Suku Tufaona, Nusa Tenggara Timur

Suku Tufaona (Tufa Ona), adalah salah satu suku yang mendiami Lamalera provinsi Nusa Tenggara Timur.

Suku Tufaona, merupakan salah satu suku yang dikelompokkan ke dalam 19 suku Lamalera. Seluruh suku-suku di Lamalera rata-rata bertahan hidup dengan berburu ikan paus. Hal ini menjadi salah satu kegiatan mereka dalam bertahan hidup, dan merupakan suatu tradisi sejak zaman nenek moyang mereka.

Menurut cerita, suku Tufaona adalah sebagai penghuni pertama daerah Lamalera. Kehadiran awal suku Tufaona di Lamalera ini bersama-sama suku Wujon..

Suku Tufaona mayoritas adalah pemeluk agama Kristen, mereka terutama memeluk agama Kristen Katolik, yang juga menjadi agama mayoritas di bagi suku-suku Lamalera dan pulau Lembata. Beberapa tradisi lama mereka tetap dijalankan, seperti ritual memberi  makan para leluhur dan beberapa tradisi lainnya.

berburu ikan paus
Dalam tradisi berburu ikan paus, sebelumnya mereka mengadakan serangkaian aktfitas ritual, yang dihadiri warga dari 3 desa yakni, Lamalera A, Lamalera B dan Lamamanuk yang berada di kecamatan Wulandoni kabupaten Lembata provinsi Nusa Tenggara Timur. Tradisi ini merupakan perpaduan unsur tradisional dengan agama Kristen Katolik yang dipimpin oleh seorang Pastor. Tradisi ini wajib dilakukan sebelum leva alap (pelaut Lamalera) memburu ikan paus pada leva nuang atau musim berburu paus secara tradisional. Sebuah inkulturasi tradisi adat dan agama syarat nilai-nilai moral sosial.

Seusai ritual adalah masa tenang, dan tidak ada kegiatan apa-apa, seluruh masyarakat tidak boleh melakukan aktifitas apapun, termask bunyi-bunyian. Suasana tenang ini penting bagi leva alap (pemburu paus) untuk mempersiapkan diri secara magis tadisional maupun secara religious sebelum turun menyabung nyawa menghadapi mamalia raksasa di laut.

Ritual memasuki tahun baru bagi Leva alap (pemburu paus) dan pneta alap (penjual paus) 1 Mei di Lamalera dimulai dengan misa arwah, 31 april malam. Misa yang dipimpin imam katholik ini untuk menghormati arwah leva alap (pemburu paus) yang tewas maupun hilang dilaut karena memburu mamalia raksasa pemberi hidup itu. Pada saat yang sama, di desa Lama Manuk, desa yang dihuni suku Tufaona dan suku Wujon, sebagai tuan tanah Lamalera, digelar ritual Ie gerek (ritual memanggil ikan paus).

Riual-ritual dan perburuan ikan paus yang diadakan oleh suku Tufaona dan suku-suku di Lamalera, bukan sekedar untuk bertahan hidup, tetapi secara tradisional telah mengajarkan tata niaga dengan pesan moral sosial. Kekayaan budaya tersebut kini mulai luntur dimakan zaman.

sumber:
sumber lain dan foto:

Suku Wujon, Nusa Tenggara Timur

Suku Wujon (Lango Wujon, Langawujon), adalah salah satu suku yang terdapat di Lamalera provinsi Nusa Tenggara Timur.

Suku Wujon, adalah salah satu dari 19 suku Lamalera, dan semua suku-suku di Lamalera adalah suku pemburu ikan paus. Mereka bertahan hidup dengan berburu ikan paus di laut. Hal ini dilakukan untuk memenuhi kebutuhan hidup masyarakat mereka di perkampungan. Di Lamalera, hampir seluruh suku-suku kelompok suku Lamalera hidup berbaur saling berdampingan dan bertetangga.

Menurut cerita, suku Wujon ini adalah suku penghuni pertama Lamalera. Kehadiran awal suku Wujon bersama-sama suku Tufaone.

berangkat berburu ikan Paus
Apabila hasil tangkapan dari berburu ikan paus mengalami penurunan. Mereka melakukan ritual adat, yaitu memberi makan para leluhur di bukit Batu Paus di gunung Labalekan. Ritual memberi makan para leluhur ini merupakan tradisi turun-temurun suku-suku Lamalera. Musim berburu biasanya dimulai pada tanggal 1 Mei. Suku Wujon serta suku Tenaor akan segera naik ke gunung Labalekan untuk melakukan ritual memberi makan para leluhur, serta meminta bantuan membawa paus ke darat.

Ritual Ie Gerek dilakukan dimulai dari puncak gunung Labalekan, tempat asal tuan tanah Lamalera dan Lama Manuk. Ritual ini menyinggahi beberapa tempat untuk mempersembahkan sesajian termasuk di batu Paus, batu yang menyerupai ikan paus yang berwarnah hitam dengan wujud mirip ikan paus. Ketua Adat Wujon yang memimpin upacara Ie Gerek mengenakan Kevatek Lamalera, dengan mengikatkan kepalanya dengan daun-daunan. Hal yang sama dilakukan pembantu-pembantu kepala suku yang bertugas memegang tuak, siri pinang, tembakau, daun koli (lontar), ayam merah dan beras sebagai sesajian kepada leluhur.

Suku Wujon mayoritas adalah pemeluk agama Kristen, mereka terutama memeluk agama Kristen Katolik, yang juga menjadi agama mayoritas di bagi suku-suku Lamalera dan pulau Lembata. Beberapa tradisi lama mereka tetap dijalankan, seperti ritual memberi  makan para leluhur dan beberapa tradisi lainnya.

sumber fotoompundaru

Orang Pendek, Jambi

ilustrasi orang pendek
Pendek, adalah suatu makhluk menyerupai atau seperti manusia yang terdapat di Kerinci provinsi Jambi, Indonesia.

Orang Pendek dipercaya hidup tersebar di beberapa wilayah Sumatera seperti Jambi, Palembang, Bengkulu dan kemungkinan tersebar di seluruh daerah pulau Sumatra, terutama daerah pegunungan. Orang Pendek memiliki sebutan-sebutan lain, tergantung sebutan sesuai di daerah mana ditemukan, yaitu Orang Pende, Atu Pendek, Ijaoe, Sedabo, Sedapa, Sindai, Uhang Pandak, Orang Letjo dan Orang Gugu. Orang Pendek ini memiliki tinggi sekitar 70 cm dan diselubungi oleh bulu gelap, namun daerah wajah tidak berbulu.

Menurut penduduk yang pernah melihat orang pendek, mengatakan bahwa orang pendek ini sekilas seperti kera, tapi berjalan dengan 2 kaki seperti manusia, dan bisa berkomunikasi dengan sesama mereka, layaknya manusia. Hal ini mirip dengan Bigfoot di Amerika atau Yeti di Himalaya, hanya bedanya Orang Pendek ini berukuran tinggi tidak lebih dari 1 meter.

Awalnya, para peneliti beranggapan bahwa Orang Pendek ini adalah Siamang (sejenis kera). Tapi dari penuturan penduduk setempat yang pernah melihat Orang Pendek ini, mengatakan bahwa perilaku Orang Pendek ini tidak seperti Siamang atau kera. Lagipula Orang Pendek tidaklah ganas atau buas, karena Orang Pendek hanya menyerang hewan-hewan kecil untuk makanan. Karena itu penduduk setempat tidak mengganggu kehadiran Orang Pendek ini.

Ahli Cryptozoology W Osman Hill, mengatakan bahwa Orang Pendek masih memiliki hubungan dengan Homo Erectus dari pulau Jawa, sedangkan peneliti lain beranggapan Orang Pendek masih berhubungan dengan Hobbit dari Flores, atau juga dengan Orang Mantee di provinsi Aceh, yang juga memiliki tinggi tubuh  tidak lebih dari 1 meter.

jejak kaki Orang Pendek
Legenda Orang pendek mulai terdengar sejak awal abad 20. Pada tanggal 21 Agustus 1915, Edward Jacobson menemukan sekumpulan jejak misterius di tepi danau Bento, di tenggara gunung Kerinci, Propinsi Jambi. Pemandunya yang bernama Mat Getoep mengatakan bahwa jejak sepanjang 5 inci tersebut adalah milik Orang Pendek.

Desember 1917, seorang manajer perkebunan bernama Oostingh bertemu dengan Orang Pendek di hutan dekat bukit Kaba. Ketika makhluk itu melihatnya, ia bangkit berdiri lalu dengan tenang berjalan beberapa meter dan kemudian naik ke pohon dan menghilang.

Selain di Kerinci, makhluk ini sempat dilaporkan terlihat di wilayah Palembang. Seorang Belanda yang bernama Van Herwaarden menceritakan bahwa ia melihat Orang Pendek di sebuah pohon di utara Palembang pada Oktober 1923. Pertama, Herwaarden bermaksud menembaknya, namun kemudian ia melihat makhluk itu sangat mirip dengan manusia sehingga ia memutuskan untuk membiarkannya. Pengalamannya dipublikasikan di majalah Tropical Nature no.13 yang terbit tahun 1924.

Pada tahun 1924 juga, Museum Nasional Bogor menerima cetakan jejak yang dipercaya sebagai milik orang pendek, namun museum beranggapan bahwa jejak tersebut adalah milik beruang yang diketahui kadang memang berdiri dengan dua kaki. Para ilmuwan yang skeptis kemudian menulis keraguan mereka akan keberadaan Orang pendek.

Orang Pendek, kembali menjadi perhatian, pada tahun 1989 ketika seorang penulis Inggris bernama Deborah Martyr menemukan jejak kaki Orang Pendek di barat daya Sumatera. Jejak-jejak tersebut setara dengan jejak anak kecil berusia 7 tahun. Ia lalu mencetak jejak tersebut dengan gips dan mengirimnya ke badan pemerintahan yang mengurus taman nasional, namun kemudian cetakan itu hilang.

Setelah 5 tahun meneliti, Martyr akhirnya melihat sendiri Orang Pendek di wilayah gunung Kerinci pada 30 September 1994. Makhluk itu terlihat sedang berjalan dengan tenang dengan dua kakinya. Setelah jarak beberapa puluh meter, makhluk itu berhenti sebentar, menoleh ke Martyr, lalu menghilang ke dalam hutan. Sejak penampakan itu, Martyr masih menjumpai makhluk itu dua kali.

Luar biasanya, walaupun Orang Pendek umumnya berhabitat di Kerinci, propinsi jambi, namun penampakan makhluk ini terjadi di hampir seluruh Sumatera.

Pada tahun 1995 ketika gempa besar melanda Liwa, Lampung, beberapa penduduk lokal menyampaikan kepada para pekerja asing, bahwa mereka menyaksikan beberapa Orang Pendek keluar dari hutan, mungkin takut akibat gempa besar tersebut.

Para peneliti kemudian mulai mendapat kemajuan ketika pada tahun 2001, sekelompok tim ekspedisi amatir dari Inggris yang dipimpin oleh Adam Davies menemukan sekumpulan jejak yang dipercaya milik Orang pendek. Cetakan jejak kaki tersebut dikirim ke Cambridge untuk dianalisa dan hasilnya mengatakan bahwa jejak tersebut adalah mirip dengan jejak seekor kera dengan campuran karakter gibon, orangutan, simpanse dan manusia.

Dengan adanya segudang laporan penampakan dan contoh rambut serta cetakan jejak kaki, pada September 2009 ini, sekelompok tim peneliti dari Inggris yang bernama Centre for Fortean Zoology (CFZ) berangkat menuju Kerinci untuk mencari keberadaan Orang Pendek.

Saat saya menulis artikel ini, yaitu tanggal 1 Oktober 2009, Tim tersebut masih berada di Kerinci. Tujuan mereka jelas. membawa bukti yang lebih kuat dan meyakinkan mengenai keberadaan Orang Pendek.

Tim yang terdiri dari empat orang ini akan dibantu oleh suku Kubu yang mendiami daerah pedalaman untuk mencari keberadaan makhluk ini. Kepala suku dan banyak dari anggota suku ini telah menyaksikan keberadaan Orang Pendek dengan mata kepala mereka sendiri.

Tim ini berangkat pada awal September 2009. Pada pertengahan September, mereka melaporkan bahwa mereka telah menemukan jejak kaki yang diyakini sebagai milik Orang Pendek. Bahkan dua anggota tim, Dave Archer dan Sahar Didmus mengaku melihat Orang pendek dengan mata kepala sendiri. Menurut mereka, makhluk itu awalnya bersembunyi di belakang pohon, lalu kemudian tiba-tiba berlari dengan dua kakinya masuk lebih dalam ke hutan. menurut Dave, Orang pendek dikatakan sekilas mirip dengan simpanse. Bedanya makhluk ini berjalan dengan dua kaki seperti manusia.

jejak kaki Orang Pendek
Foto berikut dikirim oleh anggota tim sebagai bukti keberadaan makhluk misterius ini.

Seperti yang dikatakan sebelumnya bahwa Orang Pendek ini masih memiliki hubungan dengan Homo Erectus di Jawa, kalau hal ini benar, maka Orang Pendek ini telah hidup turun temurun sejak 1.800.000 tahun yang lalu, atau dikatakan seperti Hobbit dari Flores atau Homo Floresiensis, berarti Orang Pendek telah hidup turun temurun sejak antara 94.000 - 18.000 tahun yang lalu, atau dengan Orang Mantee di provinsi Aceh, yang juga memiliki tinggi tubuh  tidak lebih dari 1 meter.

Dari beberapa peneliti yang mencoba mengungkap keberadaan Orang Pendek ini, apakah Orang Pendek memang benar-benar ada, atau hanya sekedar cerita-cerita rakyat biasa ? Tentunya hal ini perlu penelitian yang lebih mendalam, untuk mengungkap semuanya.

sumber:

Suku Lamalera, Nusa Tenggara Timur

orang Lamalera
Lamalera, adalah suku yang mendiami daerah Lamalera di pulau Lembata provinsi Nusa Tenggara Timur.

Secara ras, orang Lamalera memiliki postur fisik mirip dengan orang-orang dari Sulawesi Tengah. Beberapa anggapan mereka masih berhubungan sejarah masa lalu dengan suku-suku di Sulawesi Tengah. Sedangkan menurut cerita turun-temurun, bahwa orang-orang Lamalera dahulunya berasal dari daerah yang berada di bawah kekuasaan Kerajaan Luwuk, mereka melakukan perjalanan menyeberangi laut. Melakukan perjalanan laut untuk mencari tempat yang lebih baik.
Dalam perjalanan mereka sampai di pulau Lepanbatan. Tapi setelah sekian lama menetap di pulau Lepanbatan ini, ternyata pulau Lepanbatan tenggelam akibat bencana alam, sehingga mereka pun bergegas meninggalkan pulau Lepanbatan dan melanjutkan perjalanan melalui laut dengan menaiki peledang kebakopuka (perahu tradisional), serta membawa kerangka perahu yang bernama Buipuka, yang sampai sekarang masih digunakan di Lamalera. Akhirnya mereka tiba di sebuah pulau yang bernama pulau Lembata. Mereka mendarat di pantai sebelah selatan pulau Lembata, yaitu wilayah Lamalera sekarang. Di Lamalera ini lah mereka berkembang menjadi 3 suku, yaitu suku Blikololong, suku Lewotuka dan suku Bataona. Ketiga suku ini disebut sebagai suku Lika Telo (Tiga Tungku, sebagai suku pendiri Lamalera). Setelah itu dari ke 3 suku ini berkembang menjadi 19 suku-suku kecil yang tersebar di seluruh wilayah Lamalera dan ke luar wilayah selatan pulau Lembata.

Suku Lamalera berbicara dalam bahasa Lamalera, yang diucapkan di 4 desa pesisir selatan pulau Lembata. Bahasa Lamalera termasuk dalam rumpun bahasa Austronesia.

Suku Lamalera sendiri terdiri dari 19 suku, yaitu:
  • Ebang
  • Wujon (Lango Wujon, Langawujon)
  • Tenaor
  • Tufaona (Tufa Ona)
  • suku Lika Telo: (3 suku pendiri Lamalera)
    • Blikololong (Puhuu)
    • Lewotuka (Levo Tuka)
    • Bataona:
      • Batafor
      • Bediona
      • Sulaona
  • Lamakera
  • Tapooná
  • Lamanifak
  • Atakei
  • Oleoná
  • Lefolei
  • Ebaoná
  • Lelaoná
  • Atafollo

Wilayah Lamalera terletak di pantai selatan pulau Lembata provinsi Nusa Tenggara Timur. Saat ini pulau Lembata sudah menjadi kabupaten sendiri yang sebelumnya gabung dengan Kabupaten Flores Timur. Di hadapannya terbentang laut sawu yang cukup ganas. Sudah sejak dulu masyarakat Lamalera terkenal sebagai masyarakat nelayan, dan pemburu ikan paus secara tradisional. Secara administratif desa Lamalera berada di wilayah kecamatan Wulandoni, di perkampungan tersebut Lamalera terbagi menjadi dua desa yaitu desa Lamalera A dan desa Lamalera B dengan jumlah penduduk kurang lebih 2.000 jiwa.

sedang menombak ikan paus
 perburuan ikan paus, suku Lamalera menggunakan peralatan yang sangat tradisional untuk berburu. Dengan hanya bermodalkan perahu kayu dan bambu runcing berujung besi, mereka siap memburu mamalia laut paling besar ini. Suku Lamalera berburu ikan paus hanya berbekal kapal nelayan khas yg disebut Palendang dan tombak kayu yang ujungnya diberi besi tajam. Kesuksesan dalam perburuan bergantung pada kerja sama tim pemburu. Tradisi ini memang banyak ditentang oleh berbagai pihak. Tapi sebenarnya suku Lamalera dalam berburu ikan paus, tidaklah sembarangan dan serakah dalam berburu, mereka berburu hanya sesuai dengan kebutuhan saja. Mereka sangat menghargai laut, karena laut memberi mereka kehidupan sejak zaman nenek moyang mereka.

 perburuan dimulai, beberapa ritual harus dilakukan oleh penduduk Lamalera. Pada tanggal 28 atau 29 April, biasanya suku Wujon (salah satu sub-suku Lamalera) di Lamalera yang tinggal di dataran tinggi pegunungan akan turun ke pantai dan berdoa memanggil paus.

Ritual tidak sampai di situ, pada tanggal 30 dan 31 April semua penduduk Lamalera akan berdoa untuk keselamatan nelayan yang akan berangkat ke laut. Karena masyarakat Lamalera adalah penganut agama Kristen, doa pun dilakukan sesuai dengan agama Kristen. Seorang pemimpin akan berdiri di depan mimbar yang telah disediakan di pantai.

Suku Lamalera percaya bahwa nenek moyang mereka datang ke pulau Lembata dengan menaiki seekor ikan paus. Secara tradisi mereka sangat menghormati ikan paus. Oleh karena itu mereka tidak pernah serakah untuk berburu ikan paus.

sumber:
sumber lain dan foto:

Suku Kedang, Nusa Tenggara Timur

masyarakat suku Kedang
Suku Kedang, disebut juga suku Edang, adalah salah satu suku yang terdapat di kabupaten Lembata, tepatnya di sebelah timur Lembata di provinsi Nusa Tenggara Timur. Populasi orang Kedang diperkirakan sekitar 15.000 orang.

Suku Kedang adalah merupakan penduduk asli di daerah kabupaten Lembata provinsi Nusa Tenggara Timur. Sebagian besar orang Kedang berdiam di kecamatan Omesuri dan kecamatan Bayusuri. Di daerah pemukiman suku Kedang juga terdapat bahasa lain, yaitu bahasa Lamaholot, bahasa Boru Hewa dan bahasa Melayu Kupang. Bahasa Kedang berbeda dengan bahasa-bahasa yang digunakan suku lain di wilayah ini, sehingga di daerah ini sebagai bahasa pengantar antara suku Kedang dengan suku-suku lain, menggunakan bahasa Melayu Kupang atau memakai bahasa Indonesia.

Masyarakat suku Kedang pada umumnya memeluk agama Kristen. Agama Kristen, terutama Kristen Katolik, diperkenalkan kepada masyarakat suku Kedang dibawa oleh para misionaris dari Eropa, sekitar tahun 1900.

Rumah Adat suku Kedang yang disebut Ebang, merupakan bentuk identitas diri yang tak bisa terpisahkan dari kehidupan masyarakat suku Kedang. Rumah Ebang ini ada hampir di semua kampung pemukiman suku Kedang. Rumah adat Ebang, memiliki bentuk lonjong dan segi empat. Rumah adat Ebang memiliki beberapa fungsi baik sebagai tempat untuk bermusyawarah dalam menyelesaikan berbagai persoalan juga sebagai lumbung pangan, tempat untuk menyimpan hasil panen. Hasil panen disimpan di loteng yang terbagi dalam bilik-bilik kamar berukuran kecil, yang terbuat dari bambu atau papan. Di tempat ini disimpan bahan pangan seperti padi, jagung dan kacang-kacangan.
Selain itu, Ebang juga merupakan simbol perdamaian dan pemersatu keluarga dan masyarakat. Biasanya, dalam urusan adat, pejabat pemerintah turut diundang hadir untuk menyaksikan penyelesaian adat oleh para tetua adat. Di tempat ini semua masalah akan dibicarakan secara terbuka dan dalam suasana kekeluargaan dan persaudaraan.
Rumah adat Ebang terbuat dari bahan lokal seperti kayu berbentuk balok atau bambu dengan atap dari rumput alang-alang. Beberapa tahun belakangan ini, di sejumlah kampung atap Ebang diganti dengan seng. Rumah adat Ebang dilengkapi pula sebuah bale-bale besar, tempat untuk bermusyawarah. Rumah adat Ebang terdiri dari 4 tiang/tonggak utama dilengkapi dengan lawen (papan berbentuk bundar) berfungsi untuk menahan hama tikus atau biinatang pengerat lainnya agar tidak masuk ke dalam lumbung.

Di beberapa kampung, hukum dan sanksi adat masih diberlakukan sehingga membuat warga yang melakukan kejahatan atau pelanggaran hukum adat akan merasa jera. Sanksi adat diberikan dalam bentuk gong atau gading dengan sejumlah hewan jika masalah tersebut berkaitan dengan urusan kawin-mawin seperti si pemuda menghamili anak gadis orang lain, tetapi tidak mau bertanggung jawab. Selain itu sanksi adat juga bisa diberikan dalam bentuk sumbangan batu, pasir atau semen untuk pembanguan desa apabila pelanggaran-pelanggaran tersebut berkaitan dengan masalah pemerintahan dan kemasyaratan pada umumnya.

perempuan Kedang
Kehidupan masyarakat suku Kedang pada umumnya pada bidang pertanian. Pertanian dikerjakan pada lahan kering atau di ladang. Mereka menanam jagung sebagai tanaman utama, palawija, ubi, pisang dan lain-lain. Peralatan yang digunakan pada pertanian, masih menggunakan alat yang sederhana, seperti tofa dan parang. Musim tanam hanya sekali dalam setahun, sehingga di waktu tidak menanam, mereka melakukan kegiatan menangkap ikan.

sumber:
sumber lain dan foto:

Suku Adonara, Nusa Tenggara Timur

suku Adonara
Suku Adonara, adalah mengacu kepada beberapa kelompok suku yang mendiami seluruh wilayah pulau Adonara kabupaten Flores Timur provinsi Nusa Tenggara Timur.

Suku Adonara terdiri dari beberapa suku yang tersebar di seluruh wilayah pulau Adonara, yaitu:
  • Lewobunga
  • Lewonara
  • Lango
  • Lewotana Molo
  • Kame Dore
  • Raran Belen
  • dan lain-lain

Pulau Adonara awalnya bernama Ado Wayo, namun kemudian diganti nama menjadi Adonara oleh seorang pastor SVD yang berasal dari Cina pada tahun 1512, penggantian nama ini dikarenakan di pulau ini sering terjadi perang beradu darah, di antara suku-suku yang mendiami pulau Adonara ini (ado=adu, nara=darah).

Saat ini pulau Adonara terdiri dari 8 kecamataan, yaitu kecamatan Adonara Timur, kecamatan Klubagolit, kecamatan Witihama, kecamatan Adonara, kecamatan Adonara Barat, kecamatan Adonara Tengah, kecamatan Wotan Ulu Mado dan kecamatan Ile Boleng. Populasi penduduk pulau Adonara, adalah sebesar 169 ribu orang.

Pada umumnya, orang Adonara sangat memegang teguh tradisi adat-istiadat. Mereka sangat patuh dan taat kepada tradisi adat, hingga pranata sosial warisan nenek moyang sejak dahulu kala, masih dipertahankan dan berlaku hingga saat ini.

Dua desa di pesisir Adonara Timur dipimpin dan dikuasai oleh 3 Raja, yakni:
  • Raja Terong
  • Raja Adonara berdomisili di Sagu
  • Raja Larantuka

Ketiga raja ini memiliki Kapitan Pulo Pegawe Lema (kepala suku) yang ada di masing-masing desa. Di bawah Kapitan Pulo Pegawe Lema, ada Ana Koda (semacam dukun, berperan melakukan ritual adat), di bawah Ana Koda ada Panglima Perang (eksekutor hasil ritual adat di medan perang).

Dalam kehidupan suku Adonara ini, ada suatu tradisi yang dipatuhi oleh masyarakat Adonara, yaitu tradisi perang tanding, yang merupakan suatu tradisi penyelesaian sengketa ulayat yang dipercaya akan membuktikan kebenaran sejarah. Apabila terjadi korban di medan perang, dipercaya memiliki kesalahan secara adat istiadat.

seorang Adonara di dusun terpencil
Orang Adonara sangat patuh terhadap hukum adat karena memiliki konsekwensi yang tegas jika dilanggar. Jika konsekwensi dari pelanggaran itu tidak dirasakan saat ini, maka akan dirasakan oleh keturunannya dikemudian hari. Melanggar adat, konsekwensinya bisa kena penyakit atau mengalami kematian secara tiba-tiba, mengalami penyakit parah, dikucilkan dari kampung atau bahkan dibunuh.

Struktur pemerintahan tradisional orang Adonara dikenal sebagai Asa atau Kemuha. Struktur ini disebut Kapitan Pulo Pegawe Lema, diwariskan secara turun temurun dimulai dengan Lewo Alap yang bertugas menjalankan pemerintahan kampung, dibantu Kenewang bertugas menjalankan roda perekonomian (penentu musim bertani), Leba Beahe bertugas menjalankan pembangunan kampung, Reket Leu bertugas mempersiapkan senjata untuk berperang, Molang Pati Daeng Beda, Dukun mengobati luka dan sakit, Kdang Knere bertugas menjembatani hubungan manusia dengan alam bawah tanah dan alam nirwana.

Sebelum berperang, orang Adonara harus melewati proses ritual Gahin Koda Eddatau, menganalisis sebab akibat memulai perang. Ritual ini biasanya dipimpin oleh Ata Mua (Ata Mukin Mua Wadan), setelah itu, dilakukan ritual Leda atau Neren yakni membicarakan akibat jika perang dimulai. Bisa dikatakan, perang di Adonara berpatokan pada mimpi yang dilakukan oleh pelaku Kdang Knere. Setelah itu dilakukan ritual bubuk muhuk atau pembagian jahe merah untuk dimakan bala tentara perang, setelah itu baru bala tentara akan turun ke medan perang atau disebut Kuan Lagan. Di medan perang, sebuah bala tentara dipimpin oleh panglima perang yang disebut Pehen Muhuk Saga Wangun, yang dibantu pemimpin pasukan yang disebut Pehen Raran Reket Leu Dopi Lati dan spionase yang disebut Temeek.

Perang tanding biasanya dimulai pukul 06.00 sampai 09.00. Diatas jam 09.00 sampai pukul 15.00 disebut masa Knema Tepo atau batas waktu perang, jika perang tetap dilanjutkan pada jam ini, diyakini akan jatuh lebih banyak korban. Perang akan dilanjutkan pada pukul 15.00 sampai pukul 18.00. Uniknya, tidak ada pembunuhan atau tindakan main hakim sendiri di luar arena perang tanding.

Paul Ardnt seorang Etnografer dan Misionaris dari Rasselwitz/Schlesia (dulu wilayah Jerman, sekarang Polandia), menceritakan tentang kehidupan masyarakat Adonara, tentang keganasan Adonara. Sejak tahun 1900-an, nama Adonara sudah dikenal oleh para misionaris dan bangsa Eropa yang datang ke Adonara. Hanya saja kesan yang timbul bagi para misionaris dari Eropa ini, adalah tentang kesadisan dan kekejaman penduduk di Adonara. Hal tersebut menarik perhatian Etnografer seperti Ardnt dan Vatter. Menurut Ardnt perang di Adonara dilakukan dengan cara yang sangat kejam, mereka saling membunuh dengan memotong bagian tubuh lawan. Masyarakat Adonara diceritakan sangat temperamen, masalah-masalah kecil seperti saling ledek dapat memicu perkelahian yang berujung pembunuhan.
Menurut cerita, ada 2 orang tokoh di Adonara, yang sering memicu perang, yaitu Demon dan Paji. Dari kedua tokoh inilah yang konon berawal terpicunya perang di tanah Adonara. Kisah tentang Demon dan Paji adalah sebuah folklore yang ada di Adonara. Demon dan Paji adalah saudara kandung, tetapi mereka memiliki perbedaan karakter yang acap kali menimbulkan perselisihan, hingga sampai suatu saat mereka bertengkar hebat, yang diteruskan oleh keturunan-keturunan mereka.

Tarian Hedung merupakan salah satu dari sekian banyak tarian yang ada dalam kultur masyarakat Adonara. Tarian Hedung ini merupakan tari perang yang pada masa dahulu dibawakan untuk menyambut pahlawan yang pulang dari medan perang. Tarian in melambangkan nilai-nilai kepahlawanan dan semangat berjuang tanpa kenal menyerah.
Di masa kini, tarian Hedung dibawakan dalam acara penyambutan tamu yang datang ke Adonara. Selain itu juga biasa ditampilkan dalam event-event budaya atau dalam acara-acara tertentu misalnya acara pernikahan, pembukaan turnamen dan lain-lain. Seluruh desa pemukiman suku Adonara mengenal tarian ini.

Masyarakat Adonara saat ini adalah pemeluk agama Kristen, terutama mayoritas adalah pemeluk agama Kristen Katolik. Agama Kristen masuk ke wilayah ini sekitar tahun 1900, yang diperkenalkan oleh para misiionaris.

sumber:

Suku Lewobunga dan Suku Lewonara, Nusa Tenggara Timur

Suku Lewobunga dan suku Lewonara, adalah 2 suku yang terdapat di pulau Adonara kabupaten Flores Timur provinsi Nusa Tenggara Timur.

Suku Lewobunga terutama mendiami desa Lewobunga, sedangkan suku Lewonara menempati desa Lewonara. Kedua desa ini berada di pulau Adonara kabupaten Flores Timur.

Suku Lewobunga, selain menyebut diri mereka sebagai orang Lewobunga, juga menyebut diri mereka sebagai orang Adonara. Begitu juga suku Lewonara, juga menyebut diri mereka sebagai orang Adonara.

Dari cerita rakyat suku Lewobunga, ketika nenek moyang suku Lewobunga memutuskan bermigrasi dari kampung asalnya, Kiwang Ona, kampung yang letaknya persis di tengah badan gunung Ile Boleng, ke wilayah yang disebut-sebut sebagai tanah suku Lewo Nara. Jadi antara suku Lewobunga dan suku Lewonara sejak zaman nenek moyang mereka telah hidup berdampingan.
Antara kedua suku ini sebenarnya sejak dahulu tidak terpisahkan, karena sejak awal mereka telah hidup bertetangga dan berdampingan. Segala aktifitas dilakukan bersama-sama. Kedua suku ini, sejak masa lalu telah terikat hubungan kekeluargaan karena banyak terjadi perkawinancampur di antara mereka. Banyak perempuan asal suku Lewobunga diperistri oleh orang dari suku Lewonara. Demikian juga sebaliknya.

Aktifitas menonjol sehari-hari seperti iris tuak, menyabung ayam, mengerjakan kebun, menjual ternak di pasar, hingga urusan keagamaan maupun pemerintahan, dilakukan secara bersama-sama dalam suasana keakraban. Warga dari kedua suku ini, sejak masa lalu terikat hubungan kekeluargaan karena terjadi perkawinancampur di antara mereka. Banyak perempuan asal suku Lewobunga diperistri oleh orang dari suku Lewonara. Demikian juga sebaliknya.

Dari segi pembangunan, terlihat desa pemukman suku Lewobunga secara fisik lebih menonjol dibanding dengan desa pemukiman suku Lewonara. Demikian pula fasilitas publik seperti sekolah, gereja dan fasilitas kesehatan lebih lengkap yang berada di desa pemukiman suku Lewobunga.
Menurut sejumlah pengamat di Flores Timur, hal ini memicu kecemburuan sosial. Apalagi, sebenarnya wilayah desa suku Lewobunga dahulunya adalah tanah ulayat orang Lewonara. Kondisi ini ternyata sudah berlangsung sejak tahun 1930. Protes yang dilancarkan pihak desa Lewonara, disebut-sebut bertujuan agar suku Lewobunga mengakui kepemilikan ulayat desa suku Lewonara. Pengakuan tersebut ditandai dengan orang Lewobunga harus menyebutkan Lewonara dalam setiap ritual adat, bentuk penghormatan terhadap pemilik ulayat adalah setiap rahang hewan yang dipotong, harus dipersembahkan kepada pihak suku Lewonara.

perseteruan
antara suku Lewobunga dan Lewonara
Akhir-akhir ini, warga kedua suku ini, suku Lewobunga dan suku Lewonara, terjadi perselihan hingga perkelahian yang menyebabkan kematian. Dikarena karena terjadi sengketa masalah tanah, yang diklaim sebagai tanah adat masing-masing.
Perselisihan yang menyebabkan perang antara kedua etnis bertetangga ini, tercatat sejak tahun 1933, 1947, 1958, 1972, 1978, 1996, dan 1912, hingga saat ini kedua suku ini masih bersikeras pada pendirian masing-masing.

Mereka sangat patuh terhadap hukum adat karena memiliki konsekwensi yang tegas jika dilanggar. jika konsekwensi dari pelanggaran itu tidak dirasakan saat ini, maka akan dirasakan turunannya di kemudian hari. Melanggar adat, konsekwensinya kena penyakit atau mengalami kematian tiba-tiba, sakit berat, dikucilkan dari kampung bahkan dibunuh.

Aktifitas sehari-hari masyarakat suku Lewobunga dan suku Lewonara adalah berkebun di kebun milik mereka dengan menanami berbagai jenis tanaman untuk kebutuhan hidup mereka. Mereka juga memelihara ternak yang hasilnya dijual di pasar.

sumber:
sumber lain dan foto:

Suku Abui, Nusa Tenggara Timur

suku Abui
Suku Abui, adalah suatu masyarakat yang terdapat di pulau Alor yang berada di kabupaten Alor provinsi Nusa Tenggara Timur, Indonesia.

Suku Abui, mendiami wilayah Likuwatang, Malaikawata, Kelaisi, Tafuikadeli, Atimelang dan Motang. Suku Abui mereka merupakan penduduk asli wilayah ini. Pemukiman utama suku Abui adalah di desa Takpala.

Dalam cerita rakyat masyarakat suku Abui, menceritakan dahulunya terdapat 2 buah kerajaan yang merupakan kerajaan tertua di kabupaten Alor, yaitu Kerajaan Abui di pedalaman pegunungan Alor dan Kerajaan Munaseli di ujung timur pulau Pantar. Suatu ketika, kedua kerajaan ini terlibat dalam sebuah Perang Magic. Mereka menggunakan kekuatan-kekuatan gaib untuk saling menghancurkan. Kerajaan Munaseli mengirim lebah ke Kerajaan Abui, sebaliknya Kerajaan Abui mengirim angin topan dan api ke Kerajaan Munaseli. Perang ini akhirnya dimenangkan oleh Kerajaan Abui.
Kerajaan berikutnya yang berdiri adalah Kerajaan Pandai yang terletak dekat Kerajaan Munaseli, dan Kerajaan Bunga Bali yang berpusat di Alor Besar. Kerajaan Munaseli dan Kerajaan Pandai yang bertetangga, akhirnya juga terlibat dalam sebuah perang yang menyebabkan Munaseli meminta bantuan kepada raja Kerajaan Majapahit, mengingat sebelumnya mereka pun telah kalah perang melawan Abui.
Menurut penuturan rakyat setempat, tengkorak Raja Abui, saat ini masih tersimpan di dalam sebuah goa di Mataru. 

Suku Abui sendiri yang menghuni desa Takpala adalah suku terbesar yang mendiami pulau Alor. Terkadang mereka biasa disebut juga sebagai "Tak Abui", yang berarti "gunung besar". Meski warga penduduk yang mendiami desa Takpala ini hanya puluhan orang, tapi sebenarnya penduduk Abui telah tersebar dalam jumlah ribuan orang. Masyarakat suku Abui dikenal begitu bersahaja dan sangat ramah terhadap pendatang. 

Orang Abui berbicara dalam bahasa Abui. Bahasa Abui merupakan bahasa utama di pulau Alor. Orang Abui pada umumnya memeluk agama Kristen.

Rumah adat suku Abui, berupa rumah panggung dan berbentuk seperti piramida. Rumah adat suku Abui di Takpala bernama Lopo, yang terdiri 2, yaitu:
  • Kolwat, yang mempunyai arti perempuan,
  • Kanuarwat, yang mempunyai arti laki-laki.
Rumah adat suku Abui yang bernama Lopo ini sangat unik, karena merupakan satu-satunya rumah adat di dunia ini yang bertingkat 4. Dimana setiap tingkat memiliki fungsi yang berbeda, yaitu:
  • lantai 1, adalah tempat rapat,
  • lantai 2, tempat tidur dan masak,
  • lantai 3 tempat menyimpan makanan,
  • lantai 4 untuk menyimpan barang-barang pusaka yang akan dipakai jika ada kegiataan adat.

Lopo, atau Rumah Adat suku Abui, berbentuk limas, bangunan kayu beratap ilalang berdinding bambu. Lopo terdiri dari 4 tingkat, biasanya dihuni oleh 13 kepala keluarga. Ada dua jenis rumah Lopo, yakni Kolwat dan Kanuarwat. Rumah Kolwat terbuka untuk umum, siapapun boleh masuk termasuk anak-anak dan perempuan. Sedangkan Rumah Kanuarwat hanya boleh dimasuki kalangan tertentu. Anak-anak dan perempuan dilarang keras memasuki rumah Kanuruat, jika dilanggar akan menimbulkan penyakit di mana proses penyembuhannya harus dilakukan dengan upacara adat.

Selain Rumah Lopo, ada 2 lagi bangunan tradisional suku Abui, yaitu:
  • Polapoka, rumah yang dijadikan sebagai gudang penyimpanan bahan makanan,
  • Tofa, yang digunakan untuk beristirahat setelah pulang dari kebun atau berburu, yang berbentuk rumah panggung, namun di bagian bawahnya ada tempat tambahan. Di rumah Tofa in laki-laki dan perempuan tidur secara terpisah. Perempuan di bagian atas dan laki-laki di bagian bawah.

tari Legolego
Dalam tradisi kesenian budaya suku Abui yang terkenal, adalah Tari Legolego, yang merupakan tarian tradisional suku Abui yang mendiami desa Takpala, terletak di kabupaten Alor provinsi Nusa Tenggara Timur. Tari Legolego ini merupakan lambang kekuatan persatuan dan persaudaraan warga suku Abui, yang dilakukan secara beramai-ramai dengan bergandengantangan dan bergerak secara melingkar.
Para penari memakai busana adat, rambut perempuan dibiarkan terurai. Di kaki dipasang gelang perak yang akan mengeluarkan bunyi gemerincing jika digerakkan. Tetabuhan gong dan gendang dari kuningan atau moko mengiringi gerak para penari yang bergerak sambil mengumandangkan lagu dan pantun dalam bahasa setempat. Tari Legolego dilakukan dengan mengelilingi tiga batu bersusun yang disebut mesbah, benda yang disakralkan dalam tradisi suku Abui. Acara tari Legolego ini bisa berlangsung sampai tengah malam.

kain tenun suku Abui
Suku Abui memiliki pakaian tradisional yang terbuat dari kain tenun. Pakaian laki-laki disebut Keng, sedangkan pakaian perempuan Noang. Pakaian mereka ini dipakai dengan melilit tubuh. Uniknya kain tenun khas suku Abui, sekilas mirip dengan kain tenun "ulos" dari suku Batak.

Makanan asli suku Abui umumnya adalah ubi dan jagung. Terkadang mereka mengkonsumsi nasi, akan tetapi dipadukan dengan ubi dan jagung, atau disebut sebagai katemak. Jagung rebus menjadi makanan sehari-hari suku Abui. Jagung rebus disebut dengan fatmamal. Jagung rebus dimasak setengah matang, dengan maksud agar yang memakan jagung rebus lebih cepat kenyang dan bisa menahan lapar lebih lama. Menurut mereka jagung rebus setengah matang, bisa memberi energi atau kekuatan bagi yang memakannya..

Dalam kegiatan sehari-hari suku Abui di desa Takpala ini adalah memanfaatkan hasil alam terutama hutan dengan berladang atau berburu. Pada siang hari desa ini terlihat sepi, karena sebagian dari mereka pergi mencari sumber makanan ke hutan sekaligus berburu. Hasilnya selain dikonsumsi sehari-hari juga dijual di pasar.

Suku Dompu, Nusa Tenggara Barat

masyarakat Dompu
Suku Dompu, adalah salah satu suku yang terdapat di pulau Sumbawa kabupaten Dompu provinsi Nusa Tenggara Barat. Populasi suku Dompu diperkirakan lebih dari 80.000 orang.

Suku Dompu di pulau Sumbawa, tersebar di 4 kecamatan, yakni kecamatan Huu, kecamatan Dompu, kecamatan Kempo dan kecamatan Kilo. 
Selain suku Dompu yang mendiami pulau Sumbawa, terdapat beberapa suku lain yang juga hidup dan tinggal di pulau Sumbawa ini, yaitu suku orang Bima, Donggo dan Sasak yang juga merupakan suku asli Nusa Tenggara Barat. Selain itu ada juga beberapa suku pendatang, yaitu suku Melayu, Bugis, China, Arab, Bali dan Timor. 

Orang Dompu berbicara dalam bahasa Dompu, yang kadang disebut juga sebagai bahasa Nggahi Mbojo.

Menurut cerita asal-usul Dompu, dahulu kala di daerah ini merupakan salah satu daerah bekas kerajaan, yaitu Kerajaan Dompu. Kerajaan Dompu diperkirakan merupakan salah satu kerajaan tua. Arkeolog dari Pusat Balai Penelitian Arkeologi dan Purbakala, Sukandar dan Kusuma Ayu, dari hasil penelitiannya menyimpulkan Kerajaan Dompu, adalah merupakan salah satu kerajaan tua di wilayah timur Indonesia.

Berdasarkan catatan sejarah di Dompu, sebelum adanya kerajaan di daerah Dompu ini, telah ada beberapa kepala suku yang disebut sebagai “Ncuhi” (Raja kecil).
Pada masa itu ada 4 orang Ncuhi yang berkuasa, yaitu:
  • Ncuhi Hu`u yang berkuasa di daerah Hu`u (sekarang kecamatan Hu`u) 
  • Ncuhi Soneo yang berkuasa di daerah Soneo dan sekitarnya (sekarang kecamatan Woja dan Dompu). 
  • Ncuhi Nowa berkuasa di Nowa dan sekitarnya. 
  • Ncuhi Tonda berkuasa di Tonda (sekarang wilayah desa Riwo kecamatan Woja Dompu). 
Dari keempat Ncuhi tersebut yang paling terkenal adalah Ncuhi Hu`u.

Masyarakat suku Dompu sebagian besar memeluk agama Islam. Sedangkan sebagian kecil ada juga yang memeluk agama Kristen Protestan, Kristen Katolik, Hindu dan Budha.
Para ulama bagi masyarakat suku Dompu, merupakan golongan masyarakat yang dianggap terhormat dan terpandang, selain itu ada golongan masyarakat yang terdidik dan memiliki ekonomi yang baik juga dianggap sebagai orang terhormat.

Uma Jompa
(lumbung padi)
Uma Panggu-Uma Ada
Suku Dompu memiliki bangunan rumah tradisional, yaitu Uma Jompa dan Uma Panggu. Uma Jompa berfungsi sebagai lumbung padi. Sebenarnya Uma Jompa ini tidak hanya suku Dompu yang memilikinya, masyarakat Bima juga memiliki Uma Jompa yang bahkan lebih banyak dari yang ada di wilayah Dompu.
Sedangkan Uma Panggu, rumah yang terbuat dari kayu atau papan, yang berbentuk panggung. Uma panggu dapat dibedakan atas jenis konstruksinya, yaitu Uma Ceko yang merupakan rumah asli Dompu dan Uma Pa’a Sakolo yang dibawa masyarakat migran Bugis yang dibangun di daerah pesisir

Salah satu kerajinan budaya, yang terkenal dari Dompu, adalah kain tenun Muna, yaitu kain songket Dompu. Biasanya kain songket Dompu ini dikerjakan oleh pihak perempuan. Kain tenun Dompu ini sudah terkenal karena keindahan dan kehalusan kainnya.

Suku Dompu pada umumnya hidup pada bidang pertanian. Tanaman padi yang ditanam di sawah menjadi tanaman penting dan utama bagi mereka. Mereka juga menanam berbagai tanaman lain, seperti sayuran, buah-buahan serta beberapa tanaman keras di kebun milik mereka. Sektor perikan juga menjadi kegiatan mereka. Profesi lain adalah sebagai pedagang dan menjadi pegawai negeri.

sumber:
sumber lain dan foto:

Suku Gonggang, Riau

Bagan Benio, kampung suku Gonggang
Suku Gonggang, adalah suku yang berdiam di kabupaten Bengkalis provinsi Riau, Indonesia.

Suku Gonggang bermukim di 3 dusun, yaitu dusun Bagan Benio, Pulai Bungkuk dan Bagan Belado. Dusun Bagan Benio merupakan pemukiman utama suku Gonggang. Di tempat ini selain suku Gonggang, juga terdapat satu suku lagi yang hidup berdampingan dengan suku Gonggang, yaitu suku Pandan. Populasi penduduk di 3 dusun ini adalah sebesar 260 orang.

Suku Tarahumara, Indian

suku Tarahumara
Suku Tarahumara, adalah salah satu penduduk asli yang berada di Mexico. Populasi suku Tarahumara pada perhitungan penduduk tahun 2006 adalah sebesar 70.000 orang

Suku Tarahumara menyebut diri mereka sebagai Raramuri, sebagai identitas asli mereka sebelum kehadiran Spanyol dan Portugis. Jadi selain menyebut diri mereka sebagai Raramuri, mereka juga menyebut diri mereka sebagai Tarahumara yang merupakan nama identitas mereka di tempat mereka sekarang. Mereka tinggal di atas ngarai Meksiko Utara. Masyarakat suku Tarahumara memiliki karakter yang pendiam dan tinggal berjauhan satu sama lain. Hampir semua orang Rarámuri bermigrasi dalam beberapa kelompok.

suku Tarahumara
Orang Tarahumara atau Raramuri, sebagian besar masih hidup dengan gaya hidup tradisional, menghuni pemukiman alami seperti gua atau tebing, dan pondok kecil yang terbuat dari kayu atau batu. Makanan utama mereka adalah jagung dan kacang. Kegiatan utama mereka adalah pada bidang peternakan, seperti domba dan kambing.

Orang Tarahumara adalah penduduk asli Meksiko utara, yang terkenal dengan kemampuan menempuh perjalanan jarak jauh. Dalam bahasa mereka, istilah Rarámuri, secara khusus ditujukan untuk sebutan laki-laki, sedangkan perempuan disebut sebagai Muki (individu) atau Igomele (kolektif ).

Awal kedatangan Spanyol pada abad 16, suku Tarahumara yang mendiami negara bagian Chihuahua, Rarámuri terdesak ke Copper Canyon di Sierra Madre Occidental. Daerah Sierra Madre Occidental sebagai tempat mereka tinggal sekarang yang disebut Tarahumara Sierra.

Orang Tarahumara memiliki kemampuan untuk menempuh jarak bermil-mil jauhnya dengan cepat. Istilah Raramuri sendiri sebenarnya memiliki arti "pelari berjalan kaki" atau "orang yang berlari cepat", dalam bahasa Raramuri, menurut beberapa ahli etnografi, meskipun penafsiran ini belum sepenuhnya disepakati.

sedang berlari jauh
Orang Tarahumara sebelum berlari dan melakukan perjalanan jauh, mereka meminum bir jagung dengan jumlah yang besar. Bir jagung adalah bir yang mengandung karbohidrat tinggi dan rendah alkohol. Para Tarahumara juga menggunakan metode kaki strike, yaitu berlari tanpa menggunakan alas kaki. Tradisi lari jarak jauh juga memiliki aspek seremonial dan kompetitif. Seringkali, pelari laki-laki menendang bola kayu saat mereka berjalan di kompetisi, dan perempuan menggunakan tongkat. Berlari yang mereka lakukan, bisa berlangsung berhari-hari tanpa istirahat. Beberapa hipotesa mengatakan bahwa Tarahumara purba, dahulunya adalah "pelari yang handal". Mereka berlari sangat cepat untuk menghindari dari ancaman binatang buas ataupun dari musuh. Orang Tarahumara perlu melakukan perjalanan jarak jauh tersebut untuk membagikan pesan dari desa ke desa. Hal ini merupakan tradisi mereka di Tembaga Canyon Meksiko.

Satu hal yang menjadi objek penelitian, adalah bagaimana orang Tarahumara mampu melakukan perjalanan jauh bermil-mil dengan berlari. Hal ini dapat dilihat dari video di bawah ini.



sumber:

Suku Amondawa, Indian

suku Amondawa
Suku Amondawa, adalah salah satu penduduk asli di pedalaman hutan Brazil.

Suku Amondawa berdiam di tanah adat Uru-Eu-Wau-Wau, yang terdiri dari berbagai kelompok etnis, yaitu Amondawa, Jupaú dan Uru Pa, yang tersebar di 6 desa di perbatasan Tanah Adat, untuk alasan perlindungan dan keamanan. Selain kelompok-kelompok, ada juga kelompok Indian yang terisolasi seperti Parakua dan Jurureís, serta ada 2 kelompok etnis lagi yang tidak diketahui namanya, yaitu satu di Barat Daya (pada pertengahan sungai Cautário) dan satu lagi di pusat Tanah Adat (pada Streaming Branca Água).

Menurut penelitian, bahwa suku Amondawa ini tidak mengenal istilah waktu, mereka tak pernah mengenal konsep waktu. Suku Amondawa adalah suku yang memiliki 'kebebasan' terhadap waktu. Mereka tak pernah mendiskusikan pekan depan, bulan depan, atau bahkan tahun depan. Sebab, bahasa mereka sama sekali tak punya kosa kata 'pekan', 'bulan', atau 'tahun'. Bahkan tak satupun anggota suku itu yang memiliki umur. Dalam kehidupan sehari-hari, suku Amondawa cuma mengenal pembagian antara siang dan malam, atau musim hujan dan musim kering.

suku Amondawa
Salah satu yang unik dari suku ini adalah, anggota suku akan berganti nama bila ada anggota keluarga baru yang lahir. Nama mereka akan berubah, karena menurut mereka nama terdahulu harus diberikan kepada anggota keluarga yang lebih muda.

Suku Amondawa awalnya adalah suku yang terasing dan terisolir, dan mulai mengenal dunia luar sejak 1986. Suku Amondawa bertahan hidup dengan cara tradisional, seperti memancing, berburu dan menanam beberapa jenis tanaman untuku kebutuhan hidup mereka. Kini, mereka telah mengalami beberapa kemajuan modern, seperti listrik dan televisi, mereka telah mengerti bahasa Portugis, tapi hal ini justru membuat bahasa mereka sendiri berada di bawah ancaman kepunahan.

sumber:
sumber lain dan foto:

Suku Bauzi, Papua

suku Bauzi
Suku Bauzi, adalah salah satu suku dari sekian banyak suku di Papua, Indonesia. Populasi suku Bauzi menurut sensus tahun 1991 adalah sebesar 1.500 orang.

Suku Bauzi memiliki beberapa sebutan, yaitu Bazi, Baudi, Bauji dan Bauri. Suku Bauzi ini merupakan suku terasing di pedalaman tanah Papua. Mereka masih hidup sebagai masyarakat peramu yang bisa dikatakan tergolong suku paling terasing.

Lembaga Misi dan bahasa Amerika Serikat bernama Summer Institute of Linguistics (SIL), memasukkan suku ini dalam daftar 14 suku paling terasing. Badan Pusat Statistik (BPS) Papua pun tak ketinggalan memasukkan suku Bauzi ke dalam daftar 20 suku terasing yang telah teridentifikasi di Papua. Lokasi pemukiman yang berada di hutan belantara, pegunungan, lembah, rawa hingga sungai-sungai besar yang berkelok-kelok di sekitar kawasan Mamberamo, membuat suku ini nyaris tak bersentuhan dengan peradaban luar. Suku Bauzi masih hidup dengan cara-cara tradisional, yang tidak berubah sejak awal kedatangan mereka di pulau Papua ini.

Suku Bauzi diduga berasal dari daerah Waropen utara. Tapi mereka menyebar ke selatan danau Bira, Noiadi dan Neao tenggara, dua daerah yang terletak di perbukitan Van Rees Mamberamo. Suku Bauzi diperkirakan menyebar dengan menggunakan sampan menyusuri sungai atau berjalan kaki. Penyebaran mereka ke bagian utara dan tengah wilayah Mamberamo.

Laki-laki suku Bauzi masih mengenakan cawat (sejenis penutup sekitar alat kelamin, yang berupa selembar daun atau kulit pohon yang telah dikeringkan lalu diikat dengan tali pada ujung alat kelamin). Mereka juga memasang hiasan berupa tulang pada lubang hidung. Sedangkan perempuan mengenakan selembar daun atau kulit kayu yang diikat dengan tali di pinggang untuk menutupi auratnya. Tapi tidak memakai penutup dada.

Pada acara tradisi adat, laki-laki dewasa akan memakai hiasan di kepala dari bulu burung kasuari dan mengoles tubuh dengan air sagu.

Pada awalnya suku Bauzi ini tidak mengenal cara bercocoktanam, tapi dengan kehadiran para misionaris Kristen, suku ini akhirnya bisa mengenal cara-cara berkebun. Pada perkampungan pemukiman, mereka membangun rumah-rumah gubuk berdinding kulit kayu dan beratap daun rumbia (daun sagu) atau kulit pohon. Tempat hunian itu dibuat dengan bentuk rumah panggung. Suku Bauzi sama sekali tidak bisa berbicara dalam bahasa Melayu atau Indonesia. Mereka hanya berbicara dalam bahasa Bauzi. Masyarakat Bauzi pada awalnya menganut agama tradisional suku yang mengandung unsur animisme. Namun saat ini sekitar 65% telah memeluk agama Kristen yang diperkenalkan para Misionaris dari Eropa, Amerika dan dari Papua sendiri kepada masyarakat suku Bauzi. Sedangkan sisanya masih mempertahankan agama suku mereka.
Dalam kehidupan mereka tidak memiliki seorang pemimpin, sehingga ketika terjadi konflik di antara mereka, sulit untuk diselesaikan.

Para ahli bahasa (linguist) yang juga misionaris dari SIL dengan dibantu penterjemah lokal telah berusaha mempelajari bahasa dan dialek suku Bauzi selama bertahun-tahun. Upaya ini berhasil dengan penerbitan berbagai literaturetentang suku ini, termasuk penerjemahan Alkitab versi Perjanjian Baru ke dalam bahasa Bauzi oleh Dave dan Joice Briley. Dari catatan SIL, bahasa Bauzi memiliki sekitar 1350 kosakata yang terbagi dalam 3 dialek utama, yakni dialek Gesda Dae, Neao dan Aumenefa.

Sejak pertama sekali diemukan, pada tahun 1975, suku ini terus dididik oleh para misionaris asing dan lokal yang bekerja mewartakan Injil. Hasil dari pekerjaan ini melahirkan pembangunan gereja yang digunakan sebagai tempat ibadah, sekaligus menjadi tempat pelayanan sosial bagi suku Bauzi. Pekerjaan penginjilan dan pelayanan kepada suku ini juga dilakukan Yayasan Penginjilan dan Pelayanan Masirei (YPPM) sekitar awal 1990-an. Tugas itu kemudian dilanjutkan lagi oleh Yayasan Bethani selama beberapa tahun. Sejak tahun 1995, Yayasan Amal Kasih juga bekerja secara khusus menangani suku Bauzi di kampung Fona hingga sekarang.

Kampung Fona kini menjadi salah satu pemukiman suku Bauzi yang berasal dari beberapa tempat. Kampung ini terbentuk dari hasil perintisan para misionaris. Disebut Fona karena suku Bauzi penghuninya berasal dari empat kampung terpencil yakni, Fokri, Oisia, Neao dan Aupidate. Tapi awalnya suku Bauzi lebih banyak bermukim di Kampung Neao. Kampung-kampung itu kini masuk dalam wilayah Distrik Kay, Kabupaten Mamberamo Raya. Misioraris-misionaris perintis seperti Dave dan JoiceBriley (asal AS) maupun Iris Bowman dan Janny Holster (asal Belanda) melakukan survei pertama di sekitar wilayah ini pada tahun 1984 dan 1985.

Sebagian besar suku ini hidup dengan meramu, berburu dan semi nomaden (berpindah-pindah). Karena itu, mereka membuat sejumlah peralatan seperti, panah, tombak, parang dan pisau untuk keperluan berburu.

Kegiatan utama mereka adalah berburu binatang hutan seperti babi hutan, burung kasuari, kuskus dan berbagai jenis burung. Hasil buruan dimasak dengan cara dibakar atau bakar batu. Selain itu suku Bauzi juga mengumpulkan sagu sebagai makanan pokok dan menanam umbi-umbian. Sedangkan sayuran bukanlah makanan bagi mereka, karena mereka tidak pernah mengkonsumsi sayur-sayuran. Walaupun mereka tinggal terpencil dan terasing, tapi mereka memiliki pengetahuan mengenai cara pengobatan alami dengan memanfaatkan tumbuh-tumbuhan hutan (etno-medicine). Sejak awal mereka hidup secara nomaden, menyesuaikan diri dengan kebutuhan makanan dan kenyamanan pada suatu wilayah. Mereka membangun bifak di pinggir sungai dan hutan untuk memudahkan proses perburuan, meramu atau berkebun.

sumber:
sumber lain dan foto:
  • little-dead-monster.co.cc