Suku Ende, Nusa Tenggara Timur

suku Ende
Suku Ende, merupakan satu dari dua suku yang menjadi mayoritas di kabupaten Ende di pulau Flores provinsi Nusa Tenggara Timur, Indonesia.

Suku Ende di kabupaten Ende hidup bersama dengan suku Lio yang juga mendiami daerah ini. Suku Lio sebagai suku tetangga suku Ende pada umumnya hidup di daerah pegunungan. Sedangkan suku Ende bermukim di daerah pesisir di sekitar bagian selatan kabupaten Ende.

peta Ende
Pada dasarnya, bentuk kebudayaan dan adat istiadat suku Ende dan suku Lio hampir sama. Di antara mereka juga banyak terjadi akulturasi kebudayaan. Sehingga secara sekilas antara kedua suku ini hampir tidak ada perbedaan. Suku Lio yang tinggal di daerah pegunungan adalah penganut agama Kristen Katholik yng dibawa oleh bangsa Eropa, yang menjadi agama utama bagi suku Lio. Sedangkan suku Ende lebih mendapat pengaruh dari pedagang Makasar yang turut mempengaruhi sebagian masyarakat Ende dengan agama Islam. Sehingga sebagian masyarakat suku Ende memeluk agama Islam sejak abad 19.

Karena masyarakat suku Ende lebih banyak bermukim di daerah pesisir. Jalur penghubung dengan daerah luar atau pulau-pulau lain, hanyalah melalui Ende. Selain itu masyarakat suku Ende lebih terbuka dengan para pendatang, dan mereka menyambut baik para pendatang, yang pada masa lalu banyak datang dari daerah Makasar. Masyarakat Makasar sejak dahulu banyak yang menetap dan menikah dengan orang-orang Ende. Berhubung para pedagang yang berasal dari Makasar tersebut telah terlebih dahulu memeluk Islam maka mereka juga menyebarkan ajaran Islam pada Masyarakat suku Ende yang waktu itu masih memeluk ajaran nenek moyang (animisme). Kemudian antara suku Ende dan suku Makassar, sepertinya juga terjadi perpaduan budaya, sehingga pakaian adat perempuan suku Ende, yaitu Rambu yang mirip dengan atasan baju Bodo (baju adat perempuan dari Makasar).

Masyarakat suku Ende memiliki bahasa sendiri yang disebut sebagai bahasa Ende. Bahasa Ende berkerabat dengan bahasa Lio yang hampir mirip dengan bahasa Ende. Dikatakan mirip karena kedua bahasa ini memiliki kosakata dan arti yang hampir sama, sedangkan perbedaannya terlihat dari dialek dan intonasi yang berbeda. Perbedaan lain terlihat dari beberapa konsonan yang hampir mirip, tapi tetap berbeda secara tulisan.

Beberapa perbedaan bahasa Ende dan bahasa Lio:

Indonesia Ende Lio
baju zambu lambu
celana sezake selake
anjing zako lako
terik zera leja
jalan raza jala
lampu iza ila
rebus, merebus raka jaka

Bahasa Ende dituturkan oleh sebagian besar masyarakat yang bermukim di kabupaten Ende pulau Flores Tengah Selatan. Bahasa Ende terdiri dari 2 dialek, yaitu dialek Ende dan dialek Nga'o. Sedangkan bahasa Lio sering juga dianggap sebagai sebagai bagian dari dialek bahasa Ende. Bahasa Ende dan dialek-dialeknya merupakan bagian dari kelompok rumpun bahasa Austronesia.

sumber:
sumber foto:
  • mozhalakyndona.wordpress.com
bacaan:

Suku Lio, Nusa Tenggara Timur

masyarakat suku Lio
Suku Lio atau suku Ende Lio, hidup dan bermukim di kabupaten Ende yang berada di provinsi Nusa Tenggara Timur, Indonesia.

Suku Lio di kabupaten Ende, hidup berdampingan dengan suku Ende, yang juga merupakan penghuni wilayah kabupaten Ende. Suku Lio sering juga disebut sebagai suku Ende Lio. Hal ini kadang membuat orang salah mengartikan antara suku Lio dengan suku Ende. Kalau dilihat secara fisik, kedua suku ini tidak ada perbedaan, hanya saja wilayah pemukiman yang berbedalah yang membuat kedua suku ini memiliki identitas yang berbeda. Kedua suku ini, adalah penghuni asli di wilayah kabupaten Ende. Mereka hidup berdampingan, sehingga secara budaya dan adat istiadat yang mereka amalkan, hampir tidak ada perbedaan.

Pada umumnya suku Lio bermukim di daerah pegunungan, lokasinya berada di sekitar wilayah utara kabupaten Ende. Sedangkan suku Ende bermukim di daerah pesisir yakni sekitar bagian selatan kabupaten Ende. Pada dasarnya, bentuk kebudayaan kedua suku ini hampir sama. Yang membedakannya adalah hasil pencampuran kebudayaan atau akulturasi. Budaya suku Lio merupakan perpaduan antara budaya asli daerah Lio dengan ajaran Kristen Katholik yang di bawa oleh bangsa Belanda. Sedangkan budaya suku Ende merupakan perpaduan budaya asli daerah Ende dengan ajaran Islam yang dibawa oleh pedagang-pedagang dari sulawesi yakni Makasar.

Sa'o Nggua
Suku Lio memiliki rumah adat yang dikenal dengan nama Sa'o Nggua. Sa’o dalam bahasa daerah setempat berarti rumah dan nggua berarti ritus adat, sebagai tempat pusat terselenggaranya seluruh ritual dan acara adat yang telah diwariskan secara turun temurun oleh masyarakat adat setempat.
Sa'o Ria
Pada umumnya struktur bangunan serta fungsi sa’o nggua (rumah adat) suku bangsa Lio berbentuk ‘rumah panggung’ yang berfungsi sebagai pusat seluruh ritual atau acara adat.
Dalam membangun Sa'o Nggua ini harus dilakukan berbagai acara. Sebelum pemotongan kayu yang hendak digunakan sebagai bahan bangunan, terlebih dahulu dilaksanakan seremoni adat khusus. Di salah satu desa Lise Detu dan desa Lowobora, misalnya, seremoni tersebut dikenal dengan istilah rera mea dengan diiringi musik tradisional nggo-lamba (gong-gendang). Dari awal acara adat, sebelum pemotongan kayu hingga proses pengerjaannya, hanya jajaran/ perangkat adat resmi (para  tua adat/ mosalaki) yang boleh membangun sa’o nggua, sementara masyarakat adat biasa (faiwalu anakalo) tidak dilibatkan secara langsung dalam proses itu.
Selain rumah adat Sa'o Nggua, terdapat satu lagi rumah tradisional suku Lio, yaitu Sa'o Ria. Rumah tradisional Sa'o Ria ini banyak terdapat di kecamatan Wolowaru.
Rumah adat, bagi masyarakt suku Lio juga melambangkan persekutuan dan persatuan yang menghimpun seluruh masyarakat adat (faiwalu anakalo) dalam setiap ritual adat.

sumber:
sumber foto:
bacaan:

Suku Being Aring, Nusa Tenggara Timur

Suku Being Aring, adalah salah satu suku yang terdapat di kabupaten Alor provinsi Nusa Tenggara Timur.

Uma Paseng
Keberadaan suku Aring, atau yang disebut juga sebagai suku Being Aring, memiliki populasi terbesar kedua setelah suku Being yang menjadi suku terbesar di kabupaten Alor ini. Kedua suku ini lah yang menjadi mayoritas atau yang memiliki populasi terbesar di wilayah ini.

Suku Being Aring, hidup dan bertempat tinggal di desa Helangdohi, dan mereka merupakan kerabat dekat suku Being. Suku Being Aring memiliki sebuah Rumah Tradisional atau Rumah Adat yang dikenal dengan nama Uma Paseng.

Uma Paseng sering digunakan oleh masyarakat desa Helangdohi khususnya suku Being Aring untuk melakukan berbagai ritual adat atau kegiatan yang berhubungan dengan adat istiadat seperti Upacara Perkawinan adat, Wunong (makan baru), dan yang lainnya.
 Suku Being Aring dengan suku Being, hidup dalam satu adat istiadat, yang menunjukkan bahwa di antara mereka adalah saling berkerabat. Sehingga beberapa kegiatan atau acara adat dilakukan secara bersama-sama.

Salah satu tarian adat mereka yang populer di kalangan masyarakat desa Helangdohi, adalah tari Lego-Lego, yang merupakan tarian yang memiliki tujuan sebagai pemersatu. Satu hati, satu janji, bergandengan tangan untuk membangun kampung halaman tercinta Helangdohi

sumber:
tolangputrakenari

Suku Suka, Nusa Tenggara Timur

Suku Suka, merupakan suatu kelompok masyarakat yang bermukim di kabupaten Manggarai Timur provinsi Nusa Tenggara Timur.

Selain suku Suka yang bermukim di Manggarai, juga terdapat beberapa suku lain yang masih saudara atau kerabat dari suku Suka, yaitu suku Todo, suku Pongkor, suku Ruteng Pu'u dan suku Congkar.

Tidak banyak yang banyak dapat ditelusuri dari suku Suka dan suku-suku kerabatnya, karena minimnya informasi tentang keberadaan suku Suka dan suku-suku kerabatnya. Satu-satunya informasi yang didapat tentang mereka, adalah dari satu cerita rakyat yang masih terpelihara dalam masyarakat di Manggarai.

Cerita rakyat tersebut adalah:

Konon, di puncak Mandosawu hiduplah sepasang suami isteri yg bernama Jun dan Jendu. Mereka mempunyai 5 orang anak laki-laki. Selain itu, mereka juga memiliki anak-anak lain berupa poti koing (makhluk gaib), darat (dedemit), nepa' (ular sanca), ka' (burung gagak), dan beberapa jenis binatang lainnya.

Karena begitu banyaknya anak mereka dengan berbagai karakter yang berbeda, keseharian keluarga ini selalu diwarnai pertengkaran dan perselisihan. Akhirnya, sang ayah memutuskan untuk memisahkan anak-anaknya dengan menempatkan ke 5 anak laki-lakinya di berbagai wilayah di Manggarai untuk bisa hidup mandiri.

Keturunan dari ke 5 anak laki-laki ini, menjadi beberapa suku penting di Manggarai.
  1. Anak pertama, dari keturunannya menghasilkan suku Todo,
  2. Anak kedua, dari keturunannya menghasilkan suku Pongkor,
  3. Anak ketiga, dari keturunannya menghasilkan suku Ruteng Pu'u,
  4. Anak keempat menurunkan suku Congkar,
  5. Anak ke 5 lah yang merupakan nenek moyang suku Suka.

Ketika kelima anak ini keluar dari Mandosawu, usia si bungsu yg diberi nama Ndolu masih sangat muda. Oleh sebab itu, dalam perjalanannya ke arah timur ia ditemani dan dipandu oleh beberapa saudaranya berupa nepa', ka', dan poti koing.

Setelah menempuh perjalanan jauh yang cukup lama dan melelahkan, maka tibalah mereka di tempat tujuan yaitu di Pong Suka dalam kawasan pegunungan Poco Mbengan yg kini terletak di desa Ranakolong kecamatan kota Komba.

Selama berada di Pong Suka kedua saudaranya mengajari dan membimbing si bungsu untuk bisa membangun pondok, mencari makanan dan berkebun. Setelah si bungsu dirasa sudah bisa mengurusi dirinya sendiri ketiga saudaranya pun pulang ke Mandosawu dan meninggalkan si bungsu sendirian.

Diceritakan, bahwa dalam kesendiriannya si bungsu yang kala itu mulai beranjak dewasa merasa sangat kesepian. Ia pun merindukan kedua orang tuanya serta saudara-saudaranya di Mandosawu sampai suatu ketika di Pong Suka terjadilah hujan lebat tanpa henti selama 7 hari 7 malam. Ketika hujan mulai reda pada hari ketujuh, terjadilah suatu keajaiban. Tiba-tiba, muncullah seorang gadis cantik di hadapan si bungsu. Gadis inilah yang menemani dan mengisi hari-hari si bungsu. Dengan hadirnya gadis cantik tersebut maka kesepian, kerinduan dan kegamangan si bungsu pun berbubah menjadi kegembiraan, suka cita dan harapan. Akhirnya, mereka hidup bahagia sebagai suami isteri dan memiliki keturunan. Di kemudian hari, anak-anak dari pasangan inilah yang menjadi cikal bakal keturunan suku Suka di Manggarai Timur yang sekarang ini tersebar dan mendiami wilayah Ronggakoe dan sekitarnya.

Dalam sejarah perkembangannya, dengan alasan yang tidak disebutkan salah satu dari keturunan suku Suka di Manggarai Timur bermigrasi ke arah barat. Keturunan Suka pun menyebar ke daerah Kolang di Kuwus, Manggarai Barat. Sampai sekarang, baik suku Suka di Ronggakoe maupun di Kolang tidak memungkiri bahwa mereka merupakan saudara yang berasal dari nenek moyang yang sama di Pong Suka.

sumber:

Suku Motu Poso, Nusa Tenggara Timur

Suku Motu Poso, adalah salah satu suku yang terdapat di kabupaten Manggarai Timur provinsi Nusa Tenggara Timur, Indonesia.

Suku Motu Poso berdiam di daerah yang berada dalam wilayah adat suku Rongga, yang dikenal sebagai Tanah Rongga. Suku Motu Poso sendiri memiliki peran penting dalam sejarah Tanah Rongga dan suku Rongga. Suku Motu Poso, dikenal sebagai pemangku jabatan tuan tanah di wilayah Rongga Ma’bah, juga berperan besar dalam upaya menegakkan kedaulatan wilayah Rongga di masa lalu.

Suku Motu Poso sendiri apabila dilihat secara fisik bisa dikatakan mirip dengan suku-suku dari Sulawesi Tengah, seperti orang Kaili. Mereka memiliki rambut bergelombang sampai keriting, kulit agak gelap dan tubuh agak kekar, serta ukuran tinggi tubuh sedang, sekitar 155 sampai 165 cm. Mereka memiliki struktur fisik seperti orang Polynesia atau mungkin juga Weddoid. Kemungkinan di masa lalu suku Motu Poso memiliki keterkaitan sejarah nenek moyang dengan orang-orang dari Sulawesi Tengah.

Ada anggapan yang berkembang, mengatakan bahwa nenek moyang orang Motu Poso berasal dari daerah Bonengkabo, yang dikaitkan dengan nama Minangkabau. Dengan anggapan ini disimpulkan bahwa suku Motu Poso berasal dari daerah Minangkabau, tapi bukan keturunan orang Minangkabau. Secara fisik suku Motu berbeda dengan orang Minangkabau, tetapi kalau dirunut lebih mendalam, hal ini mungkin saja terjadi. Pada masa lalu di tanah Sumatra, tepatnya daerah Minangkabau, hidup sekelompok orang yang memiliki ras weddoid, tapi karena hadir dan berkembangnya orang Minangkabau dengan pesat, sehingga mendesak penduduk asli yang telah menghuni wilayah Minangkabau. Dari beberapa tulisan di media web, dikatakan bahwa penghuni asli tanah Sumatra adalah orang-orang yang memiliki ras weddoid. Orang-orang yang memiliki ras weddoid ini terdesak oleh orang Minangkabau yang berkembang dengan pesat dan menduduki wilayah-wilayah pemukiman orang weddoid di pedalaman Sumatra. Hal ini kemungkinan bisa dihubungkan dengan bermigrasinya mereka ke tanah Rongga, dan keturunan-keturunannya kemungkinan menjadi suku-suku di tanah Rongga, termasuk suku Motu Poso. Kemungkinan ini lebih masuk akal, karena apabila dikatakan hubungan orang Motu Poso dengan orang Minangkabau, sama sekali tidak terdapat kemiripan, persamaan atau sekedar kemiripan dialek.

Sedangkan dalam cerita rakyat suku Motu Poso, dikatakan bahwa nenek moyang suku Motu Poso adalah Weka dan Ture. Kisah tentang 2 orang bersaudara yang masuk ke tanah Rongga dalam waktu yang berbeda. Dari negeri asal di tanah Sumatra, Weka melarikan karena menolak menikah dengan gadis pinangan orangtuanya (puteri sang Paman). Weka bersama gadis pilihannya bernama Motu akhirnya memutuskan untuk menuju Loko Ture. Weka berlayar melewati pantai Selatan Jawa dan kemudian memilih mendarat di Loko Ture di Manggarai Timur Selatan.

Kepergian Weka kemudian diikuti Ture, sang adik. Kisah perjalanan Ture meninggalkan daerah Minangkabau menuju Loko Ture berlangsung dalam suasana penuh dramatis. Gelombang dan badai memaksa Sampan (Kowa ) yang ditumpangi Ture mengalami kebocoran di Laut Selatan Jawa. Beruntung Ture diselamatkan oleh para nelayan dari pesisir pantai selatan Jawa. Namun upaya pertolongan yang dilakukan pelaut Jawa itu rupanya membawa petaka bagi Ture. Ia ditawan hanya karena salah mengucapkan sebuah kata (puki) yang membuat para pelaut Jawa tersinggung. Hal ini agak membuat heran, karena sebutan "puki", tidak ada dalam bahasa jawa, mengapa harus tersinggung ?, karena sebutan "puki" adalah kata "ucapan kotor/ makian" untuk masyarakat di pulau Sumatra, khususnya bagi masyarakat Melayu di Sumatra, seperti Melayu Sumatra Utara dan Melayu Riau.

Kelanjutan cerita, impian Ture untuk menyusul kakaknya Weka hampir saja kandas di tangan pelaut Jawa. Namun pada suatu malam dalam mimpinya, Ture mendapat pentunjuk untuk menyusuri jejak sang kakak. Dalam mimpinya Ture bertemu dengan ikan paus raksasa yang kemudian menjadi Dewa Penyelamat dan penunjuk jalan baginya menuju tempat di mana sang kakak berada. Ture diminta untuk menunggang ikan Lumba-lumba (ngembu) menuju tempat kediaman sang kakak dengan bekal tujuh buah ketupat, tujuh ruas bambu berisi air dan tujuh duri Jeruk asam. Tujuh duri jeruk asam bertujuan untuk menjaga komunikasi antara Ture dan Ikan Lumba-lumba. Bila selama perjalanan Ture merasa gerah, ia boleh memberi isyarat dengan menusukan duri jeruk asam pada punggung sang ikan untuk menenggelamkan diri dari permukaan laut. Demikian juga bila ia sudah merasa dingin,ia bisa menusuk kembali duri jeruk asam agar sang ikan mengangkat punggungnya ke atas permukaan air.

Berbekal tujuh buah ketupat, tujuh ruas bambu berisi air dan tujuh duri jeruk asam Ture mampu menyeberangi gelombang dahsyat Laut Selatan Jawa menuju Laut Sawu hanya dalam waktu tujuh hari tujuh malam dan mendarat di Loko Ture, tempat yang semula menjadi tujuan kedatangan kakaknya Weka. Dalam perpisahannya dengan ikan Paus Ture mendapat hadiah dalam bentuk sebuah pedang istimewa yang dimuntahkan dari mulut sang ikan sebagai bekal untuk melawan musuh dan mencari nafkah.

Setelah mengalami berbagai peristiwa selama perjalanannya, akhirnya Ture tiba di Loko Ture, dan menjalin interaksi dengan orang Proto Rongga yang bermukim di sekitar wilayah pantai selatan. Perjumpaannya dengan orang Rongga memuluskan jalannya untuk menemukan jejak atau keberadaan Weka, saudaranya. Lalu akhirnya Ture bertemu dengan Weka, saudaranya tersebut, dan berkumpul kembalilah kedua bersaudara ini. Kisah perantauan dua bersaudara itu terdapat dalam sebuah syair Vera (tarian khas orang Rongga). Weka Ture ndhili mai/tu monggo Sari Kondo Weka welu Jawa Ture / Ti Motu tanah Medzhe

Kisah yang berkembang secara turun temurun itu dikukuhkan dalam upacara/ ritus adat seperti Pau Manu, Pau Wawi, dan Pau Kamba. Dalam acara-acara itu, nama Ture dan Weka selalu disebut sebagai nenek moyang suku Motu sebagai nama pertama mendahului nama nenek moyang lainnya.

Setelah sekian lama tinggal di wilayah ini, maka kedua bersaudara ini berkembang keturunannya. Weka memiliki 4 orang putera, dari hasil perkawinannya dengan perempuan yang dibawa dari tanah asalnya, sedangkan Ture kawin dengan gadis lokal dianugerahi 3 orang putera. Dari keturunan mereka berdua ini lah, muncul nama suku Motu. Nama tersebut diadopsi dari isteri Weka.

Setelah sekian lama, generasi Weka dan Ture pun meninggal, dan terjadilah perpecahan di antara 2 keluarga ini. Berawal dari perburuan kera di sekitar wilayah Wae Motu, yang berbuntut perpecahan. Keturunan Weka dan Ture terpisah. Keturunan Weka, bergerak ke arah Timur hingga Aimere dan Were, Ngada di wilayah kabupaten Ngada. Sementara keturunan Ture memilih menetap di wilayah Barat, Wolo Ndeki.

Perpecahan keluarga Motu yang diwakili Sunggisina dan Amewea, menyebabkan ikatan di antara 2 kelompok suku Motu mulai renggang. Amewea dan 2 saudaranya mengembara ke wilayah barat Rongga. Keturunan Amewea mendirikan rumah adat. Sedangkan Manggi, sang adik dari Amewea, membuat rumah adat baru yang lain, dan mendiami wilayah Poso. Oleh karena itu akhirnya mereka menamakan diri mereka sebagai suku Motu Poso. Pengukuhan identitas ini, membedakan suku Motu Poso dengan suku-suku Motu lainnya yang juga berada di wilayah Rongga.

Suku Motu Poso, seiring waktu berjalan, berkembang dan memiliki banyak harta. Mereka memiliki peranan utama di wilayah Rongga Ma’bha. Merekapun dihormati karena dianggap sebagai suku terkemuka karena memiliki harta dan pengaruh yang besar, suku ini berperan vital dalam menjaga kedaulatan wilayah Rongga Ma’bha.

Selama suku Motu Poso tinggal di wilayah Rongga, banyak terjadi hubungan kekerabatan dengan suku-suku lain. Untuk memperkuat hubungan antar suku, anak perempuan menikah dengan laki-laki dari suku lain, tapi diwajibkan menyerahkan putera sulung lelakinya kepada suku asalnya. Hal ini terjadi pada anak sulung Nau dan isteri Weka dari suku Kelok yang mengembalikan Epa kepada suku asalnya.

Selain itu, juga terjalin persahabatan dan kekerabatan dengan suku-suku di luar wilayah mereka, yang turut memperkuat kekerabatan dalam hubungan ana fai dan ana haki, seperti:
  • Suku Sui, sebagai ana haki dari suku Motu Poso. Karena hubungan perkawinan pada masa nenek moyang suku Motu Poso.
  • Suku Kiu, suku Motu Poso menghibahkan sebagian tanah untuk suku ini, yang kemudian dijadikan sebagai kawasan gembala (wota). Tempat ini disebut Wota Adzhe Kua.
  • Suku Sawu, sebagai ana haki dari suku Motu Poso. Karena hubungan perkawinan suku Motu Poso memberikan sebidang tanah di Tere Angi (bagian atas Kenda).
  • Suku Sedzha, sebagai ana haki dari suku Motu Poso.
  • Suku Motu, sebagai ana haki dari suku Motu Poso.
Saat ini masyarakat suku Motu Poso, pada umumnya telah memeluk agama Kristen Katolik dan Kristen Protestan. Agama Kristen Katolik berkembang di wilayah ini, diperkenalkan oleh bangsa Portugis yang memasuki wilayah ini pada tahun 1900-an.

Masyarakat suku Motu Poso hidup pada bidang pertanian, seperti tanaman padi di sawah, dan juga di ladang dan kebun yang ditanami berbagai jenis tanaman untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka sehari-hari. Selain itu mereka juga memelihara beberapa hewan ternak.

sumber

Suku Toe, Nusa Tenggara Timur

suku Toe
Suku Toe, adalah salah satu suku yang terdapat di pulau Flores kabupaten Manggarai Barat provinsi Nusa Tenggara Timur.

Suku Toe adalah anak suku atau suku kecil yang merupakan bagian dari suku Manggarai, yang tetap teguh menjaga adat istiadat dan budaya Manggarai sampai saat ini.

Dalam tradisi suku Toe, terdapat suatu tradisi yang dianggap penting bagi masyarakat suku Toe, yaitu tradisi dalam menyambut tamu. Menurut mereka apabila ternyata ada tamu yang tak disambut, berarti mereka telah gagal menjaga adat Manggarai Barat. Bagi kehidupan masyarakat suku Toe, adat sangat dijunjung tinggi, dan sebagai pedoman hidup. Siapapun orang yang datang menjadi tamu di desa Liangdara kecamatan Sanunggoang Manggarai Barat akan mendapatkan ritual penyambutan.

Para tamu biasanya diawali dengan diberikan secangkir tuak raja, hasil fermentasi yang diproses sekitar sebulan. Kemudian para perempuan berikat bali belo dan berpakaian birimbeli datang menyambut para tamu. Beberapa perempuan berusia lanjut memukul gong dan gendang dengan tabuhan yang sederhana. Sekelompok laki-laki suku Toe membawakan tarian tradisional Caci, yang kadang-kadang dalam tarian ini tubuh mereka mengalami luka-luka, tapi bagi mereka hal itu adalah suatu kebanggaan. Walaupun tubuh mereka sering terluka dalam Tari Caci, tapi mereka tidak merasa dendam, bahkan pernah suatu kejadian, yang membuat mata seorang penari Caci terluka dan buta sebelah, tapi hebatnya mereka, tidak pernah merasa sakit hati apalagi merasa dendam.

Tari Caci, adalah semacam tari perang, menggambarkan peristiwa di masa lalu dengan menggunakan cambuk dari kulit kerbau, yang dilakukan oleh para leluhur mereka ketika sering berperang. Saat ini, setelah tidak ada lagi perang, maka Tari Cari menjadi penting, terutama ditampilkan dalam acara menyambut para tamu, juga pada acara perkawinan atau setelah masa panen.
Mereka tetap melestarikan tradisi Tari Caci, agar budaya suku Toe dan adat Manggara tetap lestari.
Dalam Tari Caci, mereka mengenakan ikat kepala, kain songket dan tubirampai sebagai ciri khas sang ksatria di masa lalu. Mereka akan senang apabila pertunjukan tarian adat Caci dapat membuat para tamu merasa terhibur.

Selain Tari Caci, terdapat tradisi tari lain, yaitu Tari Rangkuk Alu. Tarian ini adalah merupakan suatu tarian yang asal-usulnya merupakan upaya muda-mudi mencari jodoh. Tari Rangkuk Alu, memiliki gerakan melompat di antara bambu yang yang digerak-gerakkan dan dipukulkan oleh sekumpulan perempuan lain. Tari Rangkuk Alu, adalah suatu tarian asli adat suku Toe, karena menggunakan bambu sama seperti asal usul nama suku mereka. Istilah "toe", berarti bambu hutan yang tumbuh liar.

Dalam kehidupan sehari-hari suku Toe hidup dengan berkebun dan berladang. Mereka menanam coklat, kemiri dan terutama kopi. Selain itu mereka juga menanam durian ruteng, mangga, rambutan dan sala yang dipanen sekali setahun.

Saat ini, telah banyak dari orang Toe yang telah mendapatkan pendidikan tinggi. Banyak dari mereka yang pergi ke kota untuk mendapatkan pendidikan yang lebih baik, seperti ke Ende atau ke Kupang.

Masyarakat suku Toe, sangat ramah, dan mereka sangat terbuka terhadap siapapun termasuk kepada tamu-tamu yang berkunjung ke desa mereka. Mereka selalu bergegas menyambut tamu dan tersenyum malu-malu apabila para tamu mengajak berbicara ataupun hendak mengabadikan gambar dengan kamera.

Ada suatu kalimat bagi setiap orang yang pernah berkunjung ke wilayah ini, yaitu ""aku taukolek ce e Flores". Suatu kalimat yang selalu ditunggu masyarakat suku Toe, akan kembalinya para tamu ke desa mereka.

sumber:

Suku Mokel, Nusa Tenggara Timur

Suku Mokel, adalah salah satu suku yang terdapat di kabupaten Manggarai Timur provinsi Nusa Tenggara Timur, Indonesia.

Di wilayah adat suku Mokel terdapat banyak situs bersejarah yang tersebar di kampung-kampung di wilayah Manggarai Timur. Salah satu situs bersejarah bagi masyarakat suku Mokel, adalah adanya sebuah kuburan nenek moyang orang Mokel di Manggarai, yang bernama Nenek La. Konon menurut cerita rakyat setempat nenek moyang mereka pada zaman dahulu datang dari wilayah Bonengkabo, yang dihubungkan dengan nama Minangkabau pada masa ratusan tahun yang lalu. Kebenaran cerita ini tentunya perlu penelitian yang lebih lanjut. Karena secara fisik orang Mokel sangat berbeda dengan orang Minangkabau. Dilihat dari struktur fisik orang Mokel, mirip dengan orang dari Sulawesi Tengah, atau dengan orang Maluku, yang kemungkinan pada masa lalu terdapat hubungan sejarah masa lalu. Kuburan nenek La, tetap terjaga dengan baik, di wilayah adat suku Mokel di kecamatan kota Komba.

Masyarakat setempat menyebut Nenek La, sebagai Nenek Mokel atau Nenek Moyang Mokel. Masyarakat suku Mokel sangat berharap agar kuburan Nenek La ini, diperbaiki akses jalan menuju kuburan bersejarah ini, serta dibangun pagar di sekitar lokasi kuburan agar lebih aman dan terlihat lebih bagus. Kuburan Nenek La ini, sering dikunjungi oleh masyarakat suku Mokel dan memasang lilin di kuburan ini.

Selain kuburan bersejarah Nenek La ini, terdapat juga sebuah benteng yang bernama Benteng Tabu, yang juga sebagai benteng bersejarah bagi masyarakat suku Mokel. 

Masyarakat suku Mokel, pada saat ini hidup pada bidang pertanian. Mereka telah mengenal teknik pertanian, terutama pada tanaman padi di areal persawahan. Selain itu mereka juga memiliki ladang dan kebun yang ditanami beberapa jenis tanaman sebagai pelengkap kebutuhan hidup mereka, seperti ubi kayu, ubi jalar, cabe-cabean, pisang, kelapa dan lain-lain. Selain itu kopi juga menjadi tanaman penting bagi mereka.

sumber:

Suku Lao Ngorat, Nusa Tenggara Timur

petani di Lembor
Suku Lao Ngorat, adalah suatu komunitas masyarakat yang berdiam di desa Munting yang berada di kecamatan Lembor kabupaten Manggarai Barat provinsi Nusa Tenggara Timur, Indonesia.

Sebagian besar Lao Ngorat adalah sebagai pemeluk agama Kristen Katolik. Agama Katolik menjadi agama utama masyarakat di Lembor. Di luar wilayah Lembor terdapat juga sebagian kecil masyarakat yang memeluk agama Islam. Kerukunan beragama sangat terpelihara di wilayah ini, antara pemeluk agama Kristen Katolik dan pemeluk agama Islam.

Daerah Lembor sendiri, sebagai daerah pemukiman suku Lao Ngorat merupakan daerah yang subur dengan iklim tropis dan curah hujan yang tinggi. Sehingga masyarakat Lao Ngorat yang bermukim di sini, memanfaatkan kesuburan tanah mereka dengan hidup pada bidang pertanian.

Masyarakat suku Lao Ngorat yang berada di daerah Lembor terutama hidup dengan menanam padi yang ditanam di lahan sawah. Tanaman padi merupakan tanaman utama mereka, karena sebagian besar daerah Lembor terdiri dari daerah irigasi untuk persawahan. Selain itu mereka juga menanam berbagai tanaman lain di kebun atau ladang, seperti jambu, kemiri, cabe-cabean, ubi kayu, ubi jalar dan lain-lain. Selain padi yang menjadi tanaman utama mereka adalah kopi.

sumber:

Suku Rongga, Nusa Tenggara Timur

suku Rongga
Suku Rongga, adalah suatu komunitas masyarakat yang menyebut dirinya suku Rongga, yang terdapat di kabupaten Manggarai Timur provinsi Nusa Tenggara Timur.

Suku Rongga berbicara dalam bahasa Rongga, yang dituturkan oleh sekitar 20 suku yang biasanya disebut sebagai sub-suku Rongga, yang juga merupakan klan atau suku-suku kecil.  Sub-suku Rongga yang memiliki populasi terbesar adalah suku Motu, suku Lowa dan suku Nggeli. Masing-masing sub suku Rongga mempunyai peran adatnya tersendiri, misalnya peran pemimpin secara tradisional dipegang oleh kelompok suku Motu dan Lowa. Setiap suku mempunyai rumat adatnya masing-masing yang digunakan sebagai tempat menyimpan barang-barang pustaka, upacara adat dan juga tempat berbagai acara ritual lain diadakan.

Tulisan tentang suku Rongga sangat sedikit bisa didapat di beberapa media, Suku yang mendiami wilayah Selatan Manggarai Timur ini, di samping unik dari sisi bahasa, juga memiliki sejarah kebesaran peradabannya tersendiri. Wilayahnya tidak saja mencakup Kisol dan Waelengga, tetapi meliputi sebagian dari luas kecamatan kota Komba dan kecamatan Borong. Wilayah kedaualatan suku ini di sebelah Timur berbatasan dengan Wae Mokel dan di bagian barat berbatasan dengan Wae Musur (Sita). Sementara di utara berbatasan dengan suku Mendang Riwu, Suku Manus dan Suku Gunung.

Suku Rongga menganut sistem kekerabatan patrilineal. Warisan dan nama keluarga, jatuh menurut garis laki-laki, dilakukan oleh sang ayah (kalau masih hidup), atau oleh anak tertua (jika ayah sudah meninggal). Poligami bagi masyarakat Rongga, dahulunya dibolehkan, tapi sejak kedatangan Agama Kristen Katolik memberi hal positif bagi masyarakat suku Rongga, dan praktek poligami semakin ditinggalkan. Karena dianggap tidak baik bagi masyarakat suku Rongga.

Proses perkawinan dalam adat Rongga bisa merupakan proses yang panjang, dimulai dari pinangan oleh pihak laki-laki ke pihak perempuan, yang berlangsung lama dalam perundingan untuk mendapatkan kesepakatan atas besarnya belis (mas kawin) yang harus diserahkan oleh keluarga laki-aki.

Pada saat orang Rongga meninggal, dilaksanakan upacara Sedhu Mbizha Ndoa Ngembo. Upacara ini diisi dengan Nggore Nggote (pukul gendang), membunyikan meriam bambu, Teka Tana (potong hewan untuk penggalian kubur), pertunjukan Mbata dan Vera (nyanyian dan tarian tradisional), Paka Zhi'a (acara 4 malam berturut-turut), dan setelah setahun, diadakan upacara Toko Lulu Huki. Makam biasanya dikuburkan di halaman depan rumah sebelah kanan.

Tari Vera
Dalam masyarakat suku Rongga terdapat suatu tradisi budaya yang populer di kalangan masyarakat Manggarai, yaitu Tari Vera. Tarian ini merupakan suatu tarian yang dianggap utama bagi masyarakat suku Rongga. Tari Vera ini sebenarnya tidak hanya dimiliki oleh suku Rongga saja, tapi juga dimiliki oleh seluruh suku-suku lain yang merupakan bagian dari suku Rongga yang tersebar di wilayah Manggarai Timur.

Masyarakat suku Rongga dalam kegiatan sehari-hari sebagian besar bercocoktanam di kebun (Uma) atau ladang. Mereka menanam berbagai jenis tanaman untuk kebutuhan hidup keluarga mereka. Selain itu mereka juga memelihara beberapa hewan ternak untuk menambah penghasilan atau untuk mendapatkan unsur hewani bagi keluarga mereka. Setelah kegiatan di kebun selesai mereka kembali ke kampung (Nua) dan beraktifitas di rumah (Sa'o).

baca juga:
sumber:

Suku Lowa, Nusa Tenggara Timur

Suku Lowa, adalah salah satu suku yang berada di kota Komba kabupaten Manggarai Timur yang berada di pulau Flores provinsi Nusa Tenggara Timur, Indonesia.

Suku Lowa berada di wilayah suatu suku yang lebih dominan, yaitu suku Rongga, sehingga suku Lowa dikelompokkan sebagai salah satu bagian dari 20 sub-suku Rongga,

suku Lowa
Dalam kehidupan suku Lowa, terdapat suatu ritual yang dianggap penting bagi masyakat suku Lowa, yaitu Ritual Kebhu. Ritual Kebhu ini adalah ritual Memanen Ikan, dalam kolam muara buntu yang dilakukan secara massal untuk memupuk kebersamaan. Ritual ini dilakukan suku Lowa di lingkungan suku Rongga di kecamatan kota Komba kabupaten Manggarai Timur pulau Flores provinsi Nusa Tenggara Timur.

Penangkapan berlangsung di sebuah limbu (kolam) bernama Tiwu Lea. Kolam itu merupakan muara sungai Waerawa di Nangarawa desa Bamo, yang berlokasi sekitar 18 km arah selatan Kisol atau 27 km dari Borong, ibu kota kabupaten Manggarai Timur.

Sebelum hari pelaksanaan ritual, tetua suku Lowa mengirim utusan ke sejumlah kampung dan desa lain, untuk mengundang warga kampung lain ikut memanen ikan atau lazim disebut kremo di Tiwu Lea. Menangkap ikan di Tiwu Lea hanya boleh dilakukan dengan tangan kosong. Peserta dilarang menggunakan pukat (jaring) ataupun alat tangkap dari besi, seperti tombak atau trisula.

Kalaupun ada alat tangkap hanya berupa ndai, sejenis jaring dorong dengan dua tongkat kayu di dua sisi. Ikan yang berhasil mereka tangkap langsung dimasukkan ke dalam mbere (wadah penampung dari anyaman daun lontar, pandan) atau gewang (sebangsa palem).

Peserta dilarang emosional, apalagi bersikap menghasut saat kremo. Yang paling diharamkan adalah meneriakkan nada-nada provokasi, seperti hia-hia-hia, yang bisa membuat orang terprovokasi dan saling berebut menangkap ikan. Warga juga dilarang menggigit hasil tangkapannya sebelum dimasukkan ke dalam mbere.

Begitu pantangan dilanggar, tetua pemilik kebhu langsung menebarkan jala pusaka bernama ramba ke dalam kolam sebelum waktunya. Kegiatan kremo pun segera dihentikan. Warga yang mencoba melanjutkan kegiatan dalam kolam akan sia-sia karena ikan dan biota lain akan langsung menghilang.

Kegiatan kremo diawali dengan serangkaian ritual adat, yang disebut eko ramba, tunu manu, dan nazho. Ritual eko ramba wujudnya berupa penggendongan ramba (jala pusaka) dari ulunua (hulu kampung) di Muting menuju eko nua (hilir kampung) di Nangarawa, dekat tepi kolam Tiwu Lea. Prosesi eko rambadisertai kelong (nyanyian mistis).

”Oru lau mbawu oru lau, renggo ika rele lia...,” begitu syair kelong. Mereka memohon kepada leluhur agar menghalau mbawu, ikan belanak yang mendominasi kolam muara, belut, dan berbagai biota lain supaya keluar dari lia (sarang) menuju kolam Tiwu Lea.
Penggendongan ramba hanya dilakukan oleh perempuan dewasa yang masih berstatus anggota suku Lowa yang belum menikah. Boleh juga perempuan yang sudah menikah, tetapi dipastikan kawin masuk (menjadi anggota suku).

Prosesi eko ramba berlangsung sejauh lebih-kurang 1,5 km, berujung di kaki nangge (pohon asam) di Nangarawa. Kaki pohon asam itu konon pernah mati, tetapi hidup kembali.

Prosesi dilanjutkan dengan ritual tunu manu, yaitu pemotongan ayam kurban. Sebagian darah ayam dioleskan ke permukaan batu sesajen dan sebagian lain dioleskan pada ramba.
Jala pusaka selanjutnya diserahkan kepada tetua yang akan memimpin kremo. Kegiatan dimulai setelah sang tetua menebarkan ramba ke kolam. Penebaran didahului lima kali ancang-ancang (nazho). Tetua juga menebarkan jawa pena (jagung titi) ke kolam.

Dari kegiatan itu, tetua langsung memberi tanda-tanda yang mengisyaratkan apakah kremo akan mendapatkan hasil tangkapan memuaskan atau mengecewakan. Kalau ikan-ikan langsung datang menyerbu, itu pertanda baik. Pertanda kurang memuaskan kalau tidak banyak ikan yang datang menyambut ramba atau jawa pena.

Ramba tidak dimanfaatkan untuk menangkap ikan. Setelah ditebar untuk mengawali kegiatan kremo, jala pusaka disimpan di rumah induk Suku Lowa di Muting dan dikeluarkan saat kebhu berikutnya.

Tradisi Kebhu dilakukan sekali dalam lima tahun. Ahli waris utama suku Lowa, Donatus Jimung, dan sejumlah tetua di Muting menyebutkan, kebhu terakhir berlangsung tahun 2007. Waktu pelaksanaannya biasanya pada bulan September atau Oktober selama sehari penuh.

Ada juga fenomena alam yang mendukung tenggang waktu lima tahun itu. Berdasarkan kesaksian masyarakat sekitar, hanya sekali dalam lima tahun kolam muara Tiwu Lea mengalami kebuntuan atau tidak tersambung langsung ke laut. Berbagai biota yang terjebak dalam kolam buntu itu menjadi harta milik Suku Lowa, tetapi dipanen secara bersama oleh ribuan warga sekitarnya.

Ritual kebhu sesungguhnya mengusung pesan luhur agar manusia tidak serakah terhadap rezeki yang didapat. Pesan lain adalah mendorong kehidupan bersama secara harmonis tanpa dibatasi sekat suku atau perbedaan lain.

Masyarakat suku Lowa dari kegiatan-kegiatan tradisi seperti di atas menunjukkan, bahwa pada masa lalu, suku Lowa ini kemungkinan termasuk bangsa yang menekuni kehidupan sebagai nelayan, atau bangsa bahari.
Saat ini kehidupan suku Lowa telah mengenal beberapa teknik pertanian. Sebagian besar masyarakat suku Lowa hidup dari bercocok tanam. Mereka memeiliki lahan kebun dan ladang yang ditanami berbagai jenis tanaman untuk kebutuhan hidup. Selain itu mereka juga memelihara beberapa hewan ternak untuk menambah penghasilan mereka.

sumber:

Suku Pa'an, Nusa Tenggara Timur

suku Pa'an
Suku Pa'an, (baca: pa'ang), adalah suatu kelompok masyarakat yang menyebut diri mereka sebagai orang Pa'an atau suku Pa'an. Suku Pa'an berdiam di Manggarai Timur di provinsi Nusa Tenggara Timur.

Istilah "pa'ang", dalam bahasa Manggarai berarti "depan, pangkal atau awal".

Asal-usul suku Pa'an, berdasarkan cerita yang tersimpan dalam masyarakat suku Pa'an, dikatakan dahulunya di daerah Manus yang berhak untuk menjadi Tu’a Golo adalah 4 keturunan yang disebut Wa’u pat: Deru, Mukun, Manus dan Ngusu. Nenek Ande Alang mengemukakan bahwa sumber cerita / legenda ini adalah Ema Lopo Mboes, Meka Sapang dan ayah beliau Mekas Pius Rondong:

Karena kalah dalam pertarungan kerbau dengan adiknya, Meka Nggaong bersama istrinya Lopo Mina meninggalkan Bonengkabo. Dengan perahu Ine Jembu (yang terbuat dari kayu Jambu) mereka dan para pembantunya tiba di Watu Ipun (dermaga Borong sekarang). Lalu mereka terus menuju Mandosawu dan mereka berkenalan dengan orang-orang Ruteng Runtu dan memperkenalkan api kepada mereka.

Dari situ Meka La’ bersama adik dan para pembantunya menuju ke timur mnegikuti anjingnya. Sesampai di Wae Wake, anjingnya menggonggong dan menangkap rusa. Adiknya yang disuruh menyusuli anjing di lembah Nul tidak kunjung kembali, sehingga Meka La’ bersama keluarganya meneruskan ke Golo Sita. Dari situ terus ke Wenggul. Di Wenggul itulah beliau menajamkan kayu tapak di atas pahanya, lambang kekebalan magisnya. Orang-orang Tabu melihatnya dan memintanya untuk menolong mereka dalam peperangan dengan Ghezong. Setelah menang perang, orang-orang Tabu memberikan tanah untuk dikuasai Meka La’ dengan batas-batasnya: dari Wae Lur, Waruleok, Pong Taga, Golo Pari, ulung Wae Weer, Tana Ngeo, sebelah Pam, Wae Mokorogo, Wae Gheto sampai dengan Wae Lur.

Anak-anak dari Meka La’: Mawong dan Ndaeng. Kemudian turunan mereka adalah Saka dan Latar. Karena mengikuti babi piaraannya yang beranak Saka sampai di Watu Manus. Latar sang kakak kembali ke Mokel, Saka menetap di Manus. Saka menurunkan Padu dan Warang. Padu ke Ngusu, sedangkan Warang menetap di Manus.

Di Ngusu Padu menurunkan Ngau – leluhur suku Tolang, Dalu – leluhur suku Ngusu dan Jaun. Mereka memiliki seorang saudari: lopo Rida yang mengikuti suaminya orang suku Gunung.

Mekas Jaun Ame Pau’ sangat berani dan ditakuti, sehingga dijual orang Manus kepada penjajah untuk dijadikan budak. Meka Jaun mengutus pengikutnya Ngali Karung, untuk kembali dengan dibekali kekuatan magis sehingga tidak bisa ditangkap oleh para pengawal kapal budak. Putranya Sazu / Saju masih kanak-kanak dan dipelihara oleh tantanya Lopo Rida di Gunung.

Ketika tumbuh menjadi besar, Saju menyelenggarakan Pesta Paki, untuk menghormati ayahnya yang dibawa penjajah. Keempat turunan secara bergilir mengayunkan pedang untuk membunuh kerbau korban: Deru, Mukun, Manus dan yang terakhir Ngusu. Ketiga Wa’u pertama tidak berhasil membunuh korban, kecuali wakil Ngusu: Saju. Dan ini pertanda legitimasi kekuasaan Saju (Ngusu) atas ketiga wa’u lainnya. Manus lari, sedangkan Deru dan Mukun tidak.

Saju mengambil istri di Ladok: Lopo Pele, menurunkan suku Rangga. Istrinya yang lain: lopo Ozeng (Ojeng) dari Manus (disunting saat beliau menyerang Manus dalam aksi balas dendam). Adik dari Ojeng, Tati’ diberikan juga oleh Manus untuk menemani kakaknya. Ojeng menurunkan Ema Mboes, sedangkan Tati’ menurunkan ema Linus, ema Ngalang dan lain-lain. Di Nancur dipersunting juga lopo Ndai’.

Ojeng dan Tati tinggal di penghulu kampung, sehingga keturunannya disebut Uku Pa’an (pa’an=pangkal, penghulu). Lopo Pele’ dan Ndai’ tinggal di penghujung kampung, di rumah dengan simbol tanduk kerbau di atapnya, sehingga keturunan mereka di sebut Uku Rangga (rangga=tanduk).

Totem dalam suku Pa’an
Sebenarnya Totem (mawa dalam bahasa Manus) menurut nenek Raymundus Mujur adalah sama untuk seluruh empat keturunan (Wa’u Pat): Deru, Mukun, Manus dan Ngusu. Konon menurut legenda, suatu hari dalam perjalanannya menuju ke timur Manggarai Meka La’ bersama rombongannya berburu. Mereka mendapatkan seekor babi landak. Beliau sebagai kepala rombongan menghendaki supaya hati dari hasil buruan tersebut diperuntukkan baginya. Tetapi rupanya hal tersebut tidak diindahkan oleh bawahannya. Meka La’ naik pitam dan bersumpah bahwa dia dan keturunannya tidak akan menyentuh daging babi landak. Siapa yang melanggar sumpah tersebut secara sadar atau pun tidak, akan terkena hukuman naki (berasal dari nangki, bahasa Manggarai). Sudah banyak bukti nyata dari naki-naki tersebut: ada yang seluruh anaknya terlahir dengan penyakit kulit dua, ada yang sakit jiwa dan lain-lain. Pelanggaran harus ditebus dengan acara loak (loak = memuntahkan), sehingga ada babi ataupun ayam untuk acara tersebut.

Mawa lain adalah sejenis pisang yang sering disebut Muku Bela’.Konon pisang tersebut jarang tumbuh di daerah Manus. Tetapi seandainya dijumpai oleh keturunan Wa’u Pat, pohonnya harus ditanduk sampai tumbang.

Tabe, Ase ka’en!

sumber:

Suku Manggarai, Nusa Tenggara Timur

suku Manggarai
Suku Manggarai, adalah suatu suku yang berada di pulau Flores di kabupaten Manggarai provinsi Nusa Tenggara Timur. Populasi orang Manggarai diperkirakan sekitar 500.000 orang.

Suku Manggarai adalah suku asli di Flores yang hidup di kabupaten Manggarai Barat dan Manggarai Timur, dan hidup berdampingan dengan suku-suku lain, seperti suku Ngada, Ende, Lio, Flores Timur. Suku-suku tersebut sebagai suku-suku terbesar di Flores. Selain suku-suku tersebut, masih terdapat banyak suku-suku kecil lainnya yang tersebar di Flores.

Suku Manggarai sendiri terdiri dari bermacam-macam suku kecil (sub-suku) dan klan-klan yang memiliki bahasa dan dialek masing-masing, serta adat-istiadat yang unik. Selain itu masing-masing suku-suku kecil juga memiliki rumah tradisional, upacara adat dan pakaian adat sendiri.

Masyarakat suku Manggarai mayoritas adalah pemeluk agama Kristen Katolik. Namun beberapa acara tradisional yang mengandung unsur animisme masih tetap dilakukan, tapi beberapa sudah disesuaikan dengan ajaran agama Kristen Katolik.

Caci
tradisi suku Manggarai
Suku Manggarai memiliki sederet upacara ritual sebagai ucapan syukur atas kehidupan yang sudah dijalani dalam periode waktu tertentu. Seluruh rangkaian prosesi dilakukan demi menjaga ketenangan batin dan keharmonisan antarwarga Manggarai.
Salah satunya adalah ritual adat Penti, yaitu suatu Upacara Adat merayakan syukuran atas hasil panen yang dirayakan bersama-sama oleh seluruh warga desa. Bahkan ajang prosesi serupa juga dijadikan momentum reuni keluarga yang berasal dari suku Manggarai.

Ritual Penti bukan satu-satunya ritual yang kerap dilakukan masyarakat suku Manggarai. Sebab masih ada Caci, olah raga tradisional yang dijadikan tradisi ritual menempa diri. Pentas kolosal pemuda setempat itu diyakini bisa terus menjaga jiwa sportivitas. Maklum, olah raga yang dilakukan tak lain dari pertarungan saling pukul dan tangkis dengan menggunakan pecut dan tameng. Pertarungan antardua pemuda tersebut selalu dipenuhi penonton dalam setiap pergelaran di lapangan rumput Kota Ruteng, Kabupaten Manggarai.

sumber:

Suku Boti, Nusa Tenggara Timur

masyarakat suku Boti
Suku Boti, adalah salah satu suku yang berada di kabupaten Timor Tengah Selatan provinsi Nusa Tenggara Timur.

Menurut cerita, bahwa suku Boti termasuk salah satu suku tertua di Nusa Tenggara Timur. Suku Boti hidup di pedalaman. Wilayah pemukiman mereka bisa dikatakan agak terpencil dari daerah lain. Sehingga untuk menuju ke desa Boti, pemukiman suku Boti harus menempuh sekitar 2 jam, dan berjarak 40 km dari kota Soe kabupaten Timor Tengah Selatan. Di perkampungan suku Boti terdiri 77 keluarga dengan jumlah penduduk sekitar 316 orang.

Suku Boti, hidup di lembah Boti, yang terletak di desa Boti kecamatan Ki’e kabupaten Timor Tengah Selatan provinsi Nusa Tenggara Timur. Masyarakat suku Boti sebagian besar tinggal di Lopo (rumah adat) dan bermatapencaharian sebagai petani kebun. 

Masyarakat suku Boti memliki seorang ketua adat, yang disebut sebagai Raja, yang bernama Osif Namah Benu. Di rumah sang Raja inilah yang sering digunakan sebagai tempat penyimpanan hasil karya dari masyarakat suku Boti. Dalam kehidupan masyarakat suku Boti, ada pembagian tugas yang jelas antara kaum laki-laki dan perempuan. Berdasarkan tradisi, para lelaki bertugas mengurusi permasalahan di luar rumah seperti berkebun dan berburu. Sedangkan kaum perempuan mendapatkan tugas untuk segala urusan rumah tangga.

Suku Boti adalah suku tertua di Nusa Tenggara Timur, dan mereka juga memiliki beberapa tradisi adat yang unik, yaitu tradisi Penyambutan Tamu, dengan tarian yang diiringi Tufu (gendang) dan Laban Ote, serta suguhan kepada tamu berupa pinang atau daun sirih, untuk dinikmati bersama.

tari Perang suku Boti
Dalam kehidupan masyarakat suku Boti, mereka memiliki tradisi unik lainnya, yaitu warga suku Boti tidak diperbolehkan untuk memotong rambut. Baik perempuan atau laki-laki. Semua menggulung rambut di belakang kepala, sehingga terlihat mirip konde. Tradisi ini mereka jalankan sejak lama, yang menurut mereka merupakan penghargaan terhadap rambut. Kebiasaan lain adalah tidak menggunakan alas kaki. Walau pemukiman mereka termasuk terpencil, tapi perkampungan mereka bersih dari sampah maupun kotoran hewan. Selain itu mereka juga memiliki tarian yang berupa Tari Perang, yang memiliki gerak yang unik dan indah.

Makanan pokok suku Boti adalah jagung, ubi dan pepaya. Mereka jarang memakan nasi, walaupun nasi termasuk makanan yang disukai oleh mereka. Dalam memasak, mereka tidak menggunakan penyedap rasa, kecuali menggunakan gula dan garam. Suku Boti juga memegang teguh prinsip monogami atau beristri satu dalam pernikahan warganya. Jika ada yang melanggar akan dikenakan sanksi sesuai dengan aturan adat yang berlaku.

Keunikan lain, adalah masyarakat masih menganut agama kepercayaan Halaika. Mereka belum ada yang memeluk agama Kristen maupun Islam. Mereka percaya pada 2 penguasa alam, yaitu Uis Pah dan Uis Neno. Uis Pah adalah "mama" (ibu), yang yang mengatur, mengawasi dan menjaga kehidupan alam semesta beserta isinya termasuk manusia. Sedangkan Uis Neno sebagai "papa" (ayah), yang merupakan penguasa alam baka yang akan menentukan seseorang bisa masuk surga berdasarkan perbuatan di dunia.

Jika ada warga suku Boti yang melanggar dengan memeluk salah satu agama, maka mereka akan dikenai sanksi dan harus keluar dari komunitas suku Boti. Hal inilah yang dialami oleh Laka Benu, kakak dari Raja Osif Namah Benu. Laka Benu yang seharusnya menjadi putra mahkota, harus dikeluarkan dari suku Boti, karena memeluk agama Kristen.

Sanksi lain juga akan diberikan kepada suku Boti yang melakukan perbuatan melanggar hukum seperti mencuri. Sanksi itu diberikan berdasarkan keputusan bersama seluruh warga, dan berupa perintah untuk memelihara ternak atau tanaman, sampai hasilnya bisa dirasakan seluruh warga.

sumber:
sumber foto: