuk mengusir penyakit), dan
  11. kaisisi kabuburu (memenggal kepala musuh dan berburu).
(Jichang Xie, Jianing Ye, Wang Zhanghua, Yaotong Lin, 2002, Aboriginal society and culture of Kaohsiung County)

lokasi pemukiman suku Kanakanavu
(fasdt)
Sejak masuknya agama Kristen ke wilayah orang Kanakanavu, Pemerintah dan Gereja mendukung membangkitkan kembali beberapa ritual mereka yang banyak ditinggalkan. Beberapa budaya asli mereka kembali diterapkan, untuk mengembalikan identitas mereka yang hilang. Ritual tradisional penting bagi masyarakat Kanakanavu, adalah upacara tradisional "Mikong". Identitas asli mereka telah diperkuat dengan pariwisata budaya etnis telah muncul. Karena semua faktor ini, kelompok ini mulai mengembalikan individu, unik dan etnik ritual dan upacara "tradisional" mereka. Restorasi bahkan telah menjadi mekanisme simbolis penting untuk konsolidasi identitas suku Kanakanavu.

Dalam masyarakat Kanakanavu, keluarga merupakan ritual penting dan unit sosial. Pekerjaan pertanian aktual dan ritual upacara yang berlangsung setelah reklamasi dan sebelum panen semua dilaksanakan oleh keluarga sebagai unit independen. Upacara skala besar yang diselenggarakan oleh seluruh tranaser hanya akan berlangsung setelah musim panen dimulai. (Jichang Xie, Jianing Ye, Wang Zhanghua, Yaotong Lin, 2002, Aboriginal society and culture of Kaohsiung County)

Suku Kanakanavu telah lama berada di bawah tekanan asimilasi dengan orang Han dan Bunun, sehingga bahasa dan budaya mereka hampir menghilang. Jumlah orang yang fasih berbicara dalam bahasa Kanakanavu hanya sekitar 50 orang. Dalam bidang linguistik, bahasa Kanakavu dan bahasa Hla'alua diakui sebagai "yang tertua di antara seribu bahasa Austronesia di dunia". (Keshu Cai, Dr.josef Szakos, Hla’alua language and Kanakanavu language of South-Tsou)

sumber:
artikel lain:

Suku Hla'alua, Formosa, Taiwan

Suku Hla'alua, adalah suatu kelompok masyarakat yang hidup di desa Gaozhong dan Taoyuan di Taoyunag Town, Kaohsiung County. Populasi suku Hla'alua diperkirakan hanya sekitar 200 orang.

nama lain: Sa'alua, Southern Tsou (Tsou Selatan)
bahasa: Hla'alua
kelompok bahasa: Austronesia

lokasi pemukiman suku Hla'alua
(fasdt)
Suku Hla'alua di Kaohsiung County hidup bertetangga dengan suku Kanakanavu yang hidup di desa Minsheng dan Desa Minquan di Sanmin Town, Kaohsiung County. Kedua suku ini dimasukkan ke dalam sub-kelompok suku Tsou, sehingga sering disebut sebagai suku Tsou Selatan, walau mereka sendiri menolak istilah "tsou". Identitas kedua suku ini telah lama menjadi perdebatan, bahasa mereka berbeda dengan Tsou Utara, mereka tidak hidup bersama, dan legenda mereka serta struktur sosial juga berbeda secara signifikan.

Suku Hla'alua memiliki kemiripan dengan suku Tsou Utara yang berada di gunung Ali (Mt. Ali) dalam tradisi "Ritual Pertanian". Namun terdapat perbedaan dalam upacara tradisional "Miatongusu", yang hanya dimiliki oleh suku Hla'alua, sedangkan suku Tsou Utara tidak.

Orang Hla'alua berbicara dalam bahasa sendiri, yaitu bahasa Hla'alua. Suku Hla'alua lama berada di bawah tekanan asimilasi bahasa dan budaya orang Han dan Bunun, sehingga bahasa dan budaya mereka hampir menghilang. Saat ini yang fasih berbicara dalam bahasa Hla'alua hanya tinggal 30 orang. Dalam bidang linguistik, bahasa Hla'alua dan bahasa Kanakavu diakui sebagai "yang tertua di antara ribuan bahasa Austronesia di dunia". (Keshu Cai, Dr.josef Szakos, Hla’alua language and Kanakanavu language of South-Tsou)

Orang Hla'alua yang sebelumnya dalam bertahan hidup dengan cara berburu dan menangkap ikan, sejak tahun 1940 mulai menerapkan budidaya padi.

sumber:

Suku Tsou Selatan, Formosa, Taiwan

Suku Tsou Selatan (Southern Tsou), adalah suatu kelompok masyarakat adat yang hidup di daerah Sanmin dan kota-kota Taoyuan di Kaohsiung County, yang dikenal sebagai suku Tsou Selatan.

nama lain: Zou, Chou, Tazo
bahasa: Tsou
kelompok bahasa: Austronesia

Orang Tsou Selatan, kemungkinan masih berkerabat dengan orang Tsou Utara. Hanya saja di antara kedua kelompok ini terdapat perbedaan mendasar pada budaya, adat serta bahasa yang digunakan berbeda, terutama dalam dialek dan pengucapan.

Bahasa Tsou Selatan adalah termasuk dari kelompok bahasa Austronesia yang dituturkan di Kaohsiung County, terdiri dari 2 bahasa yang dituturkan oleh 2 etnis, yaitu:

orang Kanakanavu
(dokkyo-eng)
Suku Hla'alua dan suku Kanakanavu hidup bertetangga dalam satu wilayah. Suku Hla'alua hidup di desa Gaozhong dan Taoyuan di Taoyunag Town, Kaohsiung County, sedangkan suku Kanakanavu hidup di desa Minsheng dan desa Minquan di Sanmin Town, Kaohsiung County. Kedua suku ini dimasukkan ke dalam sub-kelompok suku Tsou, sehingga sering disebut sebagai suku Tsou Selatan. Tapi identitas kedua suku ini menjadi perdebatan, bahasa mereka berbeda dengan Tsou Utara, secara geografis mereka tidak hidup bersama, dan legenda mereka serta struktur sosial juga berbeda secara signifikan dengan suku Tsou Utara.

Orang Tsou Selatan adalah patriarkal yang kaku, status perempuan berada di bawah laki-laki dalam status masyarakat. Mereka memiliki rumah adat yang hanya boleh dimasuki oleh para laki-laki.

Upacara adat "Kemenangan Ritus" adalah yang paling penting, yang melibatkan renovasi balai pertemuan suku, serta proses yang panjang, tapi disertai acara hiburan seperti tarian dan minuman seperti tuak. Mereka masih mempercayai beberapa roh termasuk roh nenek moyang.

Pemukiman orang Tsou Selatan yang berada di Sanmin Township, sekarang berganti nama Namaxia District, yang terletak di Taiwan selatan, timur laut kota Kaohsiung di daerah pegunungan. Daerah ini merupakan salah satu dari 3 kabupaten Aborigin kota Kaohsiung. Penduduk di kabupaten ini meliputi beberapa masyarakat adat seperti suku Tsou Selatan, Bunun dan Paiwan.

Para laki-laki Tsou Selatan memiliki kegiatan yang khas, seperti berburu dan menyamak kulit, yang menjadi ciri khas suku Tsou Selatan.

sumber:
artikel lain:

Suku Tsou, Formosa, Taiwan

Suku Tsou, adalah masyarakat adat tengah selatan Taiwan. Populasi orang Tsou pada tahun 2000 sekitar 7.000 orang. Orang Tsou bermukim di 3 wilayah berbeda, yaitu di Nantou, Chiayi dan kota Kaohsioung.

nama lain: Alishan, Arisan, Northern Tsou, Tsu'u, Tsuou, Tzo
bahasa: Tsou
kelompok bahasa: Austronesia


orang Tsou
(en.wikipedia)
Orang Tsou sendiri terbagi menjadi 2 kelompok, yang menggunakan bahasa sama, tapi memiliki dialek yang berbeda, yaitu:
  • Tsou Utara
  • Tsou Selatan
Sebagian besar dari suku Tsou terkonsentrasi di Chiayi County di indah Alishan National Scenic Area dan di kota Kaohsiung sepanjang Southern Cross-Island Highway. Orang Tsou Utara dari Alishan dan orang Tsou Selatan dari Kaohsiung dibagi menjadi dua kelompok yang berbeda, disebut sebagai utara dan selatan. Ada perbedaan besar antara kedua kelompok dalam hal bahasa dan adat istiadat.

Bahasa Tsou adalah salah satu bahasa Austronesia dituturkan di Taiwan selatan. Hal ini dapat diklasifikasikan menjadi dua sub-bahasa, yaitu bahasa Tsou Utara yang dituturkan di Mt. Ali dan Nantou County, yang terdiri dari 3 dialek, yaitu dialek Tapangu, Tfuya dan Luhtu. Satu lagi adalah bahasa Tsou Selatan yang dituturkan di Kaohsiung County, yang terdiri dari 2 dialek, yaitu dialek Sa'alua dan Kanakanavu.

Sistem kekeluargaan orang Tsou sangat ketat, untuk adat pernikahan maupun acara-acara lain. Sistem ini ditaati oleh seluruh anggota suku. Aturan ini yang membuat orang Tsou selalu bekerja sama dan bekerja dengan efisiensi tinggi.
Tanah adalah milik bersama. Putra tertua memiliki prioritas utama untuk mewarisi properti keluarga. Senjata berharga diwarisi oleh putra tertua juga. Sedangkan putri tertua memiliki hak untuk mewarisi benda-benda milik ibunya

Orang Tsou adalah patrilineal, marga (nama keluarga) menurun dari sang bapak. Sedangkan perempuan harus hidup dengan keluarga suami setelah menikah. Mereka tidak diizinkan menikah dengan orang memiliki marga sama atau masih memiliki hubungan darah.

upacara tradisional Tsou
(formosatravel)
Pakaian tradisional dibuat dari kulit binatang. Dalam keseharian orang Tsou suka memakai pakaian warna merah dengan topi bulu yang dihiasi ornamen. Sedangkan perempuan memakai korset merah, kain penutup kepala (semacam kerudung), baju biru dan rok hitam.

Pertanian dan berburu menjadi kegiatan utama orang Tsou dalam bertahan hidup. Tapi karena adanya larangan berburu yang ditetapkan oleh pemerintah Taiwan, banyak orang Tsou memutuskan untuk pindah dari pemukiman mereka. Mereka banyak bekerja di perkebunan teh dan Matsum di Mountain Ali. Kegiatan ini meningkatkan taraf hidup orang Tsou. Mereka mempelajari teknik menanam teh dari orang-orang China Han. Nilai tanaman ekonomis yang tinggi membuat beberapa orang Tsou bisa kembali ke pemukiman mereka. Selain itu mereka juga mencoba dengan tanaman rebung dan kubis. Di luar itu, beberapa dari mereka mencoba mendalami cara-cara penanaman bunga penghasil parfum, seperti bunga Lily.

sumber:
artikel lain:

Suku Sakizaya, Formosa, Taiwan

Suku Sakizaya, adalah kelompok masyarakat adat yang hidup di Formosa, Taiwan. Suku Sakizaya sebagai suku ke 13 yang resmi diakui oleh pemerintah Cina pada tanggal 17 Januari 2007. Populasi orang Sakizaya di Taiwan sekitar 10.000 orang.

nama lain: Sakuzaya (berarti "pria sejati"), Sāqíláiyǎ, Sakiraya, Sakidaya
bahasa: Sakizaya
kelompok bahasa: Austronesia

lokasi pemukiman suku Sakizaya
Suku Sakizaya terutama bermukim di kabupaten Keelung, Taoyuan dan New Taipei, serta di Hualien yang pada masa dahulu dikenal sebagai Chilai atau Kiray, di mana budaya mereka berawal. Sebelum diakui sebagai suku tersendiri, suku Sakizaya dikelompokkan ke dalam divisi suku Ami yang nenek moyangnya tinggal di bagian utara Huatung Loire.

Orang Sakizaya merupakan orang Austronesia, yang masih terkait dengan penduduk asli Formosa, Taiwan lain dan memiliki budaya, bahasa, dan genetik hubungan dengan kelompok etnis Austronesia lainnya, seperti dari Filipina, Malaysia, Indonesia, Madagaskar dan Oseania.
Orang Sakizaya berbicara dalam bahasa Sakizaya, walaupun awalnya bahasa mereka belum diakui sebagai "sebuah bahasa" tetapi hanya sebagai dialek bahasa Amis, bahasa milik keluarga bahasa Austronesia. Namun, dari penelitian Universitas Nasional Chengchi menyatakan bahwa bahasa Sakizaya berbeda dengan bahasa Ami (Amis) meskipun kedua kelompok masyarakat ini hidup berdampingan.

perempuan Sakizaya
(china.org.cn)
Orang Sakizaya pada dasarnya mempraktekkan kepercayaan tradisional yang mencampur aspek pemujaan leluhur dan animisme, yang meliputi jajaran dewa dan roh nenek moyang.

Mereka memiliki beberapa dewa, seperti Otoki (dewa roh dunia), Olipong (dewa yang "mengusir penyakit"), dan Talaman atau Takonawan (dewa orang miskin).
Agama Kristen pertama kali tiba di Formosa selama zaman penjajahan Eropa, sekitar tahun 1627, saat kedatangan Georgius Candidius, yang pertama ditahbiskan menteri untuk menginjakkan kaki di pulau itu. Perkembangan agama Kristen sangat pesat di wilayah ini, tapi ketika kedatangan orang Tionghoa, penganut Kristen mengalami penganiayaan. Pada awal abad 20 barulah agama Kristen mengalami kebangkitan. Agama Kristen menjadi efektif dalam menjaga kesatuan sosial, yang diselenggarakan oleh praktek-praktek tradisional.

Pada tahun 1878, pemerintah Dinasti Cing mengirim pasukan untuk menguasai daerah pegunungan dan menenangkan suku-suku asli di Formosa Taiwan. Penduduk asli melakukan perlawanan, kekuatan gabungan suku Sakizaya dan suku Kavalan berperang melawan pasukan Cing. Kepala suku jatuh oleh kekejaman pasukan Cing. Istri mereka juga dijatuhi hukuman mati dengan menghancurkan tubuhnya dengan log kayu raksasa. Untuk menghindari pembasmian etnis, Sakizaya melarikan diri jauh dari rumah dan menghilang bersembunyi bersama sisa kelompok yang telah hancur selama 128 tahun dengan menyembunyikan identitas mereka. Ketika pendudukan Jepang, administrator Jepang menerapkan kebijakan klasifikasi etika di kalangan suku-suku asli. Trauma dengan kekejaman Dinasti Cing sebelumnya, orang Sakizaya memilih untuk menyembunyikan nama asli mereka dan mengaku sebagai suku Ami, yang memiliki kemiripan bahasa sekitar 30%. Sebuah ritual yang unik pada suku Sakizaya "makan oleh tua", mendirikan cincin pagar bambu berduri pada saat kenaikan 4 tahun, sebuah praktek yang tidak ada dalam suku Ami.

Masyarakat mereka sebagian besar matrilinear, dan para perempuan biasanya memiliki wewenang dalam keluarga. Suku Sakizaya memiliki sistem peringkat pada usia pertumbuhan seseorang. Mereka berbagi sistem peringkat usia yang sama (sral) dengan suku Ami.
  • Seseorang maju ke peringkat yang lebih tinggi untuk setiap 5 tahun (sakor). 
  • Seorang laki-laki pada periode remaja nya (wawa),
  • dari kelahirannya sampai usia 15 dan masa persiapan (masatrot) 15-23 tahun, 
  • pada periode laki-laki yang tinggal di rumah pertemuan pemuda (taloan), mematuhi petunjuk dari berikutnya dan menerima pelatihan. 
  • Akhirnya, laki-laki menjadi dewasa (matrot), dan menerima persetujuan peringkat usia. 
Pada saat waktu, teman dan kerabat akan datang untuk mengucapkan selamat dan merayakannya. Menurut kebiasaan tradisional, laki-laki yang baru bergabung peringkat usia harus melayani tugas kerja dengan memperbaiki jalan di suku.
Sementara itu, pendatang baru harus hidup sendirian di pegunungan untuk belajar hidup mandiri dengan mengakuisisi makanan di padang gurun sebagai pelatihan kepribadian dan kemauan. Ketika saat mereka berjuang untuk kebajikan telah berakhir, mereka akan kembali ke suku. Ketika mereka kembali, mereka harus berpacu dengan menjalankan apa yang tertinggal.

Sejarah Sakizaya tidak diketahui secara pasti. Tidak jelasnya tentang nenek moyang mereka ketika pertama kali tiba di Taiwan. Menurut beberapa ahli, orang Sakizaya menghuni daratan Formosa, Taiwan ini sejak 15.000 tahun yang lalu dan tergantung pada kehidupan laut untuk kelangsungan hidup. Pada zaman Neolitik sekitar 6000 tahun yang lalu, manusia mulai berdatangan, yang memungkinkan munculnya pertanian, hewan domestik, adzes batu dipoles, dan tembikar.

Kehidupan orang Sakizaya di Cilai Plain di Hualian, bertahan hidup dengan cara memancing/ menangkap ikan dan berburu ke hutan di sekitar wilayah pemukiman. Kegiatan pertanian juga mereka lakukan pada tanaman padi dan millet. Mereka belajar teknik pertanian basah dari orang Kavalan.

sumber:
artikel lain:

Suku Saisiyat, Formosa, Taiwan

Suku Saisiyat, adalah merupakan salah satu suku penduduk asli Formosa, Taiwan. Populasi orang Saisiyat adalah sebesar 5.600 orang tahun 2000. Orang Saisiyat merupakan kelompok etnis terkecil yang terdapat di Taiwan.

nama lain:  Saiset, Seisirat, Saisett, Saisiat, Saisiett, Saisirat, Saisyet, Saisyett, Amutoura, atau Bouiok
bahasa: Saisiyat
kelompok bahasa: Austronesia

pemukiman orang Saisiyat
Orang Saisiyat mendiami Taiwan Barat, berada di daerah perbatasan antara kabupaten Hsinchu dan Miaoli county. Pemukiman orang Saisiyat terbagi menjadi cabang utara (Wufong di daerah Hsinchu pegunungan) dan cabang selatan (Nanya dan Shitan di dataran tinggi Miaoli). Kelompok yang terbagi ini walaupun menggunakan bahasa yang sama, tapi memiliki dialek yang berbeda. Bahasa orang Saisiyat juga dikenal sebagai bahasa Saisiyat.

Festival Ailing
(huayuworld)
Orang Saisiyat memiliki suatu festival yang diselenggarakan setiap 2 tahun sekali, yaitu Festival Ailing di Pasta'ai. Acara festival ini sering digelar di 2 lokasi, yaitu di desa Da'ai, Wufeng Township, Xinzhu County, dan yang lainnya di Nanzhuang, Miaoli County. Festival ini merupakan suatu tradisi yang mereka amalkan sejak zaman nenek moyang mereka. Dalam kegiatan festival ini diisi dengan para penari, beberapa dengan perlengkapan belakang dengan manik-manik dan logam lonceng, keluar, bergerak dan nyanyian serempak.
generasi muda Saisiyat
(laorencha)
Para penari masuk busur atau lingkaran, kadang-kadang lambat, kadang cepat. Ketika mereka pergi dengan cepat, mereka sering terburu-buru ke tengah dan nyanyian semangat sebelum mengipasi keluar lagi.
Upacara Ailing adalah salah satu yang paling penting dari upacara orang Saisiyat. Lagu-lagu upacara, kaya dalam isi sastra, yang dinyanyikan oleh seluruh peserta upacara dan disertai dengan tarian. Menyanyi dan menari adalah karakteristik yang sangat khusus dari Upacara Ailing.

Menurut cerita legenda Saisiyat, dahulu di wilayah ini pernah hidup suku Ta'ai yang berkulit gelap, yang bermukim dekat wilayah orang Saisiyat. Kedua kelompok awalnya ramah, tapi setelah beberapa waktu, orang Ta'ai mulai menculik perempuan-perempuan Saisiyat, serta mencuri makanan. Karena kejadian ini membuat orang Saisiyat marah, dan langsung menyerang serta membunuh orang Ta'ai. Tapi akibat serangan tersebut, orang Ta'ai yang menguasai ilmu sihir mengutuk Saisiyat, yang kini harus melaksanakan Upacara Ailing sebagai korban pada akhir musim panen untuk menebus pembantaian.
Para antropolog berkesimpulan bahwa suku Ta'ai dulu pernah hidup di masa Taiwan kuno, dan orang Saisiyat memusnahkan mereka, dan yang tersisa diperkirakan lari keluar dari pulau Formosa ke daerah lain. Menurut legenda Saisiyat, orang Ta'ai, seperti suatu komunitas makhluk magis sebagai klaim legenda Saisiyat, tapi sangat mungkin secara historis bahwa orang Ta'ai pernah ada.

Orang Saisiyat memiliki nama keluarga yang unik. Mayoritas nama-nama berasal dari tumbuhan, hewan dan fenomena alam lainnya, seperti "Feng" (angin) menandakan "anak angin", "Gen" berarti akar pohon dan "Xia" menunjukkan "pelatihan" atau "pengeboran", "Xie" berarti "kepiting", "Ri" atau "Sun" menandakan bahwa pembawa nama ini merupakan keturunan dari pahlawan yang ditembak jatuh 8 matahari dan "Zhang" berarti "kamper pohon".

Pada masa awal, orang Saisiyat memiliki kepercayaan agama ethnic. Saat ini sebagian besar orang Saisiyat memeluk agama Kristen, terutama Katolik Roma, kemudian diikuti dengan Protestan dan denominasi Kristen lainnya.


sumber:
artikel lain:

Suku Babuza, Formosa, Taiwan

Suku Babuza, adalah salah satu penduduk asli Taiwan, yang bermukim terutama di Changhua dan di sekitar bagian barat Central Basin Taiwan.

nama lain: Babusa, Babu Sa, Favorlang, Favorlangsch, Jaborlang, Poavosa
bahasa: Babusa
kelompok bahasa: Austronesia

Suku Babuza sebagian besar memeluk agama Kristen, seperti Protestan, Katholik dan berbagai denominasi Kristen lainnya. Sebagian kecil, sekitar 20% masih memeluk agama ethnic. Agama ethnic pada suku Babuza merupakan kepercayaan tradisional yang diamalkan sejak zaman nenek moyang mereka.

Suku Babuza termasuk suku yang telah ribuan tahun bermukim di Taiwan, dan memiliki wilayah adat sendiri di daerah Formosa Taiwan, tapi pemerintah China dan Taiwan belum mengakui suku Babuza bersama sekitar 12 suku lain sebagai suatu kelompok masyarakat adat asli Taiwan.

Seperti masyarakat adat asli di Taiwan lainnya, mereka termasuk dalam klaster Austronesia, berbicara dalam bahasa Babusa yang merupakan bagian dari kelompok bahasa Austronesia. Tapi karena kuatnya pengaruh bahasa Mandarin dan Taiwan, sebagian dari orang Babuza banyak yang berbicara dalam bahasa Mandarin ataupun Taiwan. Bahasa Babusa menunjukkan hubungan kerabat dengan bahasa Taokas, karena banyak terdapat kemiripan dalam kosakata. Oleh karena itu bahasa Taokas kadang dianggap sebagai dialek bahasa Babusa.
Suku Babuza merupakan masyarakat adat yang tinggal di daerah datar, berbeda dengan suku-suku dataran tinggi pegunungan yang mampu mempertahankan bahasa asli mereka, sedangkan orang Babuza hidup dalam dominasi bahasa Mandarin dengan semakin meningkatnya pemukim China di wilayah mereka, sehingga bahasa Babusa mengalami krisis kepunahan.

Dalam bertahan hidup, suku Babuza hidup pada bidang pertanian, terutama padi dan millet. Tanaman padi dan millet menjadi sumber utama mereka dalam memenuhi kebutuhan hidup. Kegiatan lain seperti berburu dan menangkap ikan menjadi kegiatan lain di saat tidak ada kegiatan di perladangan.

sumber:
artikel lain:

Suku Robel, Kamboja

Suku Robel, adalah salah satu suku minoritas yang terdapat di Kamboja. Populasi orang Robel diperkirakan lebih dari 1.640 orang.

Orang Robel sampai saat ini sebagian besar masih menganut agama ethnic.

Belum ada informasi rinci mengenai budaya, tradisi, adat, agama maupun bahasa tentang orang Robel di Kamboja.

sumber:
artikel lain:

Suku Basay, Formosa, Taiwan

Suku Basay, adalah salah satu dari kelompok penduduk asli yang terdapat di Formosa, Taiwan.

Orang Basay tidak seperti etnis lain yang memiliki tradisi "ngayau", karena orang Basay tidak mengenal tradisi "ngayau".

Orang Basay berbicara dalam bahasa Basay, yang termasuk dalam kelompok rumpun bahasa Austrronesia. Pengaruh bahasa Mandarin dan Taiwan sangat kuat memasuki wilayah pemukiman orang Basay. Karena di antara suku-suku asli Taiwan memiliki bahasa yang berbeda, maka di antara mereka cenderung menggunakan bahasa Mandarin atau Taiwan untuk saling berkomunikasi. Dengan terjadinya hal ini, maka bahasa Basay pun mengalami krisis kepunahan. Generasi muda orang Basay banyak yang lebih suka berbicara dalam bahasa Mandarin atau Taiwan, daripada menggunakan bahasa Basay sendiri.

Pemukiman orang Basay berada di antara kelompok etnis yang memiliki bahasa yang berbeda dan tidak saling memahami. Di masa lalu, banyak kekerasan terjadi di wilayah Formosa. Orang asing yang tidak bisa memahami apa yang diucapkan, secara otomatis dianggap sebagai musuh.

Untuk kebutuhan hidup mereka pergi mengunjungi dari satu desa ke desa lain menukar hasil kerajinan mereka seperti panah, pakaian, dan pisau dalam pertukaran untuk mendapatkan beras. Orang Basay, agak berbeda dengan kelompok etnis lain yang berada di Formosa, mereka tidak hidup pada bidang pertanian, bertahan hidup dari menangkap ikan, seperti memancing dan menjala ikan. Berburu menjadi kegiatan lain selain memancing. Mereka juga trampil membuat banyak benda kerajinan tangan dan menjadi pedagang.

sumber:
artikel lain:

Suku Seediq, Formosa, Taiwan

Suku Seediq, adalah suatu kelompok masyarakat adat yang terdapat di Formosa, Taiwan. Suku Seediq sebagai salah satu dari 14 suku asli yang diakui sebagai suatu suku tersendiri oleh pemerintah China. Populasi orang Seediq di Taiwan diperkirakan lebih dari 6.000 orang.
  • nama lain: Sediq, Seejiq, Shaji, Bu-Hwan, Che-Hwan, Daiya-Ataiyal, Hogo, Iboho, Paran, Saediq, Sazek, Sedek, Sedeq, Sediakk, Sedik, Seedek, Seedeq, Seedik, Sejiq, Shedekka, Taruku, Toda, Toroko, Truku
  • bahasa: Sediq
  • kelompok bahasa: Austronesia

orang Seediq
(thetaiwanphotographer)
Orang Seediq, bermukim terutama di kabupaten Nantou dan Hualien County. Mereka berbicara dalam bahasa Seediq yang merupakan kelompok bahasa Austronesia. Pada tanggal 23 April 2006, suku Seediq diakui sebagai kelompok masyarakat adat ke 14 di Taiwan. Sebelum pengakuan ini, orang Seediq bersama orang Truku diklasifikasikan sebagai sub-kelompok (sub-suku) dari suku Atayal.

Para antropolog menemukan bahwa suku Seediq memiliki kesamaan budaya dengan suku Taiya, khususnya tradisi tato wajah dan "Chucao" tradisi pengayauan (perburuan kepala). Semakin banyak kepala dikumpulkan, akan lebih diakui dalam suku. Suku Seediq juga terkait erat dengan suku Truku. Kedua suku ini memiliki asal dan budaya yang sama, namun sejak awal dipisahkan karena gaya hidup yang berbeda.

Orang Seediq dahulunya mereka berawal dari kabupaten Nantou, dan mereka bermigrasi ke Taiwan Timur dalam beberapa tahap. Di Nantou, mereka tinggal bersama beberapa etnis lain, seperti Tkdaya, Truku dan Tuuda. Awalnya para imigran dari Nantao ke Haulien mengaku sebagai orang Truku.

Kepercayaan asli orang Seediq adalah menyembah Utux (roh nenek moyang). Mereka percaya bahwa pelangi, hakaw utux, adalah jembatan yang mengarah ke mana roh-roh nenek moyang berada. Setelah kematian mereka mendapat bagian itu, mereka akan bisa bersatu kembali dengan nenek moyang di sisi lain. Mereka percaya banyak tabu yang disebut hd. Ini adalah aturan yang dibawa sejak zaman nenek moyang. Hd menginstruksikan dari aturan perilaku sosial, pertanian, musim berburu perilaku perang dan upacara.

Orang Seediq tinggal di pegunungan lebih dari 2500 meter di atas permukaan laut. Mereka percaya, bahwa nenek moyang mereka lahir dari menara putih batu berbentuk aneh "Rmdax tasing". Batu putih ini terlihat dari seluruh daerah mereka, dan menuntun mereka dalam vegetasi yang mendalam pada perjalanan berburu. Dikatakan bahwa pohon tumbuh di batu putih raksasa, dan satu hari keringanan memukul pohon dan batu. Abang dan adik perempuan lahir dari pohon dan batu putih. Mereka adalah orang pertama. Setelah mereka tumbuh, adik perempuan itu khawatir bahwa tidak ada orang lain untuk mengisi. Jadi dia berencana menikahi abangnya. Sang adik ditolak karena bersaudara tidak boleh menikah. Akhirnya sang abang mengatakan kepada adik perempuannya, bahwa dia telah menemukan seorang gadis untuknya, yang akan menunggu di bawah pohon besok hari. Mendengar itu sang adik perempuan lalu menatto wajahnya dan menunggu di bawah pohon. Sang abang pun tidak mengenali adiknya dan akhirnya mereka menikah dan menjadi nenek moyang bangsa Seediq.

Suku Seediq seperti suku Atayal, merupakan 2 kelompok aborigin di Taiwan yang mentatto wajah mereka. Tato harus dilakukan oleh anggota suku Seediq. Ini adalah latihan kedua rohani dan sosial. Seorang laki-laki hanya bisa mendapatkan tatto setelah ia memotong kepala musuh pertamanya. Sedangkan perempuan hanya bisa mendapatkan tatto setelah dia memperoleh keterampilan tenun. Laki-laki dan perempuan tidak bisa menikah kecuali mereka bertatto. Untuk itu, praktek ini sangat sosial. Mendapatkan tato adalah peristiwa tunggal paling penting dalam seumur hidup Seediq itu. Juga, orang tanpa tato tidak bisa menyeberangi jembatan pelangi setelah kematian yang membuat tatto menjadi masalah spiritual. Praktik tradisional ini dilarang selama penjajahan Jepang, yang menjadi masalah serius menurut adat Seediq tanpa tatto, maka tidak boleh menikah.

Ketika China menguasai Taiwan, mereka bahkan tidak bisa menggunakan nama asli mereka, karena setiap orang dipaksa nasionalis untuk memiliki nama Cina.

Perempuan Seediq, sedang menenun
Tidak seperti beberapa penduduk asli Taiwan, Seediq adalah masyarakat matriarkal laki-laki. Sebuah suku Seediq memiliki sebuah pondok pertemuan laki-laki di mana semua keputusan perang dibuat. Secara umum, suku Seediq memiliki sifat yang sangat khas Austronesia.

Suku Seediq, seperti kelompok Austronesia lainnya, mereka hidup pada pertanian skala kecil dan masyarakat pemburu pengumpul. Perburuan dilakukan oleh para laki-laki serta menanam tanaman padi pada dataran tinggi. Sementara para perempuan menenun dan menanam tanaman ubi jalar. Mereka melakukan praktek pertanian tebas bakar.

sumber:
artikel lain:

Suku Truku, Formosa, Taiwan

Suku Truku, adalah suatu kelompok masyarakat adat yang terdapat di Formosa, Taiwan. Suku Truku sebagai salah satu dari 12 suku asli yang diakui sebagai suku asli di Taiwan oleh pemerintah China.

Awal sebelum diakui sebagai suku tersendiri oleh pemerintah China pada tanggal 15 Januari 2004, suku Truku diklasifikasikan sebagai sub-suku dari suku Atayal, karena dari aspek budaya dan adat istiadat memiliki sedikit kemiripan dengan suku Atayal. Suku Truku dianggap sebagai "sub-kelompok" atau "cabang" dari Atayal, dan diklasifikasikan sebagai kelompok Seediq timur di bawah kelompok etnis Atayal. Namun, para sarjana menunjukkan bahwa kelompok Seediq yang menyebut dirinya sebagai Sajeq, diperhatikan dari bahasa, budaya, dan aspek lain berbeda dari suku Atayal. Jadi kelompok Sedek "Sajeq" adalah suku tersendiri ("Shaji" dalam bahasa Mandarin). Oleh karena itu suku Truku sering juga disebut sebagai orang Seediq Timur, tapi mereka tidak sama dengan suku Seediq Barat.

orang Truku
(dmtip.gov.tw)
Orang Truku menurut cerita rakyat Truku, dahulunya mereka berawal dari kabupaten Nantou, dan mereka bermigrasi ke Taiwan Timur dalam beberapa tahap. Di Nantou, mereka tinggal bersama beberapa etnis lain, seperti Seediq, Tkdaya dan Tuuda. Para imigran Tkdaya dan Tuuda dari Nantao yang bermigrasi ke Hualien lebih mengaku sebagai orang Truku.
Kelompok ini memiliki identitas etnik jelas. Ketika menghadapi orang luar, sebagian besar anggotanya menyatakan identitas kelompok mereka sebagai Truku, atau Tailuge dalam bahasa Mandarin. Suku Truku akhirnya diakui oleh Eksekutif Yuan sebagai salah satu dari kelompok suku asli di Taiwan.

Kelompok etnis Truku mencakup tiga cabang, yaitu (Truku, Tkdaya dan Tuuda) yang berasal dari Sedeeq Timur lama dan sekarang mereka tersebar di banyak kota di Hualien County.

Awalnya suku Truku sering bersinggungan atau terjadi peperangan antar etnis dengan kelompok Sakiraya, Ayatal, Kavalan dan Amis. Mereka sering menjadi target pemburuan kepala oleh kelompok etnis lain.

Kawasan permukiman utama Truku adalah di daerah tangkapan air sungai Mugua, sungai Liwu dan sungai Heping, dan itu termasuk pembagian administratif berikut di Hualien County:  Tersebar di banyak desa, yaitu di desa Wunlan, Tongmen, Shueiyuan, Jiiamin, Jingmei, Sioulin, Fushih, Chongde; dan Heping di Sioulin Township; dan desa Hongye, Mingli, Wanrong, Jiiancing; dan Silin di Wanrong Township; dan desa Lunshen dan Lishen di Jhuosi Township; dan desa Sikou di Shoufong Township; dan desa Nan-ao, Aohua dan Jinyang di Nan-ao Township; dan desa Cingfong, Nanhua dan Fusing di Jian Township.

Dalam sejarah lisan Truku, ada dua versi mitos asal mereka, salah satunya adalah dikenal sebagai "kayu lahir dan batu lahir" versi (yang menyatakan bahwa nenek moyang mereka lahir dari pohon yang memiliki kedua sifat kayu dan batu), dan satu lagi dikenal sebagai versi lubang tak berujung. Suku Tkdaya, Tuuda dan Truku, semua memiliki cerita yang berbeda tentang tempat asal usul mereka.

Truku telah mengalami migrasi terus menerus karena perang antar suku atau kelompok, paksaan oleh kekuatan negara, dan karena kondisi di daerah di mana mereka tinggal. Umumnya suku pindah dari pegunungan tinggi ke daerah dataran. Dalam beberapa tahun terakhir, beberapa orang Truku telah pergi ke kota-kota untuk mengejar kehidupan yang lebih baik.

Ada berbagai peran dalam masyarakat Truku, termasuk kepala (dan juga wakil kepala atau wakil kepala dalam suku-suku besar), penatua, pemimpin klan, utusan dan prajurit. Kekerabatan memainkan peran penting dalam masyarakat Truku. Suku terutama dibangun di atas prinsip patrilineal dan matrilineal. Ini adalah konsep kekerabatan bilateral, yaitu menekankan keturunan darah daripada jenis kelamin atau pernikahan.

Orang Truku memiliki agama tradisional yaitu Utux (atau rutux, rudan) berarti "roh leluhur," tetapi juga berarti "Tuhan", "hantu" atau "jiwa." Oleh karena itu, tujuan utama dari ibadah utux adalah untuk mempersembahkan korban kepada roh leluhur, dan ibadah terkait erat dengan keberuntungan individu dan kelompok. Melanggar atau melecehkan utux akan membawa petaka, bencana atau kesengsaraan bagi sang pelaku.

Agama Kristen mulai menyebar di wilayah Truku sekitar 1895, namun pada saat itu wilayah ini, berada di bawah kekuasaan pemerintah Jepang, dan melarang pekerjaan misionaris, sehingga misionaris tidak dapat mencapai seluruh Taiwan. Setelah Perang Dunia II berakhir, jumlah konversi orang Truku dari agama tradisional ke Kristen meningkat pesat, denominasi utama termasuk Presbyterian, Katolik dan Gereja Yesus Sejati.

Agama tradisional tidak hanya mencakup ritual leluhur roh tetapi juga memiliki ritual tahunan yang berhubungan dengan hasil pertanian. Orang Truku melakukan ritual menabur benih dan menuai ritual sesuai dengan siklus musiman kegiatan pertanian, dan kepala berburu ritual, hujan atau matahari berdoa ritual yang diperlukan. Ritual tradisional semakin sedikit yang dilakukan sejak pengenalan agama Kristen dan perubahan metode produksi, tetapi beberapa suku telah menghidupkan kembali semangat leluhur ritual dan ritual tradisional lainnya dalam kebangkitan budaya etnis.

pakaian tradisional Truku
(tour-hualien)
Musik dan tari adalah dua elemen penting dari kehidupan tradisional Truku itu. Orang Truku suka menyanyikan lagu-lagu rakyat. Meskipun mereka tidak memiliki banyak lagu, mereka dapat mengekspresikan diri mereka melalui improvisasi lirik. Diiringi dengan tarian, biasanya penari membuat lingkaran dengan langkah sederhana. Alat-alat musik termasuk seruling dan kecapi mulut.

Sebelum kekuasaan negara masuk ke dalam masyarakat Truku, orang Truku berlatih pertanian babat dan bakar dan berburu sebagai metode produksi utama mereka. Tempat tinggal mereka sebagian besar berada di daerah pegunungan yang melebihi ketinggian seribu meter. Makanan sumber termasuk tanaman, seperti millet, padi kering dan ubi jalar, dan daging hewan dari pegunungan. Rumah-rumah tradisional dan bangunan dibuat dengan bahan yang diambil dari lingkungan sekitarnya, termasuk kayu, bambu atau batu ubin.

Millet dan ubi jalar, adalah bahan makanan pokok mereka, dilengkapi dengan buah-buahan dan sayuran liar, dan daging hewan dari berburu. Millet dibuat menjadi kue lengket dan bubur, atau difermentasi untuk membuat minuman beralkohol. Ubi jalar yang baik untuk mengukus, merebus atau memanggang. Hewan diburu di pegunungan, termasuk babi hutan, rusa air, kijang formosa, formosa serow, bajing terbang, musang dan kelinci. Burung atau ikan adalah sumber makanan tambahan. Daging itu biasanya dimasak atau diasinkan, tetapi beberapa organ akan dimakan mentah.

Pembagian kerja dalam masyarakat Truku didasarkan pada jenis kelamin, laki-laki mengurus berburu dan budidaya sementara perempuan bertanggung jawab atas tenun dan pertanian. Berburu adalah tanggung jawab utama laki-laki, tetapi tenaga kerja pertanian berat seperti penebangan dan pembersihan ladang juga jatuh kepada mereka. Perempuan bertani dan mencangkul rumput liar, namun laki-laki dan perempuan melakukan panen bersama-sama.

sumber:
artikel lain:

Suku Myen, Kamboja

Suku Myen, adalah salah satu suku yang terdapat di Kamboja. Populasi orang Myen di Kamboja diperkirakan sekitar 3.000 orang.

Nama lain: Bama, Bamar, Bamas, Burman, Man, Myan, Myan, Myen, Myanmas, Myen, Yaw
Keluarga bahasa: Sino-Tibetan
* Representative photo. Actual image is of
the Bhama of Myanmar people group. 
Credit: COMIBAM / Sepal


Orang Myen merupakan keturunan Burmese yang awalnya berasal dari daerah perbukitan Tibet. Komunitas orang Myen sebenarnya terpusat di Burma (Myanmar). Di Burma orang Myen banyak yang menjadi pemimpin politik, ekonomi dan pemimpin agama. Di Kamboja, orang Myen hidup mendiami dataran delta, yang merupakan daerah yang sangat subur. 
Orang Myen, selain terdapat di Kamboja dan Burma (Myanmar), mereka juga tersebar ke banyak negara, seperti Laos, Malaysia, Thailand, Australia, Bangladesh, Kanada, Jerman, Inggris dan Amerika Serikat. Secara global populasi orang Myen adalah lebih dari 35 juta orang.

Orang Myen berbicara dalam bahasa Myen, yang berkerabat dengan bahasa Burma. Oleh karena itu bahasa Myen disebut juga sebagai bahasa Bama (Burmese). Bahasa Myen, merupakan bagian dari kelompok rumpun bahasa Sino-Tibetan.

Agama yang dianut oleh orang Myen, adalah Theravada Buddhisme, merupakan cabang tertua dari Buddhisme. Tujuan tradisional dalam Buddhisme adalah untuk mencari jalan tengah untuk nirwana, atau damai akhir. Keyakinan Buddhisme banyak tercampur dengan keyakinan asli mereka yang mengandung unsur animisme (keyakinan bahwa benda-benda non-hidup memiliki roh).

Ketika sejarah panjang perang, kudeta dan pemberontakan melanda Burma (Myanmar), terjadi perpecahan etnis dan kerusuhan politik sejak kerajaan Burma pertama pada abad ke-11. Banyak orang Myen, yang melarikan diri ke wilayah Kamboja, dan hidup menetap sampai saat ini.

Orang Myen hidup di desa-desa yang terdapat banyak pohon-pohon di sepanjang jalan, beberapa desa mereka berada di dekat sungai. Rumah dibangun dari kayu dan sebagian hanya memiliki satu ruangan. Tikar dan kasur dikeluarkan untuk tidur di malam hari, pagi hari digulung atau ditumpuk untuk ditinggal pergi siang hari. Semua kegiatan berlangsung di lantai tanah. Oleh karena itu, sangat tidak sopan untuk memakai alas kaki memasuki rumah orang Myen.

Dalam tradisi orang Myen tidak mengakui sistem klan (marga) atau garis keturunan. Pernikahan monogami sangat dianjurkan dan jarang diatur oleh orang tua. Pasangan muda sebelum menikah dianjurkan untuk hidup bersama dan menikah setelah gadis itu hamil. Pengantin baru umumnya hidup dengan orang tua pengantin 'untuk 2 atau 3 tahun pertama setelah menikah. Setelah itu barulah mereka mendirikan rumah sendiri dan hidup sebagai sebagai keluarga sebenarnya.

Kehidupan orang Myen pada dasarnya sebagai petani. Terutama pada tanaman padi. Beras adalah sarana dasar pendukung ekonomi bagi masyarakat Myen. Seluruh anggota keluarga termasuk ibu dan bayi mereka, balita dan orang-orang tua pergi ke ladang untuk bekerja. Sapi dan kerbau digunakan untuk menarik bajak kayu yang berat, peralatan modern sangat sedikit digunakan.

sumber:
artikel terkait: