Suku Ledo, Sulawesi

suku Ledo
Suku Ledo, disebut juga sebagai suku Kaili Ledo, adalah salah satu suku dari ratusan sub-suku Kaili yang terdapat di provinsi Sulawesi Tengah. Populasi suku Ledo ini diperkirakan sebesar 130.000 orang.

Pemukiman suku Ledo berada di sekitar lembah Palu. Suku Ledo kadang menyebut diri mereka juga sebagai suku Kaili. Suku Ledo berbicara dalam bahasa Kaili dialek Ledo. Bahasa Ledo sendiri merupakan bahasa terbesar pemakainya dalam masyarakat suku Kaili dibanding bahasa-bahasa lain sub-dialek bahasa Kaili.

Suku Ledo mayoritas adalah pemeluk agama Islam. Sebelum suku Ledo memeluk agama Islam, mereka adalah penganut animisme, pemujaan kepada roh nenek moyang dan Tomanuru (dewa pencipta) (Tomanuru), Buke/ Buriro (dewa kesuburan) dan Tampilangi (dewa Penyembuhan). Agama Islam masuk ke dalam masyarakat suku Ledo ini, menurut cerita ketika datang seorang Datu Karama, seorang Ulama Islam dari tanah Melayu yang datang dari Sumatra.

musik bambu suku Ledo
Masyarakat suku Ledo memiliki kebiasaan bekerjasama dalam setiap kegiatan-kegiatan pesta adat, kematian, perkawinan dan kegiatan bertani yang disebut "Sintuvu" yang berarti gotong royong.

Suku Ledo pada umumnya hidup pada bidang pertanian. Mereka menanam padi di sawah atau di ladang. Selain itu mereka juga menanam kelapa. Masyarakat suku Ledo yang berdiam di dataran tinggi mengumpulkan hasil hutan seperti rotan,damar dan kemiri. Di halaman belakang rumah mereka biasanya mereka memelihara beberapa hewan ternak. Sedangkan masyarakat suku Ledo yang berdiam di daerah pesisir pantai, juga bertani dan berkebun. Di luar kegiatan berladang dan berkebun mereka juga melakukan kegiatan menangkap ikan sebagai nelayan dan berdagang ke pulau-pulau lain.

diolah dari segala sumber

sumber foto:
  • skyscrapercity.com
  • little-dead-monster.co.cc

Suku Lindu, Sulawesi

danau Lindu
Suku Lindu (To Lindu), merupakan salah satu suku asli yang mendiami sekitar kawasan Taman Nasional Lore Lindu di provinsi Sulawesi Tengah. Suku Lindu menghuni desa Tomado, Anca dan Langko..Populasi suku Lindu diperkirakan lebih dari 2.500 orang atau 66% dari jumlah total penduduk di wilayah ini.

Suku Lindu dikelompokkan ke dalam kelompok Palu-Toraja, oleh Walter Kaudern dalam bukunya Migration of the Toraja in Central Celebes (1925).

Suku Lindu berbicara dalam bahasa Tado. Mereka adalah penganut agama Kristen. Agama Kristen masuk ke dalam kalangan masyarakat suku Lindu sejak Bala Keselamatan (Salvation Army) masuk ke wilayah ini pada tahun 1913.

gadis remaja suku Lindu
Pada awalnya suku Lindu tinggal di hutan pegunungan sekitar danau Lindu, mendiami daerah Sindi Malei, Tiwolu, Pongku dan Wongko Bola, yang memanjang ke arah Tuwa ketika air danau masih tinggi.

Pada tahun 1897, Nicholas Adriani dan Albert Kruyt (dua orang penginjil tersohor di Poso) berkunjung ke Lindu dan menemukan suku Lindu sudah berdiam di kampung Langko, Tomado, Anca, Paku, Bamba, Palili, Sandipo, Luo, Olu dan Wangkodono. Pada masa pemerintahan Belanda dibangun desa secara permanen dengan menggabungkan penduduk-penduduk di pedalaman pada beberapa desa permanen.

sumber:
sumber lain dan foto:
  • telukpalu.com
  • sosbud.kompasiana.com

Suku Ratahan

suku Ratahan
Suku Ratahan (Toulumalak atau Bentenan), adalah salah satu sub-suku Minahasa yang mendiami kecamatan Ratahan di provinsi Sulawesi Utara. Suku Ratahan, terutama berada di kabupaten Minahasa Tenggara, dan tersebar di sekitar kota Ratahan, di kampung-kampung Ratahan, Wioi, Wiau, Wongkai, Rasi, Molompar, Wawali, Minanga dan Bentenan. Populasi suku Ratahan diperkirakan sebesar 15.000 orang pada sensus tahun 1989.

Suku Ratahan, hidup berdampingan dengan suku Pasan di suatu wilayah, sehingga di antara kedua suku ini susah dibedakan, selain itu kedua suku ini menggunakan bahasa dan adat-istiadat yang sama. Suku Ratahan dahulu bernama suku Toulumalak. Suku ini berasal dari Pakasa'an Touwuntu, yang terdiri dari 2 walak, yaitu Toulumalak (sekarang menjadi suku Ratahan) dan suku Tousuraya (sekarang menjadi suku Pahan).

Suku Ratahan bergabung dengan perserikatan Minahasa sekitar tahun 1690. Menurut sejarah bahwa nenek moyang pada awalnya berasal dari Minahasa, tapi mereka berperang dan pindah ke daerah Sulawesi Tengah, tapi kemudian mereka kembali ke daerah Minahasa, dan memiliki keterkaitan darah pada masa lalu, sehingga mereka menggabungkan diri dalam adat-istiadat Minahasa.

patung Maringka
pendiri Ratahan 
Menurut sejarah Minahasa, disebutkan kaum Taranak yang dipimpin oleh Tonaas Wuntu, menuju ke Bentenan. Mereka mendirikan pemukiman di Ratan. Mereka ini lah yang disebut suku Ratahan. Sedangkan yang menuju ke Towuntu (Liwutung), disebut suku Tou Pasan. Sekelompok orang Tou Pasan mengadakan tumani dan bermukim di Tawawu (Tababo), Belang dan Watuliney, membaur dengan penduduk dari Taranak Ponosakan, yaitu keluarga Butiti, Wumbunan dan Tubelan yang datang dari Wulur Mahatus (Pontak), dan mereka disebut sebagai suku Tou Ponosakan.

Orang Ratahan pada masa dahulu menganut sistem kepercayaan tradisional yang bersifat monotheisme dan mengandung unsur animisme. Pada saat bangsa Eropa tiba di Minahasa, agama Kristen diterima dengan tangan terbuka. Pada mulanya agama Kristen Katolik disebarkan oleh misionaris bangsa Spanyol dan Portugis abad ke-16 dan 17 dan dilanjutkan abad ke-19, Belanda masuk di Minahasa, agama Kristen Protestan berkembang dengan pesat, banyak penganut Katolik beralih ke Protestan. Penyebaran Protestan dilakukan oleh zendeling (pekabar injil Belanda) berkebangsaan Jerman dan Belanda. Kedudukan kolonial Belanda yang bertahan selama tiga abad di Minahasa menyebabkan orang Ratahan banyak memeluk aliran Protestan.

Masyarakat suku Ratahan, hidup pada bidang pertanian. Mereka menanam padi, sayur dan buah-buahan. Beberapa tanaman keras seperti cengkeh, kopra dan salak menjadi tanaman utama mereka. Para perempuan banyak yang berprofesi sebagai penenun kain khas Bentenan. Selain itu bidang profesi lain juga mereka tekuni seperti menjadi pedagang, guru, pegawai dan lain-lain.

sumber:
sumber lain dan foto:
  • pinaesaan.blog.com
  • onaytololiu.blogspot.com

Suku Pasan

musik bambu
suku Pasan
Suku Pasan (Tousuraya), adalah salah satu sub-suku Minahasa yang mendiami kecamatan Pasan di provinsi Sulawesi Utara. Suku Pasan tersebar di kecamatan Pasan, di kampung kampung Towuntu, Tolambukan, Watulinei dan Liwutung. Populasi suku Pasan diperkirakan sekitar 15.000 orang pada sensus tahun 1989.

Suku Pasan, hidup berdampingan dengan suku Ratahan di suatu wilayah, sehingga di antara kedua suku ini agak susah dibedakan, lagipula kedua suku ini menggunakan bahasa dan adat-istiadat yang sama. Suku Pasan dahulu bernama suku Tousuraya. Suku ini berasal dari Pakasa'an Touwuntu, yang terdiri dari 2 walak, yaitu Tousuraya (sekarang menjadi suku Pahan) dan Toulumalak (sekarang menjadi suku Ratahan).

Menurut cerita sejarah Minahasa, pada masa lalu Raja Babontehu, menaklukkan daerah Teluk Tomini. Lalu sang Raja itu mengawini seorang Putri Raja dari teluk Tomini dan menetap di tempat itu. Setelah sekian lama keturunan mereka semakin banyak. Pada suatu saat sang Raja tersebut dikalahkan oleh Raja Loloda Bolaang Mongondow. Lalu sang Raja membawa membawa keturunan-keturunannya beserta pengikutnya ke daerah Minahasa (diperkirakan di Manado). Seluruh keturunan dan pengikutnya yang berasal dari Teluk Tomini banyak yang melakukan kawin-campur orang Minahasa. Setelah beberapa lama, mereka melanjutkan perjalanan menuju daerah yang lebih aman di sebelah Timur (Tenggara) Minahasa dan keturunan-keturunannya inilah yang disebut sebagai Suku Pasan.

Menurut versi lain sejarah Minahasa, disebutkan kaum Taranak yang dipimpin oleh Tonaas Wuntu, menuju ke Bentenan. Mereka mendirikan pemukiman di Ratan. Mereka ini lah yang disebut suku Ratahan. Sedangkan yang menuju ke Towuntu (Liwutung), disebut suku Tou Pasan. Sekelompok orang Tou Pasan mengadakan tumani dan bermukim di Tawawu (Tababo), Belang dan Watuliney, membaur dengan penduduk dari Taranak Ponosakan, yaitu keluarga Butiti, Wumbunan dan Tubelan yang datang dari Wulur Mahatus (Pontak), dan mereka disebut sebagai suku Tou Ponosakan.

Seperti suku Ratahan, masyarakat suku Pasan juga kebanyakan hidup pada bidang pertanian. Pada tanaman padi, jagung, cengkeh, kopra dan lain-lain. Berbagai bidang profesi juga mereka jalani, seperti pedagang, pegawai, guru dan sebagainya.

sumber:
sumber lain dan foto:
  • 4shared.com

Suku Bantik

tari Mahambak
suku Bantik
Suku Bantik (Tou Bantik), adalah sub-suku Minahasa di Sulawesi Utara. Suku Bantik tersebar di sebelah barat daya kota Manado, yaitu di Malalayang, Kalasei dan sebelah utara Manado, yaitu di Buha, Bengkol, Talawaan Bantik, Bailang, Molas, Meras serta Tanamon di kecamatan Sinonsayang Minahasa Selatan dan juga terdapat di Ratahan dan wilayah Mongondouw.

Suku Bantik, termasuk keturunan Toar dan Lumimuut, tapi mereka tidak memiliki Pakasa’an, karena menurut legenda, mereka terlambat datang dalam musyawarah di Watu Pinawetengan.

Suku Bantik memiliki adat-istiadat, kebiasaan dan ciri-ciri muka dari kelompok sub-suku Minahasa. Mereka berbicara dalam bahasa Bantik, yang agak berbeda dengan bahasa Minahasa pada umumnya. Bahasa Bantik sendiri lebih mirip dengan bahasa-bahasa dari Sulawesi Tengah.

Salah satu budaya tari suku Bantik yang terkenal adalah Tari Mahamba, adalah suatu tarian yang indah yang diperagakan apabila ada acara-acara tertentu pada masyarakat suku Bantik. Selain itu mereka juga memiliki Tari Perang dan lain-lain.

Masyarakat suku Bantik mayoritas adalah pemeluk agama Kristen, seperti suku-suku Minahasa lainnya yang pada umumnya memeluk agama Kristen. Agama Kristen diperkenalkan ke dalam kalangan orang Bantik oleh para misionaris Belanda, sejak awal kedatangan orang Belanda di wilayah ini.

Menurut cerita bahwa suku Bantik ini pada awalnya berasal dari wilayah Sulawesi Tengah, yang bermigrasi pertamakali di wilayah Bolaang Mongondow. Kemudian mereka ikut dengan pasukan Bolaang Mongondow untuk memerangi suku-suku Minahasa. Tapi ketika pasukan Bolaang Mongondow dikalahkan oleh pasukan Minahasa di Maadon, Lilang (Kema), mereka tetap tinggal di sekitar teluk Manado, dan tidak mau kembali ke wilayah Bolaang Mongondow.
Karena mereka bekas pasukan Bolaang Mongondow, mereka diharuskan membayar upeti kepada Raja Boloaang Mongondow. Tapi hal itu membuat mereka diejek oleh orang-orang Minahasa, sebagai budak-budak Bolmong.

tari perang
Menurut legenda Tou Bantik, bahwa dulunya mereka berasal dari Sulawesi Utara, tapi mereka bermigrasi ke sebuah pulau yang bernama pulau Panimbulrang. Di sana mereka hidup pada beberapa kampung, hidup tentram dan memiliki penduduk yang besar. Di pulau Panimbulrang inilah mereka disebut “Orang Bantik”. Di sana mereka hidup lama disertai dengan perkembangan-perkembangan kebudayaannya. Letak pulau Panimblurang tersebut saat ini tidak diketahui dengan pasti. Menurut cerita orang tua-tua, lokasi pulau “Panimbulrang” berada di sebelah utara, antara kepulauan Talaud dan Philipina. Tapi karena terjadi suatu bencana alam, pulau Panimbulrang diterjang air bah, sehingga seluruh perkampungan mereka tenggelam dan mereka pun menyeberang kembali ke Sulawesi Utara.

Saat ini suku Bantik, telah menjadi salah satu dari kelompok Minahasa. Walaupun dari segi bahasa dan adat-istiadat berbeda dengan bahasa dan adat-istiadat Minahasa, tapi mereka berasal dari satu keturunan, yaitu dari keturunan Toar dan Lumimuut, sehingga mereka bergabung dalam satu kesatuan Minahasa.

sumber:
  • deutromalayan.blogspot.com
  • bode-talumewo.blogspot.com
  • wikipedia
sumber lain dan foto:
  • senibudayakita.com
  • tribunnews.com

Suku Tombulu

suku Tombulu
Suku Tombulu, adalah termasuk suku tua di tanah Malesung (Proto Minahasa/ Minahasa Tua) di Sulawesi Utara. Suku Tombulu, tersebar di kota Tomohon, kecamatan Tombariri, kecamatan Pineleng, kecamatan Tombulu, kecamatan Wori, Likupang Barat dan ibukota Sulawesi Utara kota Manado. Populasi suku Tombulu diperkirakan sekitar 60.000 orang pada sensus 1981.

Suku Tombulu, memiliki 8 klan (walak), yaitu:
  • Tomohon (Tou Muung)
  • Sarongsong
  • Tombariri
  • Kakaskasen
  • Ares
  • Maumbi (Kalawat Atas)
  • Kalawat Wawa (Klabat Bawah) di Paniki
  • Likupang.

Asal-usul suku Tombulu, menurut cerita rakyat (legenda/ mitos) seperti yang ditulis Pdt.M.Ph. Wilken dan Graflaand, yang tersimpan secara turun temurun dalam masyarakat suku Tombulu, adalah nenek moyang pertama di Minahasa adalah Opo Toar dan Lumimuut. Menurut ceritanya mereka hanyut terbawa arus dari arah utara, lalu terdampar di pantai barat Minahasa, di batu karang yang dinamai Batu Kapal yang terletak di daerah Sapa (kecamatan Tenga kabupaten Minahasa Selatan sekarang). Mereka hanyut terbawa arus air bah. Dalam tulisan Dr. Riedels Zano Simezuk Wangko, air bah merendam seluruh dataran sampai ke puncak gunung Lokon, Gunung Mahwu, dan gunung Soputan.
Opo Toar dan Lumimuut, berdiam di sekitar gunung Wulur Mahatus. Kemudian pindah ke sekitar Niutakan dekat Tompasu Baru. Di Tempat baru ini Opo Toar kawin dengan Lumimuut. Setelah sekian lama ternyata jumlah mereka bertambah banyak dan memenuhi daerah itu, sehingga mereka mulai menyebar ke seluruh Malesun (Minahasa). Awalnya terdapat 25 kepala keluarga yang menyebar, salah satunya antara lain keluarga Pinontoan dan istrinya Ambilingan dengan 6 orang anaknya. Mereka datang ke dataran gunung Lokon. Keturunan dari keluarga inilah yang diyakini menurunkan "suku Tombulu".

Suatu tulisan di Facebook, yang diposting oleh Kennedy Polakitan, menceritakan penyebaran suku Tombulu berdasarkan sejarah Minahasa. Pada awal penyebaran suku Tombulu sekitar abad 10, suku Tombulu di Wanua Meijesu diperintah oleh Lumoindong putra dari Walian Pukul, ditimpa wabah penyakit yang menewaskan banyak penduduk. Oleh karena itu suku Tombulu terpencar dan keluar mencari pemukiman baru. Tempat-tempat yang dituju sebagai pemukiman baru dan terbentuknya beberapa walak pada suku Tombulu, adalah:
  1. Tonaas Tumbelwoto, memimpin sebagian orang Tombulu pergi tumani ke Wanua Tula’u hingga terbentuklah walak Saronsong,
  2. Sebagian rakyat berpindah ke Kinilow Tu’a. Tonaas Ka’awoan meninggalkan Kinilow Tu’a memimpin sebagian orang Tombulu pergi kearah barat ke suatu tempat yang terdapat rumput yang dinamai Wariri, sebagian orang yang menetap di sana disebut Touwariri, lalu sebutannya menjadi orang Tombariri.
  3. Selanjutnya dari sana sebagian rakyat yang dipimpin oleh Walian Lokon Mangundap, Kalele, Apor, Karundeng, Kapalaan, dan Posumah,  mendirikan negeri baru yang dinamai Katinggolan yang merupakan cikal bakal dari terbentuknya Wanua Woloan.
  4. Tonaas Mokoagow juga meninggalkan Kinilow Tu’a dan pergi tumani ke Wanua Mu’ung dan Kamasi membentuk Tou Mu’ung (Tomohon).
  5. Tonaas Ticonumu dan Tuerah pergi tumani ke Wanua Kakaskasen dan membentuk Walak Kakaskasen,
  6. Tonaas Lolong lasut dan Ruru pergi tumani ke Wanua Wenang dan Ares membentuk Walak Ares (di kota Manado sekarang).
  7. Dari Kinilow Tu’a beberapa taranak pergi tumani ke Wanua kali dari sana Tonaas Alow pergi melintasi sungai wenang utara, lalu tumani ke Wanua Kalawat atas dan membentuk Kalawat atas yang kemudian berubah menjadi Kalawat Maumbi.
  8. Dari Kalawat Atas keluar Tonaas Kondoy, Wangko Saumanan pergi ke barat tumani ke Wanua Kalawat Kalewosan yang kemudian menjadi Wanua ure, kini disebut Komo Luar. Kalawat Kalewosan ini kemudian menjadi Kalawat Wawa, ibu negeri Wanua ure.
  9. Tonaas Kalengkongan beserta sebagian rakyat meninggalkan Kalawat Atas dan Kalawat Wawa, pergi tumani ke Wanua Likupang. Menimbulkan Walak Likupang.
Jadi suku Tombulu telah pecah menjadi beberapa walak. Tetapi pada abad 15, Tonaas Dotulong, Tidajoh Koagow dari Pakasaan Tonsea telah merampas Wilayah Dimembe, suatu wilayah yang sangat luas sekali.

masyarakat Tombulu
Orang Tombulu dalam keseharian di dalam lingkungan sesama orang Tombulu, menggunakan bahasa Tombulu. Bahasa Tombulu ini merupakan salah satu dialek bahasa Minahasa. Bahasa Tombulu lumayan terkenal, karena beberapa lagu daerah yang populer kebanyakan berasal dari bahasa Tombulu, seperti lagu "O Ina Ni Keke".

Dalam hal kepercayaan, seperti sub-suku Minahasa lain pada umumnya memeluk agama Kristen, begitu pula suku Tombulu ini adalah pemeluk agama Kristen. Agama Kristen telah lama berkembang dalam lingkungan masyarakat suku Tombulu, Diperkirakan mereka memeluk agama Kristen sejak kehadiran bangsa Portugis, Spanyol dan Belanda ke tanah Minahasa ini.

Masyarakat suku Tombulu pada dasarnya hidup sebagai petani. Mereka menanam padi di sawah dan ladang. Selain padi mereka juga menanam beberapa jenis sayur-sayuran dan buah-buahan. Juga beberapa tanaman keras seperti cengkeh dan kopra.

sumber:
sumber lain dan foto:
  • pakatuans.blogspot.com
  • search.wn.com

Suku Tountemboan

Suku Tountemboan (Tontemboan), merupakan sub-suku Minahasa, yang berdiam di kabupaten Minahasa bagian selatan di provinsi Sulawesi Utara. Populasi suku Tountemboan diperkirakan sekitar 150.000 orang.

Suku Tountemboan, berkedudukan di Minahasa bagian Selatan yang mendiami daerah Langowan, Tompaso, Kawangkoan, Sonder, Tareran, Tumpaan, Amurang dan daerah di sepanjang kuala Ranoyapo yaitu di daerah Motoling, Kumelembuai, Ranoyapo, Tompaso Baru, Modoinding, Tenga dan Sinonsayang.

Suku ini berasal dari pakasa'an Tompakewa yang terdiri dari 6 walak:
  • Tompaso
  • Langowan
  • Tombasian
  • Rumoong
  • Tongkimbut atas (Kawangkoan)
  • Tongkimbut bawah (Sonder).

Orang Tountemboan berbicara menggunakan bahasa Tountemboan. Bahasa Tountemboan merupakan salah satu dialek dari bahasa Minahasa.

Bahasa Tountemboan memiliki 2 dialek, yaitu:
  • dialek Matana’i (Sonder dan sekitarnya)
  • dialek Makela’i meliputi kecamatan Langowan, Tompaso’ dan sebagian Tompaso’ Baru.

tari perang "Cakalele"
suku Tountemboan
Mitos leluhur orang Tountemboan, bahwa mereka juga berasal dari keturunan Lumimu-ut, tapi dengan versi yang sedikit berbeda. Menurut bentuk mitos ini, pada awalnya hanya ada lautan dan batu besar yang disapu oleh gelombang, dan setelah itu seekor bangau berkeringat, dari keringatnya menghasilkan seorang dewa perempuan yang disebut Lumimu-ut (Loeang-Sermata).
Dinasehati oleh bangau itu akan keberadaan “negeri asali”, kemudian dia mengambil dua genggam tanah yang ia sebarkan di atas batu, dan maka ia menciptakan dunia, dimana ia menanam benih semua tanaman dan pohon, agar mirip dengan “negeri asali”. 
Setelah menciptakan bumi, Lumimu-ut naik ke gunung, lalu angin barat bertiup dan membuatnya hamil. Seiring waktu ia melahirkan seorang anak laki-laki, dan saat ia telah tumbuh menjadi dewasa, sang ibu menyuruhnya mencari seorang istri, namun sejauh ia mencari, ia tidak menemukan satupun. Maka Lumimu-ut memberinya tongkat yang panjangnya sama dengan tinggi badannya, memintanya mencari seorang perempuan yang harus lebih pendek dari tinggi tongkat ini, dan bila ia menemukan perempuan demikian, maka ia ditakdirkan untuk menikahinya.
Ibu dan anak ini kemudian berpisah, satu pergi ke kanan dan satu ke kiri, dan mereka keliling dunia, hingga akhirnya bertemu kembali, tanpa saling kenal, dan saat sang anak mencocokkan tinggi badan ibunya dengan tongkat, tinggi badan ibunya ternyata lebih pendek dari tongkat, karena tanpa sepengetahuannya, tongkat itu bertambah panjang. Karena itu, maka ia pun menikahi sang ibu, dan mereka melahirkan banyak anak, yang keturunannya menjadi leluhur orang-orang Tountemboan..

keterangan:
  • pakasaan = anak suku
  • walak      = klan/ sub-suku lebih kecil di bawah pakasaan/ kelompok kecil seketurunan
sumber:
  • deutromalayan.blogspot.com
  • bode-talumewo.blogspot.com
  • wikipedia
sumber lain dan foto:
  • tountemboan.blogspot.com

Suku Toundanouw

Suku Toundanouw, adalah suatu sub-suku Miinahasa yang menetap di daerah banyak danau, salah satu danau terbesar di daerah pemukiman orang Toundanouw ini adalah danau Bulilin, yang berada di kabupaten Minahasa Tenggara provinsi Sulawesi Utara.

danau Bulilin
Istilah orang Toundanouw ini mirip dengan salah satu etnis Minahasa lain, yang dikenal sebagai orang Tondano, tapi 2 kelompok ini berbeda, karena orang Tondano menetap di daerah sekitar danau Tondano, sedangkan orang Toundanouw hidup di sekitar danau Bulilin yang berada di kabupaten Minahasa Tenggara. Yang menarik dari orang Toundanouw ini adalah, sebelum ada istilah Tondano di daerah Tondano, mereka telah menamakan diri mereka sebagai orang Toundanouw. Selain itu ditinjau dari asal-usul nenek moyang, orang Toundanouw dan orang Tondano berasal dari nenek moyang yang sama, yaitu berasal dari keturunan orang-orang dari Tifore (Tafure atau Tidore), yang pada awalnya menetap di daerah Atep yang hijrah ke pedalaman. Sehingga kedua etnis ini memiliki kebiasaan yang sama, yaitu hidup di sekitar danau.

Pada masa lalu, ketika suku-suku di Minahasa belum bersatu, sering terjadi peperangan antar suku, bahkan sempat terjadi pengayauan (potong kepala) di antara mereka. Melihat peperangan antar walak (kelompok Taranak) terus berlangsung, sekitar tahun 670, beberapa Walian dan Tonaas menyadari akan pentingnya suatu musyawarah di dalam usaha menciptakan kembali akan persatuan dan kesatuan yang berlangsung di sekitar kaki Gunung Tonderukan. Di tempat itu, terdapat sebuah batu “Tumotowa” tempat pelaksanaan ritual Poso (J. G. F. Riedel, The Minahasa, 1862). Kendati berlangsung alot, namun musyawarah yang dipimpin oleh Tonaas Kapero yang berasal dari kelompok Pasiowan Telu bersama Muntu Untu dari golongan Makarua Siow sebagai panitera/notulis dan Mandey sebagai saksi, berhasil mencapai beberapa kesepakatan penting, di antaranya:
  • menerima penetapan pembagian pemukiman setiap kaum Taranak
  • setiap kaum Taranak dapat mengembangkan ketentuan adat dan ritual yang tetap berlandaskan kepercayaan terhadap Empung Walian Wangko (Tuhan Yang Maha Agung) dan opo (leluhur).
  • setiap kaum Taranak dapat mengembangkan bahasa sesuai kehendak masing-masing, namun semuanya tetap mengaku sebagai satu Kasuruan, yang tidak dapat dicerai-beraikan oleh siapapun.
Selanjutnya pembagian wilayah pemukiman diatur dan dibagi menjadi 7 Taranak, salah satunya adalah Kaum Taranak yang dipimpin oleh Tonaas Kamboyan, menuju ke dataran sekitar Danau Bulilin, tempat asal mereka semula dan mendiami pemukiman di Bukit Batu, Kali dan Abur. Kelompok dan keturunan mereka inilah yang disebut orang Toundanouw, yang berarti "orang yang tinggal di sekitar air".

Pakasa'an Toundanouw berasal dari Pakasa'an Tountewoh, yang terpecah menjadi 3 pakasa'an, yaitu Pakasa'an Tonsea, Pakasa'an Tondano dan Pakasa'an Toundanouw. 
Sedangkan Pakasa'an Toundanouw terdiri dari 2 walak, yaitu walak Tombatu dan walak Tonsawang, yang sekarang menjadi etnis tersendiri di wilayah kabupaten Minahasa Tenggara.
Walak Tombatu dan walak Tonsawang, hidup berdampingan di satu wilayah di kabupaten Minahasa Tenggara, dan banyak terjadi perkawinan silang di antara mereka, sehingga saat ini mereka lebih populer dengan sebutan sebagai orang Tonsawang, tapi mereka juga tetap mengakui diri mereka sebagai satu kesatuan sebagai orang Toundanouw.

keterangan:
  • pakasa'an :  kelompok (anak suku Minahasa)
  • walak        :  klan (kelompok yang lebih kecil dari pakasa'an)
sumber:
sumber lain dan foto:
  • mop-1.blogspot.com

Suku Tombatu

tempat wisata di danau Bulilin
Suku Tombatu, adalah suatu komunitas masyarakat yang menetap di kabupaten Minahasa Tenggara provinsi Sulawesi Utara.

Tombatu (Toumbatu), adalah suatu Walak yang berasal dari Pakasaan Toundanouw, yang terbagi 2 walak, salah satunya adalah Walak Tombatu, sedangkan satu lagi adalah Walak Tonsawang.
Asal-usul orang Tombatu yang dari pecahan Pakasaan Toundanouw daerahnya terdapat beberapa danau dan danau yang terbesar adalah danau Bulilin. Oleh karena itu orang Tombatu disebut juga sebagai orang Toundanouw.
Orang Tombatu banyak berbaur dengan orang Tonsawang dan terjadi perkawinan campur, dan menetap di daerah yang sama, sehingga antara kedua kelompok ini agak susah dibedakan, sehingga saat ini cenderung disamakan sebagai orang Tonsawang.

Penyebaran orang Tombatu adalah di desa Molompar Satu, Molompar dua, Kuyanga, Tombatu 1, Tombatu 2, Tombatu 3, Betelen, Mundung, Mundung 1, Esandom, Winorangian, Tonsawang (Nevy Kawulusan).  Letak daerah Tombatu berada di sebelah selatan gunung Soputan, sekitar 15 km dari ibukota kabupaten: Ratahan.

orang Tombatu
Masyarakat Tombatu hampir seluruhnya memeluk agama Kristen Protestan, yang berkembang di kalangan masyarakat Tombatu sejak abad 19. Sebenarnya sejak abad 16 mereka telah memeluk agama Kristen Katolik. Tapi sejak kehadiran Belanda di wilayah mereka, banyak orang Tombatu yang beralih ke agama Kristen Protestan. Di pemukiman orang Tombatu banyak terdapat gereja dari berbagai denominasi gereja. Gereja yang paling menonjol adalah gereja GMIM, Pantekosta, Advent dan Katolik. Putra-putri Tombatu banyak yang menjadi pendeta dan gembala sidang di perantauan, misalnya Noch Supit gembala GPdI di Riau, Pdt. Piet Tiouw di Bagansiapi-api, Pdt. James Pangau di Jakarta, Ferdinand Kindangen di daerah Sulawesi Selatan, Pdt. Buce Pelleng di Tonasa - Makassar, Pdt. DR. Ruddy Alow, M.Div {Bandung); dan Pdt. Freddy Tondatuon (Sulteng).

Masyarakat Tombatu memiliki tradisi gotong royong yang disebut "Mapalus". Anggota mapalus dalam jumlah puluhan disebut Kelup. Kelompok kelup tersebut biasanya membangunkan anggota mereka pada jam 03.00 subuh dengan terompet. Suara terompet tersebut akan membangunkan masyarakat seluruh kampung. Anggota "Mapalus" segera bangun, mempersiapkan diri untuk berangkat ke kebun. Dalam perjalanan ke kebun, mereka berjalan berjejer seperti "kaki seribu" yang diiringi dengan berbagai alat musik, seperti tambur, gendang, dan lain-lain, yang dipukul secara berirama oleh 4-5 orang, sampai ke tempat tujuan. Mereka bekerja selama 8 jam sehari. Petang hari mereka akan pulang berjalan kaki dengan cara yang sama dan menuju kampung, biasanya banyak anak-anak yang berdiri di pinggir jalan menanti kedatangan grup Mapalus, karena waktu mereka berangkat pagi-pagi, anak-anak itu belum bangun.

Masyarakat Tombatu, seperti kelompok sub-suku Minahasa pada umumnya hidup pada bidang pertanian terutama pada kopra, cengkeh dan vanili. Dahulu mereka sempat menanam padi di sawah, tapi beberapa tahun belakangan areal sawah di daerah Tombatu banyak yang ditimbun dengan tanah dan dibangun rumah-rumah penduduk, yang menjadi perkampungan baru bagi penduduk Tombatu.

sumber:
sumber lain dan foto:
  • youtube.com
  • griyawisata.com

Suku Toulour

Suku Toulour, adalah salah satu sub-suku Minahasa yang bermukim di kabupaten Minahasa provinsi Sulawesi Utara. Populasi suku Toulour ini diperkirakan lebih dari ... orang.

Suku Toulour kadang disebut juga sebagai orang Tondano, mereka mendiami daerah sekeliling danau Tondano sampai di pantai Timur Minahasa (Tondano Pante) yaitu daerah Tondano, Kombi, Eris, Lembean Timur, Kakas, Remboken. Pakasaan Toulour terbagi atas dua walak yaitu Tondano Toulimambot di bagian barat dan Tondano Touliang di bagian barat.

Penduduk Minahasa sekitar kota Tondano, menyebut diri mereka sebagai "orang Toulour", atau "orang Tondano / orang Tou nDano”. Orang Toulour berbicara dalam bahasa Toulour, yang disebut juga sebagai bahasa Tondano.

Asal-usul orang Tondano, menurut cerita, dahulu serombongan pendatang, orang-orang Tifore, yang datang dari pesisir Timur (Atep). Orang-orang Tifore ini melakukan kawin campur dengan orang Toumbulu, dan menetap di daerah bagian barat danau (yang sekarang disebut danau Tondano). Dari keturunan inilah yang menurunkan orang-orang Tondano. Mereka mendirikan pemukiman di sekitar danau Tondano.

Istilah "Tondano" diduga berasal dari bahasa Tountemboan, yaitu "Touw un Dano", yang berarti "orang danau". Sedangkan istilah "Toulour" berasal dari bahasa Tonsea dan Tombulu, yaitu "Tou Lour", yang berarti "orang air".

Daerah pemukiman suku Toulour ini berada di dua daerah utama, yaitu Touliang (sebelah timur sungai) dan Toulimambot (sebelah barat sungai). Pada zaman kolonial Belanda, daerah ini oleh Belanda dinamakan distric Toulour dengan kotanya adalah Tondano. Oleh karena itu penduduk di daerah ini menyebut diri mereka sebagai orang Toulour, tapi juga sebagai orang Tondano.

Sebenarnya ada satu etnis lain yang menggunakan nama mirip, salah satu etnis Minahasa yang menamakan diri mereka sebagai orang Toundanouw. Yang menarik dari orang Toundanouw ini adalah, sebelum ada istilah Tondano di daerah Tondano, mereka telah menamakan diri mereka sebagai orang Toundanouw. Satu hal lain yang juga menarik adalah orang Toundanouw ini juga berasal dari keturunan orang Tifore. Mereka menetap di daerah Atep yang hijrah ke pedalaman.

Menurut Dr. J.G.F. Riedel, dalam bukunya (De Minahasa in 1825), tertulis bahwa pendatang-pendatang dari Tifore menetap di pesisir Timur (Atep), merambah ke pedalaman dalam 2 kelompok, yaitu:
  • Kelompok ke-1, menuju Utara, masuk ke wilayah orang Tonsea dan mendirikan pemukiman yang disebut Lumijang. Kelompok inilah yang menetap di sekitar danau, kemudian dinamakan Tou nDano, atau Tou Lour (dalam bahasa Tonsea/ Tombulu). Mereka lah yang menjadi orang Tondano atau orang Toulour.
  • Kelompok ke-2, menuju ke Selatan dan membuat pemukiman Awouw, Topiriwan dan Watu. Mereka menyebut diri mereka sebagai orang Toundanouw. Dari keturunan mereka terbagi menjadi 2 kelompok kecil, yaitu, yang disebut Tou Watu atau Tombatu, dan satu lagi diduga adalah Tonsawang.

Ada suatu versi yang sedikit berbeda tentang orang Toulour, menurut cerita beberapa Tetua Minahasa, dikatakan bahwa sejak kehadiran orang Minahasa di sekitar danau Tondano, mereka menamakan diri mereka sebagai orang Tondano. Kemudian mereka terbagi menjadi 3 walak, yaitu Kakas, Romboken dan Toulour. Dari sini lah, terlihat maka orang Toulour, selain menyebut diri mereka sebagai orang Toulour, mereka juga mengaku sebagai orang Tondano. Karena mereka adalah pecahan langsung salah satu dari 3 walak Tondano.

Dalam budaya orang Toulour, mereka memiliki suatu tradisi beladiri yang tetap terpelihara, yaitu beladiri khas walak Tolour biasa dikenal dengan nama ilmu beladiri Sakalele soma'tanu rano wo reghes (silat sakti air dan angin). Sakalele ini memiliki 36 jurus, yang sangat hebat. Ilmu beladiri Sakalele memiliki jurus-jurus dicipta berdasar pergerakan  alam, air dan angin di danau Tondano.

Orang Toulour, pada umumnya hidup sebagai petani. Beberapa orang bekerja sebagai nelayan penangkap ikan di danau Tondano. Sedangkan pada bidang profesi lain, mereka bekerja sebagai pedagang, guru, pegawai dan lain-lain.

sumber:
  • deutromalayan.blogspot.com
  • bode-talumewo.blogspot.com
  • paulgrw: anak suku Toundanow
  • wikipedia
sumber lain dan foto:
  • toudanowaya.multiply.com

Suku Tondano

Suku Tondano, adalah salah satu sub-suku Minahasa yang mendiami kabupaten Minahasa di provinsi Sulawesi Utara. Populasi suku Tondano diperkirakan sekitar 92.000 orang.

Suku Tondano mendiami wilayah di sekitar pesisir danau Tondano. Suku Tondano terdiri dari beberapa suku kecl atau walak, yaitu:
  • Kakas
  • Remboken
  • Toulour
    • Touliang 
    • Toulimambot 

rumah adat suku Tondano
Karena Walak Toulour menjadi 2 bagian, sehingga walak Tondano menjadi 4 - 5 walak. Selain menyebut diri mereka sesuai dengan nama walak mereka, misalnya "orang Toulour", "orang Kakas" atau "orang Touliang", mereka menyebut diri mereka juga sebagai "orang Tondano". Jadi saat ini istilah orang Tondano, berarti menunjuk kepada walak-walak tersebut di atas, karena orang Tondano nya sendiri telah membagi diri mereka menjadi beberapa walak sesuai dengan daerah yang mereka tempati, tapi tetap satu kesatuan sebagai orang Tondano.

Orang Tondano, memiliki karakter yang keras hati dan rajin. Dalam keseharian, mereka adalah orang yang ramah dan terbuka terhadap siapa saja, termasuk terhadap para pendatang yang hadir di wilayah mereka.

Masyarakat suku Tondano pada umumnya memeluk agama Kristen. Keagamaan dalam masyarakat suku Todano berkembang dengan kokoh. Mereka sering mengadakan pertemuan di gereja. Agama Kristen diperkirakan masuk ke dalam kalangan masyarakat Tondano sudah sejak abad ke-16, yang dibawa oleh orang Portugis dan Spanyol, dan dikembangkan oleh orang Belanda.

gadis Tondano
Para perempuan dalam banyak hal lebih aktif dari kaum pria. Hal ini berlaku sejak masa silam, dalam hal urusan-perbatasan, pemberontakan, dan seterusnya. Gejala ini terlihat pula sewaktu akan dibangun Gereja baru, dalam pekerjaan penginjilan, dalam biblestudy. Kaum perempuan memiliki rapat pertemuan keagamaan sendiri, di mana persoalan diperbincangkan dengan mantap serta dilaksanakan. Dari sini ternyatalah bahwa agama telah menjadi urusan rakyat. Hal ini menunjukkan bahwa peran perempuan di tanah Minahasa telah sama derajat dengan kaum laki-laki sejak zaman dahulu, jauh sebelum adanya Kartini di pulau Jawa.

Masyarakat Tondano, hidup sebagai petani dan nelayan. Selain itu mereka juga bekerja pada bidang profesi lain, seperti menjadi pedagang, guru, pegawai dan bekerja di sektor swasta. Saat ini banyak dari masyarakat Tondano yang merantau ke luar daerah seperti ke Manado, Medan dan kota-kota di Sumatra lainnya, kota-kota di Kalimantan, kota-kota di Jawa, Papua dan lain-lain.

sumber:
sumber lain dan foto:
  • tondanogreatpower.blogspot.com
  • situs-berita-terbaru.blogspot.com

Suku Tonsawang

Suku Tonsawang (Tounsawang), merupakan salah satu sub-suku Minahasa yang terdapat di provinsi Sulawesi Utara. Suku Tonsawang, bermukim di kecamatan Tombatu dan Touluaan. Populasi suku Tonsawang diperkirakan lebih dari 20.000 orang pada sensus tahun 1981.

Suku Tonsawang ini berasal dari Pakasa'an Toundanouw, menurut sejarah, dikatakan bahwa dahulu di daerah pantai Amurang terdapat sebuah danau, dan arah tenggara danau terdapat sebuah daerah perbukitan bernama Batu, di tempat itu berdiam sekelompok orang yang menyebut dirinya sebagai orang “Toundanouw”, yang berarti "orang dari air". Orang Toundanouw ini terbagi menjadi 2 kelompok, salah satunya adalah yang sekarang disebut sebagai orang Tonsawang., sedangkan kelompok satu lagi disebut orang Tombatu.

Menurut cerita lain, nenek moyang orang Tonsawang, dikatakan berasal dari pulau kecil Mayu dan Tafure (Tifore atau Tidore) di selat Maluku yang mendarat di Atep, kemudian melanjutkan perjalanan ke Tompaso, dan kemudian melanjutkan perjalanan lagi menuju ke tempat mereka sekarang ini.

Walaupun mereka menyebut diri mereka sebagai orang Tonsawang, tapi kadang-kadang mereka menyebut diri mereka juga sebagai orang Toundanouw. Karena dilihat dari asal-usul, bahwa orang Tonsawang bersama orang Tombatu, adalah berasal dari keturunan orang Toundanouw.

Lesung Batu Nawo Oki
Di wilayah pemukiman suku Tonsawang, terdapat peninggalan sejarah yang dikenal dengan nama Lesung Nawo Oki yang telah berumur ratusan tahun. Penemuan ini menunjukkan bahwa di wilayah hunian suku Tonsawang ini sejak dahulu telah dihuni manusia, yaitu dengan adanya Lesung Nawo Oki ini. Lesung Batu Nawo Oki ini berkaitan erat dengan legenda Raja Nawo Oki, yaitu nama pemimpin orang Tonsawang pada masa lalu, sekitar abad 17.

Masyarakat suku Tonsawang, mayoritas adalah pemeluk agama Kristen. Agama Kristen berkembang dengan pesat di daerah ini sejak masuknya bangsa Portugis, Spanyol dan Belanda ke daerah ini sekitar akhir abad 17.

Suku Tonsawang pada umumnya hidup sebagai petani. Menanam berbagai jenis tanaman, seperti padi dan jagung serta sayur-sayuran dan buah-buahan. Selain itu mereka juga menanam tanaman keras seperti cengkeh, kopra dan lain-lain.

sumber:
sumber lain dan foto:
  • ardypelealu.wordpress.com

Suku Tonsea

suku Tonsea
Suku Tonsea, adalah suatu suku tua Minahasa yang terdapat di provinsi Sulawesi Utara. Suku Tonsea ini terutama bermukim di kabupaten Minahasa Utara meliputi daerah semenanjung Sulawesi, kota Bitung, Airmadidi, Kauditan, Kema, kota Bitung, Tatelu, Talawaan dan Likupang Timur. Populasi suku Tonsea diperkirakan lebih dari 90.000 orang pada sensus tahun 1989.

Suku Tonsea berasal dari pakasa'an Tountewoh, yang merupakan anak suku Minahasa. Orang Tonsea berbicara menggunakan bahasa Tonsea. Bahasa Tonsea merupakan salah satu dialek bahasa Minahasa.

Bahasa Tonsea memiliki beberapa dialek, yaitu: 
  • dialek Maumbi
  • dialek Airmadidi
  • dialek Likupang
  • dialek Kauditan
  • dialek Klabat
  • dialek Bitung

Waruga
tempat bersejarah
di Airmadidi
Dialek-dialek di atas, tidaklah terlalu berbeda jauh, karena setiap pemakai dialek yang berbeda wilayah bisa saling berkomunikasi dengan baik menggunakan dialeknya masing-masing, apabila bertemu.
Pada masa sekarang ini, bahasa Tonsea sendiri mengalami penurunan dalam jumlah penuturnya, akibat dominasi dari bahasa Melayu Manado yang cenderung semakin dipakai oleh golongan generasi muda suku Tonsea.

Pada abad 17, suku Tonsea dipimpin oleh seorang yang bernama Xaverius Dotulong, sebagai pemimpin dari suku Tonsea yang berkedudukan di Kema. Saat berkorespondensi dengan Gubernur Ternate Robertus Padtbrugge, Xaverius Dotulong menggunakan bahasa Melayu yang ternyata sudah banyak digunakan oleh pedagang-pedagang yang berdagang di wilayah kepulauan Maluku. Xaverius Dotulong adalah anak dari Runtukahu Lumanauw yang tinggal di Kema dan merintis pembangunan pertama kali di wilayah adat suku Tonsea.

Silsilah Dotulong:




































Masyarakat suku Tonsea mayoritas pemeluk agama Kristen. Agama Kristen tumbuh dengan kuat dalam kehidupan masyarakat suku Tonsea, terlihat dari banyaknya bangunan gereja yang berdiri di setiap pemukiman masyarakat suku Tonsea. Mereka sering mengadakan kegiatan di gereja. Kegiatan gereja adalah sangat penting bagi kehidupan mereka.

Masyarakat suku Tonsea, pada umumnya berprofesi sebagai petani. Mereka menanam beberapa jenis sayuran, termasuk jagung, beberapa jenis buah-buahan. Selain itu mereka juga menanam tanaman keras seperti cengkeh. Pada bidang profesi lain, orang Tonsea berprofesi sebagai pedagang, guru, pegawai negeri dan di sektor-sektor swasta. Saat ini banyak orang Tonsea yang merantau ke daerah lain, seperti Manado, Makasar atau ke pulau-pulau lain, seperti Papua, Maluku, Sumatra, Jawa dan Kalimantan.

sumber:
sumber lain dan foto:
  • pesonaminut.blogspot.com
  • klabatnews.com

Suku Kakas

Suku Kakas, adalah suatu suku kecil, salah satu klan Tondano yang merupakan sub-suku Minahasa di provinsi Sulawesi Utara.

Suku Kakas terutama mendiami kecamatan Kakas di kabupaten Minahasa, yang termasuk bagian dari Pakasa'an Tondano, yang terdiri dari 4 walak, yaitu:
  • Kakas
  • Remboken
  • Touliang
  • Toulimambot

Suku Kakas, hadir di wilayah Kakas ini diperkirakan sekitar abad 16. Pada awalnya mereka datang mencari daerah baru untuk menggarap tanah ladang dan sawah. Orang Kakas pada masa itu hidup sebagai petani, dengan menerapkan praktek pertanian perladangan berpindah. Tapi setelah sekian lama mereka di tempat ini, rupanya tempat ini dirasa cocok untuk didiami, sehingga mereka mendirikan suatu perkampungan, yang lama kelamaan menjadi pemukiman bagi suku Kakas di daerah ini.

suku Kakas
Kebaktian di Gereja
Orang Kakas berbicara dalam bahasa Tondano (Toulour) dengan dialek Kakas. Bahasa Kakas berakar dari bahasa Tondano, tapi terdapat sedikit perbedaan dalam dialek, tapi tidak terlalu berarti, karena antara orang Kakas dan orang Tondano, tetap bisa berkomunikasi dengan baik dan saling memahami maksud lawan bicaranya.

Orang Kakas mayoritas memeluk agama Kristen. Mereka mengenal agama Kristen sekitar tahun 1830 dari seorang penginjil dari schwarts yang berkhotbah di daerah Kakas. Agama Kristen berkembang pesat dan menjadi keyakinan yang kuat di kalangan masyarakat Kakas ini. Sejak masuknya Belanda di wilayah ini, maka pembangunan gedung gereja dan sekolah serta fasilitas kesehatan banyak didirikan oleh Belanda. Hal ini mendapat sambutan yang baik dari masyarakat suku Kakas.

sumber:

Suku Tukang Besi, Sulawesi

Wakatobi, tempat suku Tukang Besi
pic yptravel
Suku Tukang Besi, adalah suku yang bermukim di pulau Tukang Besi, yang tersebar di 4 pulau besar Wakatobi. Populasi suku Tukang Besi diperkirakan lebih dari 250.000 orang.

Suku Tukang Besi, termasuk dalam sub-suku dari suku Buton.
Ada 2 kelompok suku yang memiliki identitas sebagai "suku tukang besi", yaitu:
  • suku Tukang Besi Utara, adalah yang menetap di sebelah utara kepulauan Wakatobi. Suku Tukang Besi Utara ini masih berkerabat dengan suku Wolio dan suku Muna. Suku Tukang Besi Utara ini berbicara dalam bahasa Tukang Besi yang mirip dengan bahasa Cia-Cia.
  • suku Tukang Besi Selatan, yang tinggal di sebelah selatan kepulauan Wakatobi. Ketergantungan hidup mereka terletak pada hasil laut yang menjadi sumber penghidupan sehari-hari.

Masyarakat suku Tukang Besi Selatan ini sejak kecil telah mengenal kehidupan laut. Sedari kecil mereka sudah dididik untuk hidup mengarungi laut, bahkan para ibu-ibunya juga sudah terbiasa dengan kehidupan laut.

Di wilayah Buton, pernah berdiri sebuah Kerajaan dan Kesultanan, sekitar abad ke-15. Seorang yang datang dari Johore memasuki wilayah Buton, membangun pemukiman dan mendirikan sebuah Kerajaan, yaitu Kerajaan Buton.. Kekuasaan Kerajaan Buton ini diperintah oleh seorang Raja, yang wilayah kekuasaannya termasuk wilayah kepulauan Tukang Besi.
Pada 1540, agama Islam masuk ke wilayah ini, dan Raja ke-6 meninggalkan keyakinan lamanya dan memeluk agama Islam. Setelah menjadi Islam, sang Raja ini merubah status Kerajaan menjadi Kesultanan, dan sang Raja ini menjadi Sultan pertama di Kesultanan Buton.

Rumah tradisional suku Tukang Besi, dibangun sejajar dengan tanah, dan terbuat kayu yang kuat. Atap terbuat dari papan kecil, daun palem. Rumah mereka hanya memiliki jendela kecil dan sebuah pintu. 

generasi muda
suku Tukang Besi
pic partnersintl
Dalam kehidupan sosial masyarakat suku Tukang Besi ini, mereka sangat menghormati Monogami (satu suami, satu istri). Orang tua terlibat dalam perencanaan perkawinan, para muda-mudi bebas menentukan pasangan mereka. Setelah perkawinan, pasangan suami-istri tinggal dengan keluarga pengantin perempuan, sampai sang suami memiliki rumah sendiri.

Mayoritas suku Tukang Besi adalah penganut agama Islam. Agama Islam berkembang dan diterima dengan baik oleh masyarakat suku Tukang Besi. Beberapa tradisi adat mereka dipengaruhi oleh unsur budaya Islam. Tapi dalam keseharian suku Tukang Besi ini, mereka masih mempercayai adanya makhluk gaib yang dianggap bisa mempengaruhi kehidupan mereka. Makhluk-makhluk gaib adalah roh penjaga, roh panen dan roh jahat yang bisa menyebabkan penyakit. Mereka juga percaya roh nenek moyang mereka membantu keluarga mereka yang sedang sakit. Mereka juga percaya terhadap tempat-tempat keramat, karena dianggap keramat dan sakral, yang akan membawa penyakit atau kesialan apabila dilanggar.

Dalam kehidupan suku Tukang Besi, mereka percaya bahwa setelah mati, mereka akan mengalami reinkarnasi (kelahiran kembali, sebagai wujud manusia yang lain). Keyakinan ini adalah keyakinan yang mengandung unsur Hindu-Budha, sejak masa lalu yang tetap diyakini sampai hari ini.

Kehidupan lain suku Tukang Besi ini, selain berprofesi sebagai nelayan di laut, sebagian dari mereka juga hidup dengan bercocok tanam, mereka menanam ubi yang menjadi makanan utama mereka, yang biasanya dibakar, dan dimakan dengan ikan. Mereka juga menanam padi di sawah dan menanam tanaman jagung. Profesi lain yang ditekuni adalah sebagai Tukang Besi. Profesi sebagai Tukang Besi ini telah dijalani sejak berabad-abad yang lalu, karena trampilnya dalam membuat berbagai peralatan dari besi, maka identitas komunitas mereka pun melekat sebagai suku Tukang Besi. Selain itu mereka juga trampil membuat perahu, sebagai perajin kuningan dan perak, barang pecah-belah, kain tenun dan membuat makanan.

sumber:
sumber lain dan foto:
  • yptravel.com
  • partnersintl.org

Suku Pekurehua (Napu), Sulawesi

lembah Napu
pemukiman suku Pekurehua
pic inamuse
Suku Pekurehua (Napu), adalah masyarakat adat yang mendiami wilayah lembah Napu, di desa Wuasa dan Kaduwa, yang terletak di sebelah timur Taman Nasional Lore Lindu kecamatan Lore Utara kabupaten Poso provinsi Sulawesi Tengah.

Suku Pekurehua, kadang disebut juga sebagai suku Napu, tapi mereka lebih suka kalau disebut dengan sebutan sebagai suku Pekurehua, yaitu orang-orang yang berasal dari Lembah Pekurehua, yang terletak di tengah padang rumput Winowangan. Menurut mereka istilah "Napu", merupakan ejekan sebagai orang-orang yang ganas dan buas dalam berperang.

Di desa pemukiman suku Pekurehua ini juga terdapat masyarakat pendatang dari daerah lain, yaitu suku Bugis dan suku Toraja.

Suku Pekurehua pada umumnya memeluk agama Kristen, yang diperkenalkan oleh A.C.Kruyt sekitar awal abad 19 M. Agama Kristen berkembang dengan baik di kalangan masyarakat suku Pekurehua, ditandai dengan berdirinya beberapa bangunan rumah gereja di desa-desa pemukiman masyarakat suku Pekurehua.

Masyarakat suku Pekurehua memelihara adat-istiadat mereka dengan baik. Mereka sangat mematuhi peraturan-peraturan adat yang diatur oleh ketua adat. Suku Pekurehua berkomunikasi dengan bahasa Pekurehua, yang lebih dikenal dengan sebutan bahasa Napu. Bahasa Napu ini mirip dengan bahasa Besoa. Sehingga mereka dapat berkomunikasi secara lancar dengan masyarakat suku Besoa, yang menjadi tetangga mereka.

Suku Pekurehua terkenal karena memiliki pengetahuan dalam meramu obat-obatan yang berasal dari tumbuh-tumbuhan yang didapat dari hutan. Mereka memiliki lebih dari 104 jenis tumbuhan yang bisa dimanfaatkan sebagai obat-obatan yang bisa digunakan untuk mengobati 46 penyakit tradisional. Dalam pengolahan dan pembuatan obat-obatan tersebut dengan cara tradisional dan sederhana, yaitu dengan cara direbus, ditumbuk, digosokkan dan dikunyah, yang dimanfaatkan sebagai obat luar maupun obat dalam.

Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat suku Pekurehua, hidup dengan bercocoktanam. Mereka juga menanam padi di ladang, serta menanam jagung, ubi dan lain-lain. Selain itu mereka juga memanfaatkan hasil hutan untuk melengkapi kebutuhan hidup mereka sehari-hari.

sumber:
sumber lain dan foto:
  • inamuse.wordpress.com

Suku Dampelas, Sulawesi

soso dalam festival danau Dampelas
acara adat suku Dampelas
pic linopadeihina
Suku Dampelas (Dampeles), adalah suatu masyarakat suku yang berada di kecamatan Dampeles Sojo kabupaten Buol dan kabupaten Toli-Toli di provinsi Sulawesi Tengah. Populasi suku Dampelas pada sensus terakhir adalah sebesar 13.000 orang.

Suku Dampelas terkenal karena memiliki benda-benda pusaka yang sakti dan berkhasiat untuk menghadapi musuh. Menurut mereka, biasanya orang yang memakai benda-benda pusaka itu akan menjadi kebal dan tidak mempan terhadap guna-guna dan ilmu hitam lainnya.

Masyarakat suku Dampelas sebagian besar memeluk agama Islam. Agama Islam tumbuh dengan baik di kalangan masyarakat suku Dampelas ini. Tapi di luar itu banyak dari mereka yang masih percaya dengan hal-hal yang berbau animisme, seperti mempercayai makhluk-makhluk gaib dan tempat-tempat keramat yang dianggap bisa mempengaruhi kehidupan mereka.

Dalam masyarakat suku Dampelas terdapat beberapa upacara adat, yaitu:
  • Mogupas, adalah suatu tradisi upacara kematian yang merupakan kombinasi antara adat tradisional dengan agama yang mereka anut, yaitu upacara adat sebagai penghormatan terakhir bagi orang yang meninggal.
  • Moguto Bwuiyano dan Mobuso, upacara adat untuk mengusir wabah dan penyakit kronis.
  • Monilam dan Malead, dua upacara adat ini digabungkan dan untuk meratakan gigi remaja putri.
  • Moduai, dan
  • Upacara adat menyambut tamu.

Masyarakat suku Dampelas hidup dalam berbagai bidang kegiatan, seperti bertani, tapi masih menggunakan cara-cara lama, yaitu dengan cara berpindah-pindah lahan pertanian. Selain itu mereka memanfaatkan hutan untuk mengumpulkan hasil hutan, seperti mengumpul hasil rotan, damar dan kayu, dan juga melakukan perburuan terhadap binatang-binatang liar yang mereka temui di dalam hutan. Mereka ahli meramu berbagai jenis obat-obatan tradisional serta trampil dalam membuat beberapa jenis kerajinan, seperti kain tenun sutra dan bonja lipuku dan kerajinan cengkeh khas Toli-Toli. Di sekitar perkampungan, mereka memiliki kebun yang ditanami kopra dan cengkeh.

sumber:
sumber lain dan foto:
  • linopadeihina.blogspot.com

Suku Buol, Sulawesi

suku Buol
pic akudansecangkircerita
Suku Buol, adalah suku yang terdapat di kabupaten Toli-Toli provinsi Sulawesi Tengah. Tersebar di beberapa daerah kecamatan seperti di Biau, Bunobugu, Paleleh dan Momunu, sebagian kecil tersebar ke daerah dekat wilayah.Gorontalo. Populasi suku Buol diperkirakan lebih dari 75.000 orang.

Masyarakat suku Buol berbicara dalam bahasa Buol, yang masih berkerabat dengan bahasa Toli-Toli. Selain itu bahasa Buol ini juga mirip dengan bahasa Gorontalo. Karena terdapat kemiripan ini, mereka sering dianggap sebagai sub-suku Gorontalo.

Pada masa alu di wilayah suku Buol ini pernah berdiri sebuah kerajaan yang bernama Kerajaan Buol. Diduga orang Buol ini adalah keturunan dari orang-orang dari Kerajaan Buol. Dugaan itu diperkuat dengan adanya sistem penggolongan dalam masyarakat suku Buol, seperti golongan keluarga raja (tan poyoduiya); golongan bangsawan yang masih mempunyai hubungan kerabat dekat dengan raja (tan wayu); golongan yang hubungan kerabat dengan raja sudah jauh (tan wanon); golongan masyarakat (taupat); dan golongan budak, yaitu orang yang melanggar adat atau kalah perang. Pada masa lalu, setiap golongan memiliki atribut sendiri, yang dapat dilihat dari pakaiannya. Sejak agama Islam masuk di kalangan masyarakat suku Buol, maka sistem penggolongan sudah banyak ditinggalkan. Saat ini, penggolongan masyarakat lebih didasarkan pada status berdasarkan tingkat pendidikan.

Suku Buol memiliki kearifan adat yang merupakan kebiasaan dan berhubungan dengan perlindungan sumber daya alam, baik berupa tanah, air, alam dan hutan.
Agama Islam menjadi agama mayoritas di kalangan suku Buol. Mereka adalah penganut Islam yang taat, dan agama Islam memiliki pengaruh yang kuat dala kehidupan mereka. Namun demikian, banyak dari mereka yang masih percaya bahwa alam gaib berpengaruh dalam kehidupan dan hasil panen mereka. Mereka takut pada tempat-tempat keramat dan sering mencari bantuan dukun untuk mengobati anggota mereka yang sakit atau mengusir roh-roh jahat.

Sistem Pemerintahan Adat suku Buol:
  • Ta Bwulrigan (orang yang diusung), seseorang yang diangkat menjadi kepala pemerintahan adat beserta pembantunya untuk mengurus urusan-urusan pemerintahan dan kemasyarakatan.
  • Ta Mogutu Bwu Bwulrigon (pembuat usungan), sebagai pembuat peraturan adat (pengambil keputusan sekaligus memilih kepala pemerintahan). 
  • Ta Momomayungo Bwu Bwulrigon (orang yang memayungi usungan), adalah pengayom masyarakat dan penegak hukum adat/ pemangku adat yang disebut hukum Duiyano Butako.
  • Ta Momulrigo Bwu Bwulrigon (pengusung usungan), adalah yang memastikan seluruh masyarakat adat untuk taat dan patuh terhadap hukum adat.

pic regionaltimur
Masyarakat suku Buol sebagian besar hidup dari pertanian padi pada lahan sawah dan ladang. Mereka juga menanam kelapa dan cengkeh, yang menjadi komoditi ekspor. Hasil hutan juga menjadi sumber pendukung hidup bagi mereka, dengan mangumpulkan rotan, damar, kayu manis, dan gula merah. Sedangkan yang tinggal di daerah pesisir berprofesi sebagai nelayan. Bidang profesi lain adalah sebagai pedagang, guru dan lain-lain.

sumber:
  • masyarakatadat.org
  • mactrem.blogspot.com
  • sabda.org
sumber lain dan foto:
  • akudansecangkircerita.blogspot.com
  • regionaltimur.com

Suku Bobongko, Sulawesi

suku Bobongko
pic rare planet
Suku Bobongko, adalah suku yang secara turun-temurun telah mendiami desa Lembanato di daerah kepulauan Togean di kabupaten Poso provinsi Sulawesi Tengah, sejak ratusan tahun yang lampau. Populasi suku Bobongko diperkirakan sebesar 1.057 orang.

Pemukiman suku Bobongko ini berada dekat dengan hutan Bakau yang kelestariannya tetap dijaga masyarakat suku Bobongko ini sejak beberapa abad yang lalu. Nama desa suku Bobongko ini, yaitu Lembanato berasal dari kata "malombanakon", dari bahasa Bobongko, yang berarti menggusur tanah. 

Asal-usul orang Bobongkko diduga berasal dari Balanggala (Balingara sekarang) sekitar 1.000 tahun yang lampau.
Kawasan hutan bakau bagi masyarakat suku Bobongko dianggap penting untuk tetap dijaga kelestariannya, selain itu mereka juga menjaga kehidupan binatang-binatang, termasuk burung yang banyak hidup di sekitar hutan bakau ini. Sehingga bagi siapapun yang melintas di hutan bakau ini tidak boleh berisik, tidak boleh mengagetkan binatang apa pun yang dijumpai, tidak boleh merokok, sebab asap rokok akan mengusik hewan-hewan. Di kawasan hutan bakau ini, juga banyak babirusa (Babysousa babirussa) yang hidup di tempat ini. Orang Bobongko menyebut Babirusa ini sebagai Dongitan.

Dahulu dongitan (babirusa), adalah makanan utama orang Bobongko, sebelum mereka mengenal agama Islam. Saat ini mayoritas orang Bobongko adalah pemeluk agama Islam. Perburuan dongitan tidak pernah lagi dilakukan. Kecuali apabila dongitan ini memasuki wilayah perkampungan dan mengganggu kebun dan ladang mereka. Sebagian ada yang membunuhnya dengan tombak atau perangkat jerat tali kaki, namun 
biasanya dongitan hanya diusir sejauh mungkin dari kebun hingga masuk kembali ke dalam hutan.

Suku Bobongko berbicara dalam bahasa Bobong, yang merupakan bahasa utama bagi masyarakat Bobongko dalam berkomunikasi di antara sesama orang Bobongko. Selain bahasa Bobongko, mereka juga bisa berbicara dalam bahasa Melayu Sulawesi Tengah yang mirip dengan bahasa Melayu Manado.

Suku Bobongko di kepulauan Togean ini hidup berdampingan dengan suku Bajo, yang juga telah lama bermukim di wilayah ini. Di antara mereka terjadi hubungan yang baik, dalam melakukan berbagai kegiatan termasuk dalam hal mencari ikan di laut. Hanya saja mereka menggunakan teknik illegal dalam menangkap ikan. 

Masyarakat suku Bobongko mengelola hutan-hutan sagu yang disebut gonggan pogaluman. Gonggan berarti sekumpulan pohon (termasuk sagu), sedangkan  pogaluman berarti kebersamaan, asal kata mogalom atau bersama. Gonggan pogaluman dikelola dan dimanfaatkan secara bersama oleh beberapa orang Bobongko. Tiap kelompok  Bobongko, baik yang tinggal di Teluk Kilat, Tumbulawa, maupun desa Baulu masing-masing memiliki satu atau lebih areal gonggan pogaluman yang dikelola secara terpisah.

Sagu masih menjadi sumber pangan utama penduduk, meski pun saat ini beras jauh lebih disukai. Sebagian dari  mereka menganggap memakan sagu hanya membuat perut kenyang beberapa saat saja, dibanding jika makan nasi. 

Masyarakat suku Bobongko memanfaatkan berbagai jenis sumberdaya alam yang terdapat di laut dan hutan mangrove, yang menjadi sumber ekonomi bagi penduduk Bobongko. Berbagai jenis ikan, kerang, udang dan biota laut lainnya diambil penduduk sebagai komoditas perdagangan maupun untuk memenuhi kebutuhan pangan mereka. Penangkapan hasil laut melibatkan pula penggunaan teknik penangkapan, mulai dari pancing, jala, rompong, bagang, panah, hingga penggunaan bahan peledak dan potasium sianida.  

sumber bacaan:
sumber lain dan foto:
  • rareplanet.org

Suku Besoa (Behoa), Sulawesi

rumah adat suku Besoa
di desa Doda Kalamba
pic inamuse
Suku Besoa, adalah salah satu suku yang bermukim di kecamatan Lore Tengah kabupaten Poso di provinsi Sulawesi Tengah. Suku Besoa mendiami 8 desa yang tersebar di desa Doda, Bariri, Lempe, Hanggira, Katu, Torire, Rompo dan Talabosa.

Suku Besoa berbicara dalam bahasa Besoa. Suku Besoa memiliki beberapa ragam sub-suku dan dialek bahasa yang tersebar di beberapa kecamatan di kabupaten Poso. Bahasa Besoa walaupun berbeda dengan bahasa suku-suku lain di wilayah ini, seperti suku Napu, tapi masih bisa berkomunikasi dengan suku Napu, dan dengan mudah saling mengerti apa yang dimaksud dalam pembicaraan masing-masing. Tapi apabila berkomunikasi dengan suku-suku lain yang jauh berbeda bahasanya, maka suku Besoa akan menggunakan bahasa Melayu Sulawesi Tengah (bahasa yang mirip dengan bahasa Melayu Manado).

Masyarakat suku Besoa pada umumnya adalah penganut agama Kristen Protestan. Menurut penuturan beberapa pemuka masyarakat Besoa, sejak tahun 1929. Pada tahun 1909, P.Ten Kate, seorang zending ditempatkan di Napu (Kruyt), 1975 :184. Kristen pertama dibabtis di Watutau (Napu) dan Doda (Besoa), dan tahun 1913, seorang pemuda menjadi orang Kristen Pertama di Baptis di Napu (Aditjondro, 1979).

Wilayah suku Besoa ini yang terletak di lembah Besoa sudah lama dikenal sebagai situs purbakala zaman megalithicum. Di kompleks megalith lembah Besoa dapat dijumpai arca, batu dakon, menhir, lumpang batu, palung batu, dolmen dan yang paling terkenal adalah kalamba. Kalamba berfungsi sebagai wadah kubur yang tidak hanya digunakan oleh satu individu saja, tapi juga satu keluarga. Kalamba terdiri dari wadah dan tutup yang terbuat dari batu alam.

Kehidupan suku Besoa adalah rata-rata sebagai petani pada tanaman padi di sawah yang terhampar luas. Produksi beras lokal suku Besoa ini sudah terkenal dengan nama Beras Kamba. Mereka juga membuka perkebunan pada tanaman coklat dan kopi.

sumber:
sumber lain dan foto:
  • inamuse.wordpress.com

Orang Katu, Sulawesi

orang Katu
pic tanah-merdeka
Orang Katu, adalah penduduk desa Katu kecamatan Lore Tengah kabupaten Poso provinsi Sulawesi Tengah. Populasi orang Katu di desa Katu adalah sebesar 226 orang.

Orang Katu, bukanlah merupakan sebuah "suku kecil", dengan kata lain mereka adalah suatu "kelompok kecil" dari suku Besoa. Mereka memiliki beberapa perbedaan kecil dengan sub-suku Besoa lainnya. Menurut orang Besoa, bahwa orang Katu ini adalah bagian dari sub-suku Besoa (Behoa), karena mereka tinggal di daerah bernama Besoa Kakau, oleh karena itu orang Katu inipun disebut juga sebagai orang Besoa Kakau. Menurut orang Katu sendiri mereka memang termasuk bagian dari suku Besoa. Bahasa yang digunakan oleh orang Katu juga termasuk dalam kelompok bahasa Besoa, tapi mereka memiliki dialek dan beberapa perbendaharaan yang berbeda dengan kelompok sub-suku Besoa lainnya.

Pemukiman desa Katu adalah salah satu desa dari 21 desa yang berada di kecamatan Lore Utara. Saat ini menjadi salah satu desa dari 7 desa di kecamatan Lore Tengah kabupaten Poso provinsi Sulawesi Tengah yang berada pada ketinggian 1100 m dpl dan berada di tengah hutan pedalaman.

Orang Katu berbicara menggunakan bahasa Besoa ketika berkomunikasi di antara mereka, atau dengan sesama sub-suku Besoa lainnya, atau orang Napu, suku tetangga mereka yang menggunakan bahasa Pekurehua. Antara orang Besoa dan orang Napu memang dapat berkomunikasi dengan menggunakan bahasa masing-masing.

Tahun 1300 masyarakat adat Katu sudah hidup menyebar di wilayah adatnya, kemudian tahun 1908 Belanda masuk Katu dan memaksa masyarakat katu pindah dari wilayah adat mereka ke suatu tempat yang disebut Bangkeluho, kemudian karena wabah penyakit, masyarakat Katu bergerak kembali ke wilayah adat mereka, kemudian pada tahun 1919 orang Katu dipaksa dipindahkan lagi ke Bangkeluho, tapi masyarakat Katu menolak dan pada tahun 1956 masyarakat Katu mengeluarkan sumpah adat “Totovi Tauna To Ara Iwanua Katu”. Proyek pada tahun 1985 proyek Konservasi Lore Lindu bermaksud memindahkan masyarakat Katu yang ketiga kalinya, tapi masyarakat sudah sepakat dan kembali mengeluarkan sumpah “Iheana Tauna Toi Katu To Barani Mopelahi Wanua Katu, Ina Nadampangi Daana Nunu Dee. (Barang siapa orang Katu yang berani meninggalkan desanya akan ditindis dahan-dahan beringin yang sedang rimbun dan mendapatkan Bala dalam kehidupannya).

Orang Katu adalah penganut agama Kristen Protestan. Menurut penuturan beberapa pemuka masyarakat Besoa, sejak tahun 1929, orang Katu sudah menjadi penganut Kristen. Pada tahun 1909, P.Ten Kate, seorang zending telah ditempatkan di Napu (Kruyt), 1975 :184, kemudian Kristen pertamapun berdiri di Watutau (Napu) dan Doda (Besoa), dan tahun 1913, seorang pemuda menjadi orang Kristen Pertama di Baptis di Napu (Aditjondro, 1979).

Peitua Torae
ketua adat orang Katu
pic pusaka
Segala keputusan adat yang berlaku dalam masyarakat adat Katu diatur berdasarkan musyawarah adat yang dipimpin oleh Ketua Lembaga adat (orang yang dituakan di desa) dan tugas sekretaris mencatat proses musyawarah yang dilakukan dan anggota lembaga adat dan ikut memutuskan dalam musyawarah baik dalam musyawarah adat dalam masalah konflik pengelolaan hutan maupun permasalahan sosial masyarakat adat Katu.

Orang Katu pada umumnya hidup pada bidangi pertanian ladang dan sawa dan berkebun untuk tanaman coklat. Selain itu mereka memanfaatkan hasil hutan untuk mengumpulkan rotan dan apapun yang tersedia di hutan untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka.

sumber:
sumber lain dan foto: