Suku Pear, Kamboja

Suku Pear, kadang disebut juga sebagai Por, Samre, Samray dan Chong, mereka adalah sebuah kelompok masyarakat adat yang berada di daerah konflik di Kamboja. Populasi suku Pear di Kamboja adalah sebagai minoritas yang diperkirakan sekitar 1.500 orang.

suku Pear
(joshuaproject)
Selain di Kamboja, komunitas suku Pear juga terdapat di Thailand. Di Thailand populasi suku Pear jauh lebih besar dari pada populasi mereka di Kamboja.

Di Thailand masyarakat suku Pear menyebut diri mereka sebagai Samre, yang berada di provinsi Pursat, Samray di Battambang, Chong dan Chong-Samre di provinsi Trat di sebelah timur Thailand, dan Chong la dan Chong heap di provinsi Chanthaburi Thailand.

Suku Pear hidup di daerah pegunungan, oleh karena itu mereka disebut juga sebagai "Hill Tribes" oleh pemerintah Kamboja. Selain itu di Kamboja mereka dikelompokkan dalam kelompok Khmer Loeu, yang mengacu pada etnis non Khmer.

Orang Pear dalam berbicara menggunakan bahasa Pearic. Bahasa termasuk salah satu bahasa yang terancam punah, akibat kuatnya pengaruh bahasa Khmer di Kamboja. Gérard Diffloth (1992) menyatakan bahwa bahasa dan adat istiadat dari Pear sangat berbeda dari kelompok-kelompok sosial lain di Kamboja.

Di Kamboja juga hidup etnis Sa'och yang menggunakan bahasa sama dengan suku Pear, yaitu berbahasa Pearic, tapi memiliki ras berbeda, yaitu memiliki ras negroid, berbeda dengan suku Pear yang memiliki ras mongoloid.

Sebagian masyarakat suku Pear masih menganut agama ethnic tradisional yang berunsur animisme, sedangkan sebagian lain menganut agama Theravada Buddhism.
Dalam bertahan hidup suku Pear hidup pada bidang pertanian, terutama pada tanaman padi gogo dengan menerapkan metode ladang.

referensi:

artikel terkait:

Suku Stieng, Kamboja

orang Stieng
(joshuaproject)
Suku Stieng, adalah suatu kelompok minoritas masyarakat penduduk asli yang hidup di dataran tinggi Kamboja. Populasi suku Stieng diperkirakan sekitar 7.200 orang.

Orang Stieng selain berada di Kamboja, komunitasnya terdapat juga di Vietnam, dengan sebutan "Xtiêng".  Dalam keseharian mereka berbicara dalam bahasa Stieng, bahasa ini berada dalam kelompok Bahnaric dari keluarga bahasa Mon-Khmer.

orang Stieng (Xtiêng)
di Vietnam

(flickr)
Di Kamboja, komunitas suku Stieng dikelompokkan dalam kelompok Khmer Loeu, yang mengacu pada kelompok non Khmer. Secara politis, Stieng juga telah dikelompokkan sebagai salah satu kelompok etnis di masyarakat Degar. Sedangkan di Vietnam suku Stieng (Xtiêng) bermukim di provinsi Binh Duong dan provinsi Dong Nai di sebelah tenggara Vietnam.

Masyarakat suku Stieng pada dasarnya masih menjalankan agama ethnic tradisional mereka, tapi saat ini sebagian telah banyak yang memeluk agama Kristen. Walaupun begitu beberapa tradisi agama ethnic mereka tetap diamalkan.

referensi:

artikel terkait:

Suku di Kamboja (Cambodia)

Kamboja (Cambodia), adalah sebuah negara yang berada di daratan Indochina. Kamboja juga memiliki beragam etnis yang tersebar di seluruh Kamboja.

Suku bangsa Khmer adalah yang terbesar populasinya, sedangkan suku-suku yang berada di pegunungan (Hill Tribes) sebagai minoritas, diikuti suku bangsa pendatang seperti dari Vietnam, Burma, Thailand, Eropa, China, Jepang dan beberapa keturunan Melayu dari Malaysia.

Selain suku bangsa Khmer yang menjadi mayoritas, terdapat kelompok minoritas yang sebagian besar dalam kelompok bahasa Mon-Khmer, dan kelompok bahasa Austronesia. Mereka menempati dataran tinggi Kamboja, mereka kerap disebut sebagai "Hill Tribes". Kelompok mereka dikenal sebagai Khmer Loeu, yang memiliki populasi sebesar sekitar 550.000 orang

Asal usul kelompok suku dalam kelompok Khmer Loeu, tidak diketahui dengan pasti, tapi mereka percaya bahwa kelompok Khmer Loeu adalah bagian dari migrasi panjang orang-orang dari barat laut. Kelompok yang berbahasa Austronesia, seperti suku Rade dan suku Jarai, datang dari pesisir Vietnam dan kemudian bergerak ke barat, membentuk irisan antara beberapa kelompok Mon-Khmer. Kelompok Khmer Loeu, tersebar terutama di provinsi timur laut dari Ratanakiri, Stung Treng dan Mondulkiri. Pemerintah Kamboja menciptakan istilah "Khmer Loeu" yang berarti "Highland Khmer" pada tahun 1960 untuk menciptakan rasa persatuan antara kelompok suku di dataran tinggi dengan dataran rendah yang didominasi dan dikuasai etnis Khmer. Sebelumnya mereka ditetapkan sebagai "Montagnard' atau "Pribumi" oleh pemerintah kolonial Perancis.

Kelompok dataran tinggi, pada kenyataannya terkait dalam bahasa Khmer, tapi memiliki latar belakang bahasa dan budaya yang sangat berbeda.

Selengkapnya suku bangsa di Kamboja (Cambodia), adalah:

Penduduk Asli
  • Khmer
    • Khmer Kamboja

  • Penduduk lain (kategori pendatang)
    • Burmesse
    • Thai
      • Thai, Central; populasi: 2900
      • Lao (Laotian Tai); populasi: 2000
      • Shan
      • Kola
    • Hmong-Mien
      • Hmong
      • Miao
      • Yao
    • Chinesse
      • Cantonese; populasi: 148000
      • Hainanese; populasi: 14000
      • Hakka; populasi: 29000
      • Mandarin; populasi: 148000
      • Min Nan; populasi: 72000
      • Hokkien
      • Teochew; populasi: 179000
    • Lain-lain
      • India
      • Vietnamese; populasi: 78000
      • English-speaking, generic; populasi: 2000
      • Eurasian; populasi: 12000
      • French; populasi: 1500
      • Indo-Pakistani; populasi: 1500
      • Japanese; populasi: 400
      • Korean; populasi: 1500
      • Malay; populasi: 15000


referensi:

Suku Bunong, Kamboja

Suku Bunong (Pnong, Phnorng), adalah masyarakat adat yang terdapat di timur laut Kamboja (Cambodia), provinsi Mondulkiri. Meskipun mereka dianggap sebagai "minoritas" di Kamboja, tapi di Mondulkiri mereka adalah penduduk mayoritas. Populasi suku Bunong di Kamboja diperkirakan sekitar 41.000 orang.

anak-anak Bunong
(globalteer)
Suku Bunong diyakini telah ada di daerah Mondulkiri sejak sekitar 2000 tahun. Secara tradisional memiliki hubungan yang kuat dengan lingkungan alami mereka, berburu di hutan sekitar desa mereka serta mengumpulkan bahan makanan dan memanfaatkan kayu atau pohon-getah dari hutan. Orang Bunong tidak mengambil hasil dari hutan seperlunya, karena mengambil secara berlebihan akan berdampak buruk pada lingkungan mereka.

Keyakinan asli mereka masih berhubungan dengan animistik, mereka percara dengan segala benda memiliki roh, seperti hewan, tumbuhan, bukit, batu, botol, bangunan dan segalanya. Nenek moyang mereka juga diwakili oleh roh. Jika roh-roh tidak bahagia karena beberapa tindakan manusia, bisa menyebabkan bencana bagi kehidupan mereka. Kadang-kadang perlu untuk menenangkan roh-roh dengan upacara / ritual, termasuk pengorbanan hewan. Mereka dipimpin oleh Guru Air dan Api yang merawat Pedang Preah Khan pemberian raja Khmer kuno.

Masyarakat adat Bunong, adalah masyarakat tradisional otonom dengan pemerintahan sendiri di mana tetua desa yang tampak untuk memecahkan perselisihan internal. Bagi pelanggar hukum harus membayar denda ke desa dan juga perlu melaksanakan beberapa upacara seperti disebutkan di atas.

Di masa lalu wilayah Bunong pernah dijajah Perancis pada tahun 1864. Sebuah jalan dibangun menghubungkan Sen Monorom ke Kompong Cham, meskipun Mondulkiri tetap jarang penduduknya (seperti halnya hari ini dengan hanya 2 orang per kilometer persegi). Pada abad ke-19 Bunong memiliki reputasi sebagai prajurit yang berani dalam perlawanan mereka terhadap tentara Perancis.

Pada 1969-1970 wilayah adat Bunong di Mondulkiri jatuh di bawah kekuasaan Khmer Merah, akibatnya banyak yang mengungsi ke Koh Nhek, di mana orang-orang dipaksa untuk bekerja di sawah. Tidak sampai tahun 1980-an, orang Bunong yang diizinkan untuk kembali ke desa mereka dan tanah air tradisional. Kemudian mereka diberi senjata untuk melindungi diri dari kemungkinan serangan Khmer Rouge. Juga pada saat ini mereka diberitahu untuk memindahkan desa mereka lebih dekat ke jalan agar pemerintah untuk mengawasi kegiatan mereka.

(westheimphoto.com)
suku Bunong
(westheimphoto)
Pada masa Khmer, mereka diajarkan bagaimana untuk 'hidup dan berperilaku seperti Khmer' dan ini telah memiliki beberapa keberhasilan. Keinginan Bunong untuk lebih dari orang Khmer, lebih modern, telah menyebabkan lebih banyak laki-laki Bunong mendapatkan pekerjaan. Beberapa laki-laki Bunong telah bekerja sebagai polisi atau jasa militer.

Meskipun suku Bunong telah diakui sebagai penduduk asli di wilayah ini sejak 2000 tahun yang lalu, mereka tidak berhak atas hak legal atas tanah mereka sendiri. Hal ini membuat mereka sangat rentan terhadap penebangan dan perampasan tanah yang menjadi semakin bermasalah di provinsi Mondulkiri.

Secara tradisional, masyarakat Bunong adalah petani subsisten yang berlatih beberapa perdagangan dengan produk surplus. Saat ini Bunong tetap bergantung pada beras dan pisang. Untuk beberapa alasan mereka telah mulai melakukan diversifikasi tanaman yang mereka olah, sekarang pohon chashew dan ubi jalar menjadi lebih populer.

referensi:

artikel terkait:

Suku Dayak Punan Km-10

Di kecamatan Gunung Tabur terdapat suatu kelompok masyarakat Dayak yang dimukimkan, berada di wilayah kabupaten Berau provinsi Kalimantan Timur. Mereka disebut sebagai suku Dayak Punan Km-10.

pemukiman Dayak Punan Km-10
dibangun oleh PT Berau Coal
Menurut cerita bahwa pemukiman suku Dayak Punan Km-10 ini bukanlah pemukiman asli mereka. Tapi pada awalnya sekitar beberapa keluarga dayak dari etnis berbeda dimukimkan dan hidup dalam satu komunitas.

Tempat ini pada awalnya adalah sebuah perusahaan tambang batu bara PT Berau Coal, yang sengaja diperuntukkan untuk masyarakat Dayak yang pada awalnya hidup secara nomaden di hutan-hutan pedalaman. Perusahaan melalui program Community Development merasa bahwa beberapa warga atau keluarga yang hidup di hutan-hutan sekitar daerah operasional pertambangan perlu dibuatkan perumahan dan aktivitas yang layak sehingga kualitas hidup mereka meningkat.

Saat itu Community Development Officer (CDO) atau petugas pemberdayaan masyarakat dari PT Berau Coal, dibawah pimpinan Ir. Sudayat Kamamihardja (alm.), Bapak Ferdinand, Bapak Agung Triadi dan Alm Pak Dolof (asli pulau Buton tetapi menguasai dan kenal dengan hutan-hutan di Berau), mulai mencari orang-orang Dayak Punan ini di hutan-hutan. Perjuangan panjang kedua perintis tersebut akhirnya membuahkan hasil. Beberapa keluarga mau dirumahkan, bermula dari 7 keluarga lalu menjadi 11 keluarga, sekumpulan keluarga ini ternyata masih ada hubungan keluarga dan sebagian besar berasal dari suku yang sama suku Dayak Punan, hanya 1 KK orang saja berasal dari suku Dayak Tidung.

Pada awalnya masyarakat suku Dayak yang terbiasa hidup nomaden ini tidak merasa cocok dengan tempat ini, tapi karena tempat ini dibuat sealami mungkin, berada di tengah hutan, terdapat sungai mengalir, yaitu sungai Lati. Hingga lama kelamaan 11 KK ini pun merasa betah dan cocok menetap di tempat ini. Walaupun mereka berasal dari beberapa etnis yang berbeda, tapi saat ini mereka menyatu dalam satu nama suku Dayak Punan Km-10.

Desa Km-10 ini pun kemudian bergabung dengan desa Sambakungan, salah satu desa di kecamatan Gunung Tabur kabupaten Berau, hak-hak sipil dipenuhi seperti Kartu Keluarga dan keperluan lain. Dalam kehidupan sehari-hari mereka tetap melakukan aktifitas sebelum-sebelumnya seperti berburu dan meramu seperti kebiasaan mereka dahulu. Makanan pokok mereka adalah ubi atau keladi yang banyak tumbuh subur di hutan dengan lauk pauk dari hewan buruan. Hewan buruan mereka adalah ikan, burung, rusa atau payau, dan babi hutan.

Perusahaan PT Berau Caol secara periodik juga memberikan program bina rohani dengan cara mendatangkan pendeta, selain itu juga memberikan program kesehatan dengan cara bantuan pengobatan bagi orang sakit, sampai rawat inap ditanggung perusahaan, kunjungan tim medis dari perusahaan secara periodik.

Untuk anak-anak, perusahaan memberikan fasilitas pendidikan berupa bantuan biaya pendidikan dan asrama di kota Tanjung Redeb, sekitar 50 km dari pemukiman Km-10. Mereka ditempatkan dalam sebuah rumah dengan didampingi seorang pengasuh dan sekolah di sekolah reguler, itu bertujuan agar mereka dapat hidup seperti kualitas teman-teman mereka yang berada di kota.

Dengan keadaan mereka seperti ini kiranya kehidupan masyarakat suku dayak Km-10 semakin baik, berkat bantuan Program Community Development PT Berau Coal, yang peduli mengurus masyarakat dayak di pedalaman.

sumber:

Suku Dayak Dohoi


Suku Dayak Dohoi, merupakan salah satu dari sekian banyak suku Dayak yang ada di Kalimantan Barat yang mendiami wilayah sekitar perbatasan Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah. Populasi suku Dayak Dohoi ini lebih dari 100.000 orang.

Menurut pengelompokan dalam suku Dayak, suku Dayak Dohoi dimasukkan ke dalam sub suku Dayak Ot Danum. Pemukiman terbesar suku Dayak Dohoi adalah di kecamatan Ambalau dengan populasi lebih dari 14.500 orang menurut sensus tahun 1988. Di mana di wilayah ini suku Dayak Dohoi menjadi mayoritas. Tetangga mereka di wilayah ini adalah suku Dayak Kadorih.

Di masa lalu orang Dayak Dohoi terkenal logas, tohpas hohot, dan nyolung osak dahak ahLogas berarti "mudah naik darah", tohpas lohot berarti "tidak ragu-ragu kalau mengambil keputusan untuk membunuh", dan nyolung osak dahak berarti "orang yang tidak mengenal rasa takut sedikit pun". Pada masa lalu suku Dayak Dohoi memiliki perilaku sangat keras. Mereka punya prinsip, sekali ahpang yaitu "mandau terhunus", maka pantang disarungkan sebelum minum darah manusia. Karena wataknya itulah maka oleh orang dayak lainnya yang berada di sekitar daerah itu menamakan mereka sebagai Dohoi, untuk menyatakan bahwa "mereka ini adalah orang yang logas, tohpas lohot, dan nyolung osak dahak ah".

Masyarakat suku Dohoi berbicara menggunakan bahasa Dohoi yang termasuk rumpun bahasa Barito.

Setiap desa pemukiman suku Dayak Dohoi dihuni antara 100-400 orang. Tanah di sekeliling setiap desa (sekitar 2 - 3 km jauhnya) dianggap sebagai tanah milik desa. Setiap penduduk desa berhak menjual tanahnya bila dikehendaki, tetapi hanya kepada sesama penduduk desa. Tanah yang tetap kosong selama lebih dari 5 tahun bisa dimiliki oleh siapa saja di desa itu.

Suku Dohoi kadang disebut juga sebagai suku Ot Danum. Istilah "ot danum" memiliki arti "orang-orang yang tinggal di wilayah di sepanjang sungai". Pemukiman mereka membentang dari sungai Melawi sampai sungai Barito. Pemukiman mereka terletak di daerah terpencil di pedalaman, sehingga untuk mencapai pemukiman suku Dohoi ini bisa memakan waktu berhari-hari dengan menggunakan perahu melalui sungai Lamandau.

Pernikahan di antara saudara sepupu lebih disukai di antara suku Dohoi. Bila telah tercapai persetujuan (kesepakatan) oleh orang tua pasangan, keluarga mempelai laki-laki memberikan hadiah secara simbolis kepada keluarga mempelai wanita. Pemberian kedua diberikan ketika pertunangan diumumkan. Sesudah pernikahan dilangsungkan, dilakukan pembayaran kepada pengantin wanita.

Orang Dohoi sebagian besar adalah penganut animisme (percaya bahwa setiap benda memiliki roh) dan polytheisme (menyembah banyak dewa). Tapi pada dasarnya praktek keagamaan mereka berkisar di antara dua dewa, yang satu dilambangkan dengan Burung Enggang dan Ular air.
Upacara-upacara keagamaan bisa berupa acara-acara sederhana maupun pesta-pesta yang lama. Penduduk meminta bantuan Shaman (dukun) untuk mengobati penyakit mereka, yang dalam prakteknya seringkali kerasukan.

Mata pencaharian orang Dohoi adalah bercocok tanam di ladang. Mereka biasanya menumbuk padi pada malam hari, setelah seharian bekerja di ladang. Suara tumbukan bertalu-talu ini disambut dengan gembira gelak tawa di setiap hampir rumah tangga. Inilah keunikan suku Dohoi. Hasil panen disimpan pada tempat khusus yang disebut jorong, yaitu rumah yang terbuat dari satu tiang guna menghindari tikus. Rumah mereka berbentuk persegi panjang dan didirikan sekitar 2 - 5 m di atas tanah dengan tiang-tiang kayu (rumah panggung) dengan tangga bertingkat. Anjing, babi, dan ayam merupakan hewan peliharaan mereka. Mereka juga memelihara sapi untuk disembelih pada perayaan-perayaan besar. Orang Dohoi juga terkenal dalam kerajinan topi dan keranjang. Di luar kegiatan tersebut mereka juga kerap berburu ke hutan-hutan sekitar perkampungan mereka.

sumber:

Suku Nicobar, Kepulauan Nicobar

suku Nicobar di Chowra Island
Festival Bones
Suku Nicobar, adalah satu dari 2 kelompok suku ras Mongoloid yang berada di Kepulauan Nicobar yang termasuk dalam kelompok berbahasa Mon-Khmer, yang tersebar di 12 pulau dari 19 pulau yang dihuni di Teluk Bengal tenggara.

Pulau terbesar dan utama adalah Nicobar besar. Istilah Nicobar sendiri merujuk kepada suku-suku yang tersebar di Kepulauan Nicobar, kecuali suku Shompen yang dianggap tidak termasuk bagian dari suku Nicobar. Di setiap pulau, suku-suku setempat sebenarnya memiliki nama suku spesifik, tetapi bersama-sama mereka disebut secara umum sebagai suku Nicobar. Mereka menyebut diri mereka "Holchu", yang berarti "teman".

Suku Nicobar tidak sendiri berada di kepulauan Nicobar, tapi mereka berbagi dengan suku Shompen yang diduga sebagai suku pertama yang menghuni kepulauan Nicobar. Pulau-pulau di wilayah kepulauan Nicobar ini telah berada di bawah kekuasaan kerajaan Asia pada abad ke-16, Inggris 1869-1947, dan India dari tahun 1947. Hari ini mereka diberikan oleh India sebagai bagian dari Union Territory dari Kepulauan Andaman dan Nicobar.

Bahasa Nicobar merupakan bagian dari keluarga bahasa Austronesia. Setiap pulau memiliki dialek yang berbeda dari bahasa Nicobar di pulau Nicobar Besar. Pulau-pulau yang terpisah dikelompokkan ke dalam empat kelompok, meskipun sebagian besar mereka memahami dialek Nicobar Besar.

suku Nicobar di Chamorta Island
Masyarakat suku Nicobar mayoritas beragama Kristen, yang diajarkan kepada mereka oleh seorang pria bernama John Richardson yang menerjemahkan Perjanjian Baru ke bahasa Nicobar. Selain Kristen, sebagian kecil masih mengikuti agama tradisional yang animisme. Mereka percaya pada roh, hantu dan keberadaan jiwa. Seseorang menjadi hantu setelah kematian mereka ketika jiwa mereka meninggalkan tubuh mereka. Mereka percaya bahwa roh-roh bertanggung jawab atas semua bencana di pulau-pulau, dalam hal mana dukun dipanggil untuk menangani roh jahat.

Suku Nicobar dikepalai oleh seorang kepala yang disebut "Rani" atau "Ratu". Rani pertama Nicobar adalah Islon yang menikah dengan Mewalal, Tahsildar dari Nancowry di 1941-1942, dan menjadi orang yang paling berpengaruh di Kepulauan Nicobar.

perkampungan Nicobar
Di Kepulauan Nicobar, laki-laki dan perempuan memiliki status yang sama. Para perempuan memiliki banyak hubungan untuk memilih suami sendiri, dan setelah menikah mereka bebas untuk hidup dengan salah satu dari orang tua pasangan. Orang-orang Nicobar menghargai perempuan secara ekonomi karena mereka tidak hanya mengurus rumah tangga, tetapi juga cenderung untuk perkebunan dan kebun. Desa-desa di pulau-pulau terdiri dari gubuk sporadis ditempatkan berserakan di daerah yang ditunjuk. Pondok biasanya bulat dengan atap berbentuk kubah.

Masyarakat suku Nicobar bertahan hidup dengan cara tradisional hortikultura, mereka menanam kelapa, pandan, pinang, pisang, mangga, dan buah-buahan lainnya. Mereka juga berburu, menangkap ikan, ternak babi, membuat tembikar, dan membuat kano. Para Nicobar berusia tua banyak yang buta huruf, tetapi saat ini para generasi muda telah menerima pendidikan gratis melalui pemerintah. Sehingga banyak masyarakat suku Nicobar yang terdidik sehingga menerima pekerjaan sebagai guru, pegawai dan lain-lain.

baca juga:
sumber:

Suku Shompen, Kepulauan Nicobar

suku Shompen
Suku Shompen, adalah salah satu dari 2 suku Mongoloid yang mendiami Kepulauan Nicobar di wilayah serikat Andaman dan Nicobar. Suku Shompen ditemukan di Kepulauan Nicobar, yaitu di Nicobar besar. Populasi suku Shompen pada tahun 2001 sekitar 300 orang.

Suku Shompen terdiri dari 2 sub kelompok, yaitu suku Shompen dan suku Shompen Mawa. Di antara kedua suku serumpun ini dahulunya sering terjadi permusuhan yang menyebabkan peperangan di antara mereka.

Suku Shompen tinggal di daerah yang dilalui sungai Alexendra dan aliran Galathia dan interior pulau Nicobar Besar di pantai timur. Sedangkan suku Shompen Mawa berdiam di daerah yang sangat dekat dengan pantai. Kedua suku ini memiliki karakter yang kontras. Orang Shompen sangat agresif di alam, sedangkan suku Shompen Mawa memiliki karakter agak malu-malu. Dalam permusuhan mereka sejak masa lalu di mana suku Shompen telah menyatakan perang dengan suku Shompens Mawa. Namun, saat ini mereka telah damai dan bersahabat, sedangkan perang tersebut telah menjadi cerita masa lalu.

Suku Shompen tidak terkait sama sekali dengan suku Nicobar, walaupun secara ras kedua suku ini adalah termasuk Mongoloid. Dari segi bahasa juga sangat berbeda di antara bahasa kedua suku ini, walaupun terdapat beberapa kata yang mirip. Suku Shompen merupakan penduduk asli dari kepulauan Nicobar, lebih dahulu dari kedatangan suku Nicobar sejak puluhan ribu tahun yang lalu.

Baru-baru ini studi genetika diterbitkan telah menunjukkan bahwa Shompen memiliki asal-usul yang berbeda dari suku Nicobar, meskipun kedua kelompok memiliki keturunan Mongoloid.

rumah tradisional suku Shompen
Para leluhur Shompen tampaknya telah datang ke Nicobar besar dari pulau Sumatera, mungkin lebih dari 10.000 tahun yang lalu. Sedangkan suku Nicobar datang dari sisi lain sebelah timur, dari daratan Asia Tenggara. Ada beberapa bukti genetik dan linguistik bahwa dua kelompok dicampur sampai batas tertentu. Link sebelumnya diduga untuk populasi Negrito, bagaimanapun, belum ditemukan. Sebuah keganjilan dari Shompen ditemukan pada tahun 1967 adalah bahwa semua dari 55 orang kemudian disaring ternyata memiliki golongan darah O dalam sistem ABO.

Sementara suku Nicobar adalah bangsa pelaut dan pedagang yang melakukan kontak dengan dunia luar, yang datang setelah kehadiran suku Shompen. Suku Shompen sedikit melakukan kontak terbatas dengan suku-suku lain di luar komunitas mereka.

Peneliti pertama scentific Barat tiba di abad ke-19 di wilayah ini. Dari bukti genetik kemacetan perkawinan sedarah dan populasi di antara mereka. Bahwa isolasi mereka tidak lengkap, bagaimanapun, terbukti dengan adanya kata-kata pinjaman Portugis dan Melayu dalam bahasa mereka. Bahasa Shompen diduga milik rumpun bahasa yang sama seperti Nicobar (yaitu cabang Mon-Khmer dari keluarga Austro-Asiatik) dan bahwa hal itu berkaitan dengan Nicobar, tetapi merupakan bahasa yang terpisah yang berdiri dan berkembang sendiri.

Orang Nicobar menyebut suku Shompen sebagai Shamhap Shompen. Dalam masyarakat Shompen pada umumnya tidak memiliki nama umum untuk menyebut diri mereka sendiri. Sedangkan yang tinggal di sisi barat pulau menyebut diri mereka sendiri sebagai Kalay, dan mereka yang berada di bagian timur menyebut diri mereka sendiri sebagai Keyet, dengan masing-masing kelompok memanggil Buavela kepada kelompok Shompen lainnya.

baca juga:
sumber: