Suku Karo Melayu Pesisir Timur

Suku Karo Melayu Pesisir Timur, adalah suatu masyarakat adat yang wilayah pemukimannya tersebar di daerah pantai Timur Sumatra Utara. 

Komunitas suku ini menyebut diri mereka sebagai suku Melayu Pesisir Timur. Apabila ditilik asal usul komunitas masyarakat ini, dahulunya mereka berasal dari keturunan suku Karo Jae (Karo Bawah), yang sejak ratusan tahun lalu bermigrasi ke wilayah pantai Timur Sumatra Utara. Di wilayah pantai Timur Sumatra ini, mereka lama bermukim dan hidup bersama-sama suku Melayu yang telah berada di wilayah ini. Karena telah sekian lama mereka hidup dan tinggal di wilayah ini, mereka melepas marga dan adat-istiadatnya, yang pada akhirnya mereka menyatu dengan budaya Melayu setempat. Oleh karena itu saat ini mereka pun menyebut diri mereka sebagai suku Melayu Pesisir Timur. 

Dari penuturan para orang tua di masyarakat suku Melayu Pesisir Timur, menceritakan bahwa mereka dulunya memang berasal dari Tanah Karo, tepatnya dari suku Karo Jae. Konon, pada masa lalu mereka mengalami kesulitan hidup di wilayah asal mereka, selain itu sering terjadi konflik di kalangan masyarakat suku Karo Jae, tidak tahan terhadap situasi serba sulit itu, banyak dari mereka yang memilih pindah mencari tempat baru untuk melanjutkan hidup mereka. Dalam perjalanan mereka menyusuri sungai Sunggal dan sungai Deli hingga sampailah ke pesisir pantai timur Sumatra Utara, yang pada masa itu disebut sebagai Sumatra Timur.

Secara fisik mereka memang berbeda dengan suku Melayu Pesisir yang memang berkerabat dengan suku Melayu Riau dan suku Melayu dari Tanah Semenanjung Malaysia. Suku Karo Melayu Pesisir Timur ini berkerabat dengan suku Karo Jae di daerah Deli Serdang dan Langkat. Tetapi setelah sekian lama, mereka pun telah menjadi Melayu, dan menganggap diri mereka sebagai Melayu.

Pada beberapa tahun belakangan ini, terdapat kemajuan pada masyarakat Karo Melayu Pesisir Timur ini, karena beberapa dari mereka mulai mencantumkan kembali marga-marga yang telah lama mereka lepaskan. Beberapa marga yang terdapat pada mereka adalah Surbakti, Kembaren dan Purba telah kembali mereka cantumkan pada identitas mereka. Seperti para Batak Dalle di Sumatera Timur, para Karo Melayu ini pun akhirnya juga mulai banyak yang kembali menyadari asal usul keluarganya. Sejak tahun 1950 sampai sekarang, mulai banyak mereka yang kembali menggunakan Merga (Marga) Karo nya. Akan tetapi budaya, bahasa daerah Karo, dan adat istiadat Karo mereka yang sudah hilang selama beberapa generasi memang sulit untuk dikembalikan. Sehingga mereka tetap diklasifikasikan sebagai warga Karo Melayu Pesisir Timur atau Karo Melayu. Walaupun begitu, mereka tetap menyebut diri mereka sebagai suku Melayu Pesisir Timur. Mereka masih banyak memiliki keluarga yang berada di wilayah Karo Jae seperti di Langkat dan Deli Serdang.

sumber
:
  • enjoyed-kings.blogspot.com
  • tentangbatak.blogspot.com
  • wikipedia
  • dan sumber lain

Suku Aneuk Jamee

suku Aneuk Jamee
Suku Aneuk Jamee, adalah suatu masyarakat adat yang telah lama bermukim di provinsi Aceh, yang tersebar di kabupaten Aceh Selatan, kabupaten Aceh Barat, kabupaten Aceh Barat Daya dan kabupaten Nagan Raya.

Suatu keunikan dari suku Aneuk Jamee ini adalah bahasanya adalah hasil dari pembauran beberapa bahasa yang ada di Sumatra. Apabila didengarkan maka bahasa Aneuk Jamee ini mirip dengan bahasa Minangkabau, juga mirip seperti bahasa Aceh, dan juga mirip dengan bahasa Melayu. Akibat dari kemiripan-kemiripan ini, bahasa Aneuk Jamee sering dianggap sebagai suatu dialek dari bahasa Minangkabau.

Menurut masyarakat Aceh sendiri, bahwa suku Aneuk Jamee ini adalah suku pendatang, walau mereka telah tinggal lama sejak ratusan tahun yang lalu, istilah pendatang tetap melekat pada diri mereka. Tetapi bagi masyarakat Aneuk Jamee sendiri, mengatakan bahwa mereka telah menjadi penghuni wilayah ini sangat lama sekali, sudah sejak beratus-ratus tahun yang lalu.

Suku Aneuk Jamee ini menurut cerita, berasal dari Ranah Minang. Orang Aceh setempat menyebut mereka sebagai "Aneuk Jamee" yang berarti tamu atau pendatang. Umumnya suku Aneuk Jamee terkonsentrasi di kabupaten Aceh Selatan dan kabupaten Aceh Barat Daya . Selain itu terdapat kelompok-kelompok kecil yang menetap di sekitar kawasan Meulaboh, kabupaten Aceh Barat, sekitar kawasan Sinabang, kabupaten Simeulue, kabupaten Aceh Singkil dan kota Subulussalam. Menurut cerita, konon ketika pecahnya perang paderi, para pejuang paderi mulai terjepit oleh serangan kolonial Belanda. Minangkabau yang pada saat itu merupakan bagian dari kerajaan Aceh meminta bala bantuan tentara Aceh. Ketika keadaan makin kritis, rakyat terpaksa dieksoduskan, pada saat itulah rakyat Minangkabau bertebaran di sepanjang pesisir pantai Barat-Selatan Aceh. Umumnya bahasa minang tetap digunakan sebagai bahasa ibu, namun proses perjalanan waktu yang sekian lama telah mengakibatkan bahasa tersebut berasimilasi dengan bahasa Aceh, sehingga jadilah "bahasa aneuk jamee" sebagaimana yang dituturkan saat ini. Di samping banyak menerima serapan kata dari bahasa Aceh, secara umum tidak banyak perubahan, hanya terdapat beberapa konsonan dan vokal serta sedikit dialeknya yang berubah.

senyum seorang anak gadis
suku Aneuk Jamee
 
Orang Aceh menyebut mereka sebagai Aneuk Jamee yang berarti tamu atau pendatang. bahasa yang digunakan bukan bahasa Minang lagi tapi Bahasa Jamee, bahasa yang mirip tapi tidak sama.

Masyarakat Aneuk Jamee sejak awal telah memeluk agama Islam, sehingga kehadiran mereka di wilayah ini tidak mendapat pertentangan dari penduduk setempat. Sampai saat ini mereka hidup rukun dengan suku-suku lain di wilayah ini seperti suku Alas, suku Gayo, suku Singkil dan lain-lain.
Beberapa tradisi budaya suku Aneuk Jamee juga sangat kental dengan aroma Islami nya.

Kehidupan masyarakat suku Aneuk Jamee sehari-hari adalah sebagai petani di ladang, dan juga sebagian sebagai nelayan. Banyak juga dari mereka yang berprofesi sebagai pedagang. Selain itu di halaman rumah mereka kadang memelihara hewan ternak seperti ayam, bebek, kambing dan sapi.

sumber:
sumber lain dan foto:

Suku Batak Mandailing

Tortor
tarian suku Mandailing
Suku Batak Mandailing, adalah salah satu suku yang berada di beberapa kabupaten di provinsi Sumatra Utara, yaitu di kabupaten Mandailing Natal, kabupaten Padang Lawas, kabupaten Padang Lawas Utara dan juga terdapat di kabupaten Tapanuli Selatan.

Suku Batak Mandailing ini berada di antara dua kebudayaan yang besar, yaitu budaya Batak Toba dan budaya Minangkabau. Pada suatu sisi suku Mandailing adalah bagian dari suku Batak, sedangkan suku Minangkabau juga mengklaim bahwa suku Mandailing adalah berasal dari Minangkabau.

Dilihat dari struktur fisik, budaya, tradisi, adat-istiadat serta bahasa pada masyarakat suku Mandailing, justru sangat berkerabat dengan suku Batak Toba dan Batak Angkola, dibanding dengan suku Minangkabau. Selain itu marga-marga yang ada pada suku Mandailing juga banyak yang sama dengan marga-marga pada suku Batak Toba dan Batak Angkola. 
Sedangkan antara suku Mandailing dengan suku Minangkabau, dari struktur fisik, budaya, tradisi, adat-istiadat serta bahasa pada masyarakat suku Mandailing sangatlah berbeda. Mungkin karena pada suku Minangkabau terdapat salah satu suku/marga yang bernama Mandaihiliang, oleh karena itu suku Minangkabau mengklaim bahwa Mandailing berasal dari salah satu marga/suku dari suku Minangkabau tersebut.
Tetapi bagaimana menurut pendapat masyarakat Mandailing ? Menurut mereka, bahwa mereka adalah suatu suku tersendiri, paling tidak saat ini. Mengenai asal usul, bisa dari mana saja, Bisa saja dahulu mereka memang bersaudara dengan suku Batak Toba maupun Batak Angkola, karena segala budaya, adat-istiadat dan bahasa memang lebih dekat ke Batak Toba dan Batak Angkola. Tetapi saat ini mereka agak enggan disebut "Batak", cukup dengan "Mandailing" saja. Karena istilah "batak" menurut anggapan orang banyak berarti "Batak Toba". "Oleh karena itu saat ini sebutlah kami sebagai 'Mandailing' saja", sebut mereka. 

perkampungan suku Mandailing
Sedangkan dengan Minangkabau, menurut mereka, pada masa dahulu, pada masa Perang Paderi, banyak dari orang-orang Mandailing yang hijrah ke daerah Minangkabau, dan hidup berbaur dengan adat istiadat Minangkabau, di sana mereka membuang marga aslinya, dan kelompok orang Mandailing di sana disebut sebagai orang Mandaihiliang, yang disesuaikan dengan lidah orang Minangkabau yang "susah" menyebut Mandailing, sebutan mereka pun menjadi Mandaihiliang. Akhirnya, jadilah orang-orang Mandailing yang hidup di tanah Minangkabau menjadi suatu suku di Minangkabau, yang disebut sebagai suku Mandaihiliang. Berarti, justru orang-orang Mandaihiliang di Minangkabau berasal dari Mandailing, bukan sebaliknya.

Ada versi lain yang menceritakan, bahwa dahulu di wilayah Mandailing ini ada sebuah kerajaan dari India bernama Kerajaan Holing atau Kalingga sekitar abad 12 Masehi. Istilah "Mandailing", dihubungkan-hubungkan dengan kata Mandala dan Holing. Kerajaan India ini telah berdiri sekian lama dan telah membentuk koloni yang berbaur dengan penduduk setempat, pemukiman dan pendudukan kerajaan ini diperkirakan terbentang dari Portibi hingga Pidoli. Wilayah pendudukan Kerajaan Holing ini disebut sebagai Tanah Mandala Holing, yang akhirnya menjadi Mandailing. Setelah sekian lama di tempat ini dan terjadi pembauran dengan penduduk setempat, terbentuklah suatu komunitas yang disebut suku Mandailing.

Suku Mandailing sebenarnya memiliki beberapa sub-suku, yang mana sub-suku tersebut saat ini pun telah melepaskan diri dari bagian "Mandailing", nya sendiri, dan menyatakan sebagai suku tersendiri.
Beberapa sub suku Mandailing tersebut adalah:
  • Padang Lawas/ Padang Bolak
  • Siladang
  • Pasisi
  • Orang Ulu
  • Rao
  • Rokan
tarian suku Mandailing
Pada adat istiadat suku Mandailing semuanya tertulis dan diatur dalam Surat Tumbaga Holing (Serat Tembaga Kalinga). Aksara Tulak-Tulak, suatu aksara yang terpelihara dalam masyarakat Mandailing, yang merupakan varian dari aksara Proto-Sumatera, yang berasal dari huruf Pallawa, Suku Mandailing mempunyai aksara yang dinamakan urup tulak-tulak dan dipergunakan untuk menulis kitab-kitab kuno yang disebut pustaha (pustaka). Hal ini sama dengan suku-suku Batak lainnya yang juga memiliki aksara sendiri. Hal ini berbeda dengan suku Minangkabau yang tidak memiliki aksara. 
Aksara yang disebut pustaha ini banyak berisi catatan pengobatan tradisional, ilmu-ilmu gaib, ramalan-ramalan tentang waktu yang baik dan buruk serta ramalan mimpi.

Suku Mandailing secara mayoritas memeluk agama Islam, yang dibawa oleh pasukan Paderi dari Minangkabau yang mengislamkan Tanah Batak di bagian Selatan. Wilayah Mandailing pada masa lalu diserang pasukan Paderi yang menginvasi wilayah Mandailing yang hidup sebagai petani. Akibat dari serangan pasukan Paderi Minangkabau ini, sebagian masyarakat Mandailing melarikan diri menyeberang ke wilayah Malaysia untuk menyelamatkan diri, dan yang bertahan harus tunduk di bawah kekuasaan pasukan Paderi yang demi mempertahankan hidup, mereka memeluk agama Islam. Hanya sebagian kecil yang bertahan di wilayah tersebut yang tetap mempertahankan agama asli mereka seperti pelbegu dan malim, yang pada akhirnya, para misionaris Belanda datang dan menyebarkan agama Kristen di kalangan mereka.

Dalam sistem kekerabatan suku Mandailing, menganut paham partrilineal, yaitu anak mewarisi marga sang ayah, tetapi belakangan ini beberapa mulai ada yang menjalankan pahan matrilineal, yaitu sang anak mewarisi marga sang ibu. Apa yang terjadi pada suku Mandailing ini sungguh unik, karena dalam kehidupan keseharian mereka, sang anak diberi kebebasan ingin memilih marga sang ayah atau sang ibu. Tetapi suatu adat lama yang masih dipegang teguh oleh mereka adalah adat Dalihan Na Tolu yang mengatur berbagai tata cara adat istiadat suku Mandailing.

Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Mandailing, hidup sebagai petani di ladang, dan bercocok tanam berbagai tanaman seperti sayuran, serta tanaman keras, seperti kopi arabica, karet dan lain-lain.

sumber:
  • nasaktion.wordpress.com
  • tempo.co
  • okezone.com
  • tvmedan.com
  • wikipedia
  • dan sumber lain
sumber foto:
  • jakarta.okezone.com
  • griyawisata.com
  • pariwisatasibolga.com

Suku Julu

Suku Julu, adalah suatu komunitas suku yang berada di kabupaten Aceh Singkil daratan. Suku Julu ini sering disebut sebagai bagian dari suku Singkil, kadang disebut juga sebagai bagian dari kelompok suku Pakpak, selain itu mereka disebut juga sebagai bagian dari suku Boang.

Menurut penuturan beberapa masyarakat suku Boang, dahulu mereka memang berasal dari daerah Boang Pakpak, tetapi mereka telah lama tinggal di wilayah ini, dan mereka berbeda agama dengan suku Boang yang berada di wilayah kabupaten Pakpak Bharat. Jadi mereka lebih suka kalau disebut sebagai orang Julu atau suku Julu, dan beberapa malah menyatakan mereka berbeda dengan suku Boang. Selain itu mereka juga tidak mau disebut sebagai bagian dari suku Singkil. Mereka menyatakan bahwa mereka adalah suku Julu, bukang Boang apalagi Singkil.
Walaupun saat ini mereka telah menyatakan terpisah dari suku Pakpak, dan telah berdiri sendiri sebagai suatu suku tersendiri, yang memiliki bahasa dan budaya sendiri, tetapi biar bagaimanapun juga yang pasti mereka berasal dari rumpun yang sama dengan suku Pakpak,
Secara budaya, suku Julu ini berbeda dengan suku Singkil, serta bahasa yang diusung oleh suku Julu, juga lebih dekat dengan bahasa Pakpak. Hal ini menunjukkan bahwa suku Julu memang berkerabat atau berasal dari suku Batak Pakpak.

Suku Julu saat ini sebagian besar memeluk agama Islam, akibat pengaruh dari budaya dan tradisi masyarakat di kabupaten Aceh Singkil yang pada umumnya beragama Islam. Tetapi adat dan budaya suku Julu sampai saat ini masih tetap dipertahankan, walaupun sudah agak terpengaruh oleh budaya Islam.

Suku Julu sebagian besar hidup sebagai petani di dataran tinggi, seperti bertanam sayur-sayuran, dan berbagai jenis tanaman lain.

sumber:
  • harian-aceh.com
  • wikipedia
  • dan sumber lain

Suku Tamiang

suku Tamiang
Suku Tamiang, adalah suatu kelompok masyarakat yang berada di kabupaten Aceh Tamiang, yaitu di kecamatan Karang Baru, kecamatan Kejuruan Muda, Kecamatan Kota Kuala Simpang, kecamatan Seruway, kecamatan Tamiang Hulu dan kecamatan Bendahara.

Bahasa Tamiang memiliki kesamaan bahasa dengan bahasa masyarakat suku Melayu Langkat yang berada di kabupaten Langkat provinsi Sumatera Utara. Dan juga budaya yang diusung oleh suku Tamiang juga mirip dengan budaya suku Melayu Langkat.

Masyarakat Tamiang pada mulanya mendiami beberapa kecamatan yang tersebar di kabupaten Aceh Timur, yang pada tahun 2002 berganti nama menjadi kabupaten Aceh Tamiang. Pemberian nama Aceh Tamiang dikarenakan wilayah ini dihuni oleh mayoritas etnis Tamiang.



senyum manis dari penari
tari ula-ula lembing
suku Tamiang
Asal usul masyarakat etnis Tamiang, belum dapat dipastikan, karena tidak adanya bukt-bukti sejarah secara tertulis yang akurat untuk menjelaskan asal muasal suku bangsa Tamiang ini.
Beberapa cerita rakyat dan legenda yang ada pada masyarakat Tamiang pun dijadikan petunjuk untuk menelusuri asal usul suku Tamiang ini. Salah satunya terdapat legenda yang mengisahkan bahwa nama Tamiang berasal dari nama salah satu gugusan pulau yang terletak di Riau, yang konon merupakan daerah asal nenek moyang mereka.
Cerita lain mengatakan bahwa suku Tamiang berasal dari keturunan 
sebuah kerajaan yang bernama Kerajaan Aru. Kerajaan Aru adalah sebuah kerajaan yang berada di pantai sebelah timur pulau Sumatra. 

Menurut perkiraan beberapa penulis di jalur web, mengatakan bahwa suku Tamiang ini diperkirakan dahulunya adalah pendatang dari tanah Melayu, seperti dari Sumatra Timur dan Riau, yang bermigrasi ke wilayah ini. Di wilayah ini beberapa melakukan perkawinan campur dengan penduduk setempat yang sudah ada di wilayah tersebut, yang akhirnya membentuk suatu komunitas tersendiri dengan budaya dan bahasa tersendiri.

Adapun daerah yang banyak dihuni oleh masyarakat Tamiang dapat dikelompokkan dalam dua bagian. Pertama, daerah yang terletak pada bagian barat dari Kabupaten Aceh Timur, yang terdiri dari Kecamatan Karang Baru, Kecamatan Kejuruan Muda dan Kecamatan Tamiang Hulu. Kedua, yang terletak pada daerah pantai, pemukiman penduduk berada di antara daerah yang berawa-rawa dan berhutan bakau. Sedangkan daerah pedalaman yang menjadi daerah pemukimannya adalah daerah yang berdekatan dengan hutan alam dan daerah perkebunan besar, seperti karet dan kelapa sawit.


tarian suku Tamiang
Di Tanah Tamiang ini pernah berdiri sebuah kerajaan, yang bernama Kerajaan Benua Tamiang. Seperti halnya dengan Peureulak demikian juga dengan Tamiang; artinya sampai saat ini belum terdapat kesamaan pendapat mengenai kapan masuk, berkembang dan tumbuhnya kekuatan politik Islam di sana. Menurut A.Hasjmy raja pertama yang memerintah di kerajaan Islam Benua Tamiang ialah Raja Meurah Gajah (580-599 H = 1184-1203 M) dan raja yang terakhir ialah Raja Muda Sedia (753-800 H = 1353-1398 M). Sedang menurut Majelis Ulama Kabupaten Aceh Timur, raja pertama yang memerintah di sana ialah Raja Muda Sedia (1330-1352 M) dan raja terakhir ialah Raja Po Garang (1490-1528 M); setelah masa pemerintahannya, yaitu pada masa pemerintahan Raja Sri Mengkuta (1528-1558 M). Kerajaan benua Tamiang digabungkan ke dalam federasi Kerajaan Aceh Darussalam yang mulai dibangunkan pada tahun 1514 oleh Sultan Ali Mughayat Syah (sultan yang pertama, 1514-1530 M). Tampaknya pendapat dari Majelis Ulama Kabupaten Aceh Timur searah dengan pendapat yang dikemukakan oleh H.M. Zainuddin dalam bukunya “Tarich Atjeh dan Nusantara".

Masyarakat suku Tamiang, hidup pada bidang pertanian, seperti bertani dan bercocok tanam di ladang. Selain itu mereka juga memelihara beberapa hewan ternak seperti ayam, bebek, kambing dan sapi. Saat ini kehidupan masyarakat Tamiang sudah lebih maju, karena banyak yang sudah bekerja di sektor pemerintahan dan juga di sektor swasta seperti berdagang atau membuka usaha mandiri.


sumber:
  • harian-aceh.com
  • dirmanmanggeng.wordpress.com
  • foto: tanohaceh.com
  • foto: flickr.com
  • wikipedia
  • dan sumber lain

Marga Suku Alas

Suku Alas, adalah suatu suku yang bermukim di dataran tinggi Bukit Barisan, yang berada di kabupaten Aceh Tenggara (yang lazim disebut Tanah Alas).

Sejak abad ke-18 dan 20, wilayah Tanah Alas banyak dimasuki para pendatang dari luar daerah, seperti dari Gayo, Aceh, Singkil, Pak-Pak, Karo, Toba, Minang, Mandailing dan China. Karena banyaknya para pendatang tersebut, maka masyarakat suku Alas kembali menampakkan identitas nya untuk membedakan masyarakat mereka dengan para pendatang, dengan mencantumkan nama marga (merge) di belakang nama depan mereka.

Marga pada suku Alas, adalah:
  • Selian
  • Sekedang
  • Beureueh
  • Pinem
  • Mahe
  • Acih
  • Seucawan
  • Ramut
  • Deski
  • Klieng
  • Sambo
  • Bangko

sumber:
  • harian-aceh.com
  • wikipedia
  • dan sumber lain

Suku Sigulai

pantai Sigulai
Suku Sigulai, kadang disebut juga sebagai suku Salang, adalah suatu komunitas suku yang mendiami pulau Simalur bagian utara. Suku Sigulai ini sebagian besar bermukim di kecamatan Simalur Barat dan kecamatan Alafan. Mereka juga mendiami sebagian desa di kecamatan Salang, kecamatan Teluk Dalam dan kecamatan Simalur Tengah.

Suku Sigulai termasuk salah satu suku asli di kepulauan Simalur ini, bersama-sama dengan suku Devayan, Lekon dan Haloban. Tidak adanya sejarah asal usul suku Sigulai ini secara tertulis, sehingga tidak diketahui secara pasti asal usul suku Sigulai ini. Hanya saja beberapa perkiraan para penulis di beberapa situs di web, mengatakan bahwa suku Sigulai ini dahulu berasal dari tempat yang sama dengan suku Devayan, Lekon, Haloban dan Nias serta Mentawai. Karena secara fisik suku Sigulai ini termasuk ke dalam ras mongoloid yang dahulunya bermigrasi ke wilayah ini bersama-sama suku Nias, Mentawai, Devayan, Lekon dan Haloban, dan tersebar-sebar ke beberapa wilayah di pulau dan kepulauan di sebelah barat pulau Sumatra. Salah satunya suku Sigulai ini yang menetap di daerah ini sampai sekarang.

Masyarakat suku Sigulai mayoritas telah memeluk agama Islam yang begitu kuat mempengaruhi wilayah ini, sehingga beberapa seni-budaya suku Sigulai terasa nilai-nilai Islami nya.

Bahasa Sigulai, masih berkerabat dengan bahasa Devayan, juga dengan bahasa Lekon dan Nias. Walaupun berbeda tetapi masih terdapat kemiripan dalam perbendaharaan kata serta dialeknya. Bahasa Sigulai sendiri saat ini berada di tengah-tengah dominasi bahasa Aneuk Jamee yang menjadi bahasa pengantar di wilayah ini. Selain bahasa Aneuk Jamee, bahasa Aceh juga turut mempengaruhi kehidupan berbahasa suku-suku asli di pulau Simalur ini. Sehingga kalangan generasi muda suku Sigulai cenderung berbicara dalam bahasa Aneuk Jamee dalam kehidupan pergaulannya. Bahasa Sigulai sendiri, tinggal diucapkan di wilayah perkampungan, di rumah-rumah dan kalangan suku Sigulai saja.

Kehidupan suku Sigulai dalam kesehariannya rata-rata sebagai nelayan dan sebagian memilih sebagai petani di ladang.

sumber:



  • harian-aceh.com
  • foto: obeytea.blogspot.com
  • wikipedia
  • dan sumber lain

Suku Lekon

Suku Lekon, adalah suatu masyarakat adat yang terdapat di kecamatan Alafan kepulauan Simalur (Simeulue) di provinsi Aceh. Suku ini bermukim di desa Lafakha dan desa Langi.

Suku Lekon ini diperkirakan hadir di kepulauan Simalur ini bersama-sama dengan suku Devayan, Sigulai dan Haloban, juga beserta suku Nias, Mentawai dan Enggano, yang pada perjalanan migrasi bangsa Proto Malayan dari daratan Indochina pada sekitar 7000 tahun yang lalu. Tersebar-sebar di beberapa pulau dan kepulauan yang membentuk komunitas suku-suku tersendiri. Tidak diketahui secara pasti, apakah mereka dahulunya berasal dari satu komunitas atau memang sejak awal sudah menjadi beberapa etnis yang berbeda. Tetapi apabila dilihat dari kemiripan bahasa antara bahasa Lekon dengan bahasa Devayan, juga dengan bahasa Nias, diperkirakan dahulunya mereka berasal dari suatu tempat yang sama atau juga berasal dari satu etnis yang sama. Hanya saja, karena telah terpisah-pisah sekian lama, maka bahasa dan adat-istiadat mereka pun mengalami perubahan.

Secara fisik suku Lekon ini berbeda dengan suku Aceh yang menjadi mayoritas di provinsi ini. Karena suku Lekon ini memiliki ciri-ciri fisik berkulit kuning dan bermata agak sipit, yang menunjukkan bahwa mereka termasuk ke dalam ras mongoloid, seperti suku Devayan, Sigulai, Haloban, Nias, Mentawai dan Enggano.
Bahasa Lekon sering dianggap sebagai dialek dari bahasa Devayan, karena terdapat banyak kemiripan dari perbendaharaan kata dan dialek. Bahasa Lekon, saat ini terdesak oleh bahasa Aneuk Jamee yang lebih mudah diucapkan, sehingga mempengaruhi generasi muda Lekon untuk lebih suka berbicara dalam bahasa Aneuk Jamee yang menjadi bahasa pengantar di wilayah kepulauan Simalur ini. Suku Aneuk Jamee, adalah komunitas pendatang campuran suku Minang, Melayu dan Aceh, yang juga telah lama menetap di wilayah ini. Perkembangan suku Aneuk Jamee sangat pesat dalam berkembang biak, sehingga bahasa Aneuk Jamee pun pesat mempengaruhi kehidupan suku-suku asli di kepulauan Simalur ini. Masyarakat suku Lekon selain bisa berbicara dalam bahasa Aneuk Jamee, mereka juga bisa berbicara dalam bahasa Devayan.

Masyarakat suku Lekon, biasanya dalam kegiatan sehari-hari hidup sebagai nelayan, tetapi ada juga yang lebih memilih untuk bertani di ladang. Selain itu mereka juga memelihara hewan ternak seperti ayam, bebek, kambing dan sapi.

sumber:
  • dari berbagai sumber
  • dan wikipedia

Suku Haloban

perkampungan nelayan suku Haloban
Suku Haloban, adalah suatu komunitas suku yang bermukim di kabupaten Aceh Singkil, tepatnya berada di kecamatan Pulau Banyak. Kecamatan Pulau Banyak merupakan suatu kecamatan yang terdiri dari tujuh desa dengan ibukota kecamatan terletak di desa Pulau Balai.

Suku Haloban ini hidup di kepulauan Banyak, yang berada di pesisir sebelah barat pulau Sumatra. Mereka adalah penghuni asli di kepulauan Banyak ini. Secara fisik dan ras mereka berbeda dengan suku Aceh yang menjadi mayoritas di provinsi Aceh. Mereka memiliki ras mongoloid, berkulit kuning dan bermata agak sipit, seperti penduduk dari pulau Nias dan Mentawai.
Di pulau Banyak ini, suku Haloban hidup berdampingan dengan suku pendatang yang telah lama menetap di wilayah ini, seperti suku Aneuk Jamee dan suku Nias.

masyarakat Haloban
Suku Haloban berbicara dalam bahasa Haloban, yang masih berkerabat dekat dengan bahasa Devayan di pulau Simalur (Simeulue), dan juga dengan bahasa Nias di kepulauan Nias.  Bahasa Haloban sendiri saat ini  hampir tergeser oleh bahasa para pendatang yang semakin banyak memenuhi wilayah pulau Banyak ini. sehingga bahasa Haloban saat ini hanya digunakan di rumah-rumah atau di kalangan mereka sendiri. Sedangkan para generasi mudanya banyak yang lebih suka berbicara dalam bahasa Aneuk Jamee atau bahasa Aceh.

Asal usul suku Haloban ini diperkirakan datangnya bersama-sama dengan nenek moyang suku Nias, Mentawai dan Enggano, juga dengan suku Devayan, Sigulai dan Lekon. Pada masa sekitar 7000 tahun yang lalu mendarat dan tersebar di pulau-pulau sebelah barat pulau Sumatra. Dapat dilihat dari struktur fisik dan bahasa terdapat banyak kemiripan. Hanya saja budaya suku Haloban saat ini sudah terpengaruh dari budaya Islam yang menggeser budaya asli suku Haloban.

Suku Haloban secara mayoritas telah memeluk agama Islam yang pada masa lalu begitu kuat mempengaruhi wilayah ini. Beberapa adat istiadat dan seni-budaya suku Haloban banyak dipengaruhi oleh budaya Islam, yang dibawa oleh pendatang-pendatang dari Aceh dan Minang.
Selain agama Islam yang menjadi mayoritas di pulau Banyak ini, terdapat juga agama Kristen yang dianut oleh suku Nias yang berada di desa Sialit. Walaupun di daerah ini terdapat dua kelompok agama, tetapi kerukunan beragama sangat terjaga dan harmonis di wilayah ini.

karamba ikan milik suku Haloban
Kehidupan sehari-hari suku Haloban ini adalah sebagai nelayan dan petani. Mereka menanam berbagai macam tanaman untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka sehari-hari. Selain itu mereka juga memelihara beberapa hewan ternak seperti ayam, bebek, kambing dan sapi.

sumber:
  • harian-aceh.com
  • foto: kepulauanbanyak.blogspot.com
  • foto: acehoceancoral.org
  • wikipedia
  • dan sumber lain

Suku Batak Alas

Tari Saman, suku Alas
Suku Batak Alas, adalah salah satu komunitas suku yang bermukim di kabupaten Aceh Tenggara, yang disebut oleh masyarakat Alas sebagai Tanah Alas. Suku Alas ini hidup di dataran tinggi Bukit Barisan, yang dilalui banyak sungai, salah satunya adalah Lawee Alas (sungai Alas).

Menurut para peneliti bahwa suku Alas ini dikelompokkan ke dalam rumpun Batak, beserta suku Pakpak, Karo, Toba, Kluet dan lain-lain. Diperkirakan suku Alas ini justru lebih tua dari suku Batak lain, yang datang pada gelombang pertama kelompok Proto Malayan yang menyebar di Tanah Alas sekarang ini.

Suku Alas ini berbeda dengan suku Aceh yang menjadi mayoritas di provinsi Aceh ini, dari struktur fisik dan bahasa sangat berbeda. Bahasa Alas sendiri masih berkerabat dengan bahasa Gayo, Karo, Singkil, Toba dan Pakpak serta Kluet. Dalam kehidupan sehari-hari, suku Alas ini tidak mau disebut sebagai orang Aceh, mereka menyatakan bahwa mereka justru lebih tua dari suku Aceh, tetapi mereka mengaku memiliki hubungan kerabat dengan suku Gayo, Karo, Toba, Singkil, Pakpak dan Kluet.

Sejak abad ke-18 dan 20 penduduk Tanah Alas semakin bertambah karena migrasi atau kedatangan penduduk dari luar daerah Alas, diantaranya dari Gayo Lues, Aceh, Singkil, Pak-Pak, Karo, Toba, Minang, Mandailing dan China. Karena sebagian besar para pendatang ini memiliki marga-marga sebagai identitas, maka suku Alas menampakkan kembali marga-marga mereka untuk membedakan mereka dengan suku-suku pendatang tersebut. Marga (Merge) yang terdapat di pada masyarakat Alas antara lain adalah Selian, Sekedang, Beureueh, Pinem, Mahe, Acih, Seucawan, Ramut, Deski, Klieng, Sambo dan Bangko.

Gampong atau desa dalam orang Alas disebut kute. Suatu kute biasanya didiami oleh satu atau beberapa klan, yang disebut merge. Anggota satu merge berasal dari satu nenek moyang yang sama. Pola hidup kekeluargaan mereka adalah kebersamaan dan persatuan. Mereka menarik garis keturunan patrilineal, artinya anak mewarisi nama marga dari keturunan laki-laki. Mereka juga menganut adat eksogami merge (jodoh harus dicari di merge lain).

Masyarakat suku Alas mayoritas adalah pemeluk agama Islam. Mereka menjalankan syariat agama Islam dengan taat. Pengaruh Islam sangat kuat dalam kehidupan masyarakat suku Alas. Beberapa kesenian suku Alas terlihat banyak dipengaruhi oleh budaya Islam.

Seni budaya, Kabupaten Aceh Tenggara memiliki kekayaan budaya tersendiri yang berbeda dengan daerah lain di Aceh. Kesenian tradisional yang telah mendunia adalah Tari Saman yang sering disebut Tari Tangan Seribu.

Seni perang adat alas yang memakai rotan sebagai alat dan tameng, dengan cara saling memukul terhadap lawan. Biasanya sering dilakukan dalam upacara untuk menyambut tamu kehormatan. Kesenian yang menggunakan seruling sebagai medianya. Sering dilantunkan dalam acara adat seperti jagai, sebagai musik pengiring dalam acara perkawinan namun hal ini masih sering didengar walaupun sudah jarang orang yang bisa memainkannya.

Masyarakat suku Alat sebagian besar berada di pedesaan, bermatapencaharian dari pertanian dan peternakan. Tanah Alas merupakan lumbung padi untuk daerah Aceh. Tapi selain itu mereka juga berkebun karet, kopi dan kemiri, serta memanfaatkan hutan untuk mencari berbagai hasil hutan, seperti kayu, rotan, damar dan kemenyan. Selain itu mereka juga memelihara ternak seperti bebek, ayam, kuda, kambing, kerbau dan sapi.

sumber:
  • harian-aceh.com
  • foto: clupst3r.wordpress.com
  • wikipedia
  • dan sumber lain

Suku Mantee

Suku Mantee, (Mante), adalah suatu suku yang diperkirakan hidup di hutan pedalaman provinsi Aceh. Suku Mantee ini adalah suatu suku yang misterius, karena keberadaannya sampai saat ini hanyalah berdasarkan cerita dari penduduk yang mengaku pernah melihatnya di tengah hutan pedalaman.

Banyak penduduk mengaku pernah melihat suku ini, tetapi tidak berlangsung lama, karena suku Mantee ini begitu bertemu dengan orang asing, atau orang di luar komunitas mereka, maka mereka akan langsung lari bersembunyi masuk ke dalam hutan. Suku Mantee ini tidak mau melakukan kontak hubungan dengan penduduk lain.

Ukuran tubuh suku Mantee ini di luar lazimnya manusia biasa, karena suku Mantee ini hanya berukuran kurang lebih semeter, alias bertubuh kerdil, atau kira-kira seukuran tubuh anak usia 6 tahun. Memiliki kulit berwarna hitam dan berambut ikal. Ciri-ciri fisik seperti ini mengingatkan kita kepada suku Pigmi di Afrika. Tetapi suku Mantee ini bukanlah ras negroid seperti suku Pigmi, melainkan memiliki ras weddoid, seperti suku Kubu di Jambi, hanya saja berukuran tubuh kecil.

Keberadaan suku Mantee ini, pada awalnya hanya dianggap sebagai cerita-cerita rakyat saja, yang biasa muncul dari satu mulut ke mulut yang lain. Tetapi belakangan hal ini mulai menarik perhatian beberapa penulis di media internet untuk membahas tentang suku Mantee ini. Walaupun data yang dibutuhkan tidak ada, melainkan hanya dari cerita dari mulut ke mulut saja.

diolah dari berbagai sumber

Suku Devayan

suku Devayan
Suku Devayan, adalah salah satu suku minoritas di provinsi Aceh. Hidup di pulau Simalur (Simeulue) yang berada di sebelah barat pulau Sumatra. Suku Devayan ini mendiami kecamatan Teupah Barat, Simeulue Timur, Simeulue Tengah, Teupah Selatan dan Teluk Dalam.

Secara ras, suku Devayan ini berbeda dengan suku Aceh yang menjadi mayoritas di provinsi Aceh. Suku Devayan ini memiliki bahasa sendiri, yaitu bahasa Devayan. Suku Devayan ini secara fisik mirip dengan suku Nias dan Mentawai yang mendiami kepulauan Nias di Sumatra Utara. Ciri-ciri kulit berwarna kuning, mata agak sipit, menjelaskan bahwa suku Devayan ini termasuk ke dalam ras mongoloid. Ciri-ciri ini dimiliki hampir seluruh penduduk yang mendiami pulau dan kepulauan di pesisir sebelah barat pulau Sumatra. Bahasa Devayan sendiri masih berkerabat dengan bahasa Nias, dari segi dialek dan perbendaharaan kata banyak terdapat kemiripan.
Saat ini bahasa Devayan, sedang terancam kepunahan, karena generasi muda suku Devayan sepertinya lebih suka berbicara menggunakan bahasa Aneuk Jamee yang menjadi bahasa pengantar di wilayah ini. Sedangkan bahasa Devayan sendiri hanya digunakan di rumah-rumah atau di kalangan suku Devayan saja.

Asal usul suku Devayan ini diperkirakan pada awal kedatangannya kira-kira 7000 tahun yang lalu, pada perjalanan migrasinya melintas dari sebelah barat pulau Sumatra dan tersebar di pulau-pulau yang berada di sebelah barat pulau Sumatra. Datang bersama-sama dengan suku-suku yang berada di pulau kepulauan di pesisir sebelah barat pulau Sumatra, seperti suku Nias, Mentawai dan Enggano.

Di pulau Simalur, suku Devayan hidup berdampingan dengan suku Haloban, suku Sigulai dan suku Lekon. Selain itu ada juga kelompok pendatang keturunan campuran Minangkabau dan Melayu yang telah tinggal lama di pulau Simalur tersebut, yang disebut suku Aneuk Jamee.

Suku Devayan saat ini mayoritas memeluk agama Islam. Agama Islam berkembang dengan kuat di pulau Simalur ini, yang menjadi agama mayoritas seluruh penduduk di pulau Simalur.

Suku Devayan kebanyakan bermata pencaharian sebagai nelayan, dan juga bertani pada ladang tanah kering. Mereka juga menanam tanaman keras seperti kelapa, ubi dan lain-lain. Selain itu tidak sedikit dari masyarakat suku Devayan yang telah bekerja di sektor pemerintahan dan swasta, dan juga sebagai guru dan pedagang.


diolah dari berbagai sumber

foto: ranselkosong.com

Suku di Madagascar

Madagascar, sebuah pulau di Afrika, yang dihuni oleh bermacam-macam suku bangsa. Menurut salah satu teori, sekolompok orang yang berasal dari kepulauan di Asia Tenggara, dari Semenanjung Malaysia atau dari Indonesia bermigrasi melintasi sepanjang pantai Asia selatan, ke seluruh Semenanjung Arab ke pantai timur Afrika dan, akhirnya, melintasi Selat Mozambik sampai ke Madagaskar. Gelombang migrasi ini secara bertahap bersamaan dengan kedatangan beberapa kelompok orang-orang dari daratan India dan Afrika, yang berinteraksi secara bertahap antara populasi Asia dan Afrika. Sebuah teori yang kedua menekankan keragaman bangsa yang mendiami Madagaskar. Para pendatang dari kepulauan Asia Tenggara tiba dan menetap di dataran tinggi, serta kedatangan orang-orang Afrika sebagai akibat dari tren migrational normal dan munculnya perdagangan budak.

Masyarakat di Madagaskar, sangat homogen dalam berbahasa. Selain memiliki bahasa etnis masing-masing, dalam berkomunikasi dengan suku lain, mereka menggunakan bahasa Malagasi. Karena adanya bahasa pengantar di antara mereka ini, menciptakan kesatuan unsur-unsur budaya yang mempersatukan rakyat Malagasi dan memberi identitas "panislandic". Sistem kekerabatan di mana keturunan dapat ditelusuri melalui baik dari pihak ayah atau garis ibu. Istilah kekerabatan yang sama digunakan oleh semua masyarakat di Madagascar. Unsur penting kedua adalah sentralitas menghormati kehidupan (razana) mati ke sosial, moral, dan agama rakyat. Makam dan upacara yang berkaitan dengan mereka adalah ciri yang menonjol dari kedua lanskap dan cara hidup rakyat. Sebuah fitur penting yang ketiga adalah pembagian masyarakat di Madagascar menjadi tiga strata relatif kaku: bangsawan, rakyat jelata, dan budak (atau keturunan budak). Elemen umum lainnya termasuk sunat anak, praktek astrologi dan ramalan, dan konsep tertentu yang berkaitan dengan otoritas, seperti Hasina (suci, atau yang memberi hidup, kekuasaan), yang sah posisi otoritas politik dan keluarga.

Suku-suku di Madagascar
  • Antaifasy (orang-orang dari pasir) , Utara Madagaskar: dekat Diego Suarez. 
  • Antaimoro (orang-orang dari pantai), Southeastern Madagaskar: dekat Vohipeno dan Manakara. 
  • Antankarana (orang batu), Utara Madagaskar: dekat Diego Suarez. 
  • Antambahoaka (mereka rakyat), Southeastern Madagaskar: Mananjary dekat. 
  • Antrandroy (orang-orang dari duri), Selatan Madagaskar: Ambovombe dekat. 
  • Antanosy (orang-orang pulau), Selatan Madagaskar: dekat Taolagnaro (Dauphin ft). 
  • Bara, selatan tengah Madagaskar: Isalo dekat, Ihosy dan Betroka 
  • Betsileo (orang yang tidak terkalahkan), Southern-sentral dataran tinggi Madagaskar: terutama di sekitar Fianarantsoa tetapi juga kelompok sempalan di wilayah Betsiboka 
  • Betsimisaraka (tak terpisahkan), Timur Madagaskar: Toamasina untuk Antalaha 
  • Bezanozano (anyaman kecil Banyak), Tengah dataran tinggi dan timur Madagaskar: daerah antara dataran rendah Betsimisaraka dan dataran tinggi Merina 
  • Mahafaly (Mereka yang membuat tabu), Barat Daya Madagaskar: padang pasir sekitar Ampanihy dan Ejeda 
  • Makoa atau Mikea, Barat Madagaskar. 
  • Merina (orang-orang dari dataran tinggi), Tengah dataran tinggi Madagaskar. 
  • St Marians, Ile Ste Marie (Nosy Boraha) 
  • Sakalava (orang-orang dari lembah panjang), Barat Madagaskar; luas di wilayah ini. 
    • Vezo [sub-suku Sakalava], Barat Daya Madagaskar: daerah pesisir
    • Antaisaka [sub-suku Sakalava], Selatan Madagascar, dekat Farafangana
  • Sihanaka (orang-orang dari rawa-rawa), Northeastern Madagaskar: sekitar Danau Alaotra 
  • Tanala: Ikongo dan Menabe (Orang hutan), Timur Madagaskar: Manakara dekat 
  • Tsimihety (Mereka yang tidak memotong rambut mereka), Utara Madagaskar.
  • Zafimaniry, Selatan tengah Madagaskar: dataran tinggi dekat Ambositra, di Madagaskar Zafimaniry woodworking ingat hutan hilang: Dalam perbukitan dataran tinggi tenggara Madagaskar tinggal seorang sekelompok orang yang dikenal sebagai Zafimaniry, atau "masyarakat hutan." Zafimaniry ini adalah pematung terkenal dari kayu dan tradisional, hampir setiap anggota masyarakat terlibat dalam beberapa aspek pertukangan dan cabinetmaking. Rumah pictureque mereka dirakit sepenuhnya tanpa kuku dan, bersama dengan makam mereka, furnitur, peralatan dan benda sehari-hari, yang diukir dengan pola geometris yang menarik yang "sangat dikodifikasi, yang mencerminkan asal-usul Polinesia masyarakat dan pengaruh-pengaruh budaya Arab di Malagasi".

sumber
:
  • wildmadagascar.org
  • kidcyber.com.au
  • wikipedia
  • dan sumber

Suku di Papua


Papua, termasuk pulau yang dihuni oleh beratus-ratus suku-bangsa yang sebagai penduduk asli pulau Papua. Diperkirakan saat ini jumlah suku-suku di pulau Papua adalah sebanyak 319 suku. Keunikan suku-suku di Papua ini adalah karena memiliki ras yang berbeda dengan suku-suku yang ada di Indonesia bagian lain, mereka bukanlah bagian dari ras Proto Malayan maupun Deutro Malayan. Suku-suku di Papua memiliki ras yang berbeda dengan suku-suku lain di Asia Tenggara, karena mereka memiliki ras Melanesia atau Negroid, sama dengan suku-suku di Afrika. Memiliki struktur fisik yang kekar, berkulit gelap dan rambut keriting. Pada masa dahulu bangsa-bangsa di Afrika menyebar ke seluruh Asia hingga ke wilayah Asia Pasifik. Diperkirakan suku Papua ini adalah manusia pertama yang hadir di wilayah Asia Tenggara ini, puluhan ribu tahun sebelum masuknya bangsa-bangsa Melayu. Mereka berasal dari daratan Afrika sejak zaman es, ketika daratan Asia masih menyatu dengan kepulauan-kepulauan di Asia Tenggara ini.

Suku-suku di Papua
  • Abau
  • Adora
  • Aero
  • Aghu
  • Aiduma
  • Aikwakai
  • Air Mati
  • Airo Sumaghaghe
  • Airoran
  • Aiso
  • Amabai
  • Amanab
  • Amberbaken
  • Amungme
  • Amungme, Amung, Hamung
  • Anu
  • Araikurioko
  • Arandai
  • Arfak
  • Arguni
  • Asienara
  • Asmat
  • Atam, Hatam
  • Atogoim, Autohwaim
  • Atori
  • Auyu
  • Awyi, Awye
  • Awyu, Away
  • Ayamaru
  • Ayfat
  • Baburua, Babiriwa, Babirua, Barua
  • Baham
  • Banlol
  • Barau
  • Baso
  • Bauzi (Bazi, Baudi, Bauji, Bauri)
  • Bedoanas
  • Berik
  • Betch-Mbup
  • Bgu, Bonggo
  • Biak-Numfor, Mafoorsch, Noefor
  • Biga
  • Biksi
  • Bipim
  • Bira
  • Bismam
  • Boneraf
  • Borto
  • Brazza
  • Bresi
  • Bunru
  • Buruwai
  • Busami
  • Citak Mitak, Cicak
  • Damal
  • Dani, Ndani
  • Dem, Lem
  • Demisa
  • Demta
  • Dera
  • Dive, Dulve
  • Dosobou
  • Dou, Doufou
  • Dubu
  • Edopi
  • Eipomek
  • Ekagi, Ekari
  • Emari Ducur
  • Emumu
  • Eritai
  • Faia
  • Faoau
  • Faranyao
  • Fayu
  • Foau
  • Gebe
  • Gressi, Gressik
  • Hambai
  • Hattam
  • Hmanggona, Hmonono
  • Humboldt
  • Hupla
  • Iha
  • Imimkal
  • Inanwatan
  • Irarutu, Irahutu
  • Iresim
  • Iri
  • Iriemkena
  • Isirawa, Okwasar
  • Ittik-tor
  • Iwur
  • Jaban
  • Jair
  • Janggu
  • Jinak, Zinak
  • Joerat
  • Kaeti
  • Kaigir, Kayagar Kayigi
  • Kaimo
  • Kais
  • Kalabra
  • Kambrau, Kamberau
  • Kamoro
  • Kaniran
  • Kanum
  • Kapauku
  • Kapauri, Kapori
  • Kaptiau
  • Karas
  • Karfasia
  • Karon
  • Kasueri
  • Kaugat
  • Kaunak
  • Kauwol, Kauwor
  • Kawe
  • Kaygir
  • Kayumerah
  • Keburi
  • Kembrano
  • Kemtuk, Kemtuik
  • Kerom
  • Keron
  • Ketengban
  • Kiamorep
  • Kimagama Kaladar
  • Kimaghama
  • Kimbai
  • Kimyal
  • Koiwai Kaiwai, Kawiai
  • Kokoda
  • Kokonau
  • Kombai
  • Konerau
  • Korapun
  • Korowai  
  • Korufa
  • Kotogut Kupel
  • Kuangsu
  • Kupol
  • Kuri
  • Kurudu
  • Kwerba, Air Mati, Nabuk
  • Kwesten
  • Lakahia
  • Lani
  • Lau
  • Lha
  • Maden
  • Madidwana
  • Madik
  • Mairasi
  • Mander
  • Mandobo
  • Manem
  • Manikion
  • Maniwa
  • Mansim
  • Manyuke
  • Mapi
  • Marau
  • Marengge, Maremgi
  • Marind Anim
  • Maswena
  • Mawes
  • Me Mana
  • Meibrat
  • Meiyakh
  • Mekwai, Menggei, Mengwei, Mung
  • Memana
  • Meninggo
  • Meoswar
  • Mer, Miere
  • Mey Brat
  • Meyah, Meyak
  • Mimika
  • Mintamani
  • Mire
  • Modan
  • Moi, Mooi
  • Moire
  • Molof
  • Mombum
  • Momuna
  • Moni
  • Mooi
  • Mor
  • Moraid
  • Morwap
  • Mosana
  • Mosena
  • Mukamuga
  • Munggui
  • Muri
  • Murop
  • Muyu
  • Nabi
  • Nabuk
  • Nafri
  • Nagramadu
  • Nalca
  • Namatote
  • Nararafi
  • Ndom, Dom
  • Nduga, Ndugwa, Dauwa
  • Nefarpi
  • Nerigo
  • Ngalik, Yali Yalik
  • Ngalum
  • Nimboran, Nambrung
  • Nisa
  • Onin
  • Oria, Uria
  • Oser
  • Palamul
  • Palata
  • Papasena
  • Patimuni
  • Pesekhem
  • Pisa
  • Pom
  • Pyu
  • Riantana
  • Roon
  • Safan
  • Sailolof
  • Samarokena
  • Sangke
  • Sapran
  • Sarmi
  • Sasawa
  • Sause
  • Sawa
  • Saweh
  • Sawi
  • Sawung
  • Sawuy
  • Seget
  • Sekar
  • Seko, Seka, Sko
  • Sela
  • Semimi
  • Sempan
  • Sentani
  • Serui, Serui laut, Arui
  • Siamai
  • Sikari
  • Silimo
  • Simori
  • Skofro
  • Sobei
  • Somage
  • Sough
  • Suabau, Suabo
  • Surai
  • Syiaga-Yenimu
  • Tabati
  • Tabla
  • Tabu
  • Tandia
  • Taori
  • Tapiro
  • Tapuma
  • Tarfia, Tarpia
  • Taurap
  • Tehid, Tehit, Tehiyit
  • Timorini
  • Tinam
  • Tomini
  • Tori
  • Turu
  • Umari
  • Una  
  • Unisiarau
  • Unurum
  • Urangmirin
  • Uria
  • Urundi
  • Ururi
  • Uruway
  • Usku
  • Voi
  • Waigeo
  • Waina
  • Waipam
  • Waipu
  • Walsa
  • Wambon
  • Wamesa
  • Wanam
  • Wandamen
  • Wandub Wambon
  • Wanggom, Wanggo
  • Wano
  • Warembori
  • Waris
  • Waropen, Worpen
  • Wembi
  • Wodani
  • Woi
  • Wolani, Woda, Wodani
  • Woriasi
  • Yaban
  • Yabi
  • Yagay
  • Yahadian
  • Yahrai
  • Yahray
  • Yaly (Yali)
  • Yapen
  • Yeti
  • Yey

sumber:
  • papua.go.id
  • foto: papuatrekking.com
  • wikipedia
  • dan sumber lain

Suku di Kalimantan


Pulau Kalimantan, atau Borneo, banyak dihuni oleh bermacam-macam etnis atau suku-bangsa. Penghuni asli sebenarnya pulau Kalimantan ini adalah suku Dayak, kemudian suku Melayu juga mengklaim dirinya sebagai pribumi di pulau Kalimantan. Beberapa suku Dayak yang telah memeluk Islam pada masa terakhir ini juga mengaku sebagai suku Melayu, walau dalam hati mereka tetap merasa sebagai orang Dayak.

Oleh karena itu di pulau Kalimantan ini pengelompokan penduduk asli, dibagi menjadi beberapa kelompok, yaitu:
  • Melayu, suku Melayu yang berbahasa Melayu 
  • Melayu-Dayak, suku Dayak yang berbahasa Dayak, tapi mengaku sebagai Melayu 
  • Dayak, suku Dayak yang berbahasa Dayak 
  • Dayak-Melayu, suku Dayak yang berbahasa Melayu, tapi mengaku sebagai Dayak

Suku Asli Kalimantan:

gambar-foto:
  • borneonews-borneoku.blogspot.com

Suku Cocos

suku Cocos di Sabah
Suku Cocos, adalah suatu suku-bangsa yang berada di wilayah Sabah Malaysia. Suku Cocos ini bermukim di Lahad Datu, Kunak, Sandakan dan Tawau. Mereka pada awalnya bermigrasi sejak puluhan tahun yang lalu dari kepulauan Cocos (Keeling Islands), suatu kepulauan di bawah kekuasaan Australia pada 1950-an. Populasi suku Cocos ini di Sabah Malaysia, diperkirakan sebesar 4.000 orang.

Asal-usul suku Cocos ini berasal dari kepulauan yang berada di bawah kekuasaan Australia, yaitu kepulauan Cocos (Keeling Islands). Di kepulauan Cocos ini, mereka telah hidup beratus-ratus tahun dengan tetap mempertahankan budaya Melayu, serta agama Islam yang mereka anut sejak lama. Konon, sebelum berada di kepulauan Cocos, mereka berasal dari tanah Melayu, yang diperkirakan berasal dari daerah Riau Sumatra atau dari Semenanjung Malaysia pada ratusan tahun sebelum mereka hidup di kepulauan Cocos. Budaya yang mereka usung di kepulauan Cocos, adalah budaya Melayu yang mirip dengan budaya Melayu Riau dan Melayu Malaysia.
tarian suku Cocos di Sabah
Saat ini masyarakat suku Cocos yang berada di Sabah Malaysia, telah menyatu dengan adat-istiadat dan budaya Melayu Sabah dan telah diakui sebagai bagian dari kesatuan rumpun Melayu Malaysia. Sedangkan leluhur mereka di kepulauan Cocos, walaupun masih mempertahankan budaya Melayu, tetapi beberapa karakter budaya mereka telah banyak menyerap budaya barat, sehingga beberapa makanan, tarian dan musik suku Cocos di kepulauan Cocos lebih memiliki rasa kebarat-baratan.

sumber:
  • etawau.com
  • wikipedia
  • dan sumber lain

Rumpun Dayak Ot-Danum

Rumpun Dayak Ot Danum, menurut versi Tjilik Riwut, Gubernur Pertama Provinsi Kalimantan Tengah. Versi ini berbeda dengan versi rumpun dayak yang sering ditampilkan di beberapa situs di web. Versi rumpun Dayak oleh Tjilik Riwut ini, adalah yang pertama dipublikasi pada sebuah buku hasil karya Tjilik Riwut sendiri. Dari ini lah kemudian dijadikan pedoman dan sumber referensi berbagai tulisan di media, serta berkembang menjadi beberapa versi lain mengenai rumpun Dayak.

Rumpun Dayak Ot Danum terdiri atas 61 suku:
  • Asa
  • At Bunusu (Ot Bunusu)
  • At Danun (Ot Danun)
  • At Siang (Ot Siang0
  • Babuat
  • Banyau
  • Desa
  • Duhai
  • Ellah
  • Embaloh
  • Ginih
  • Gunung Kambang
  • Iban
  • Jambung Jaman
  • Jampal
  • Jungkau
  • Kalang Lupu
  • Kalis
  • Kayan Danum
  • Kebosan
  • Keninjal
  • Kenyilu
  • Keramai
  • Kuhin
  • Lacur
  • Lauk
  • Lebang
  • Lebanyan
  • Limbei
  • Linuh
  • Linuh Pudau
  • Mandai Suruk
  • Mentebah
  • Muntak
  • Nanga
  • Nyahing Uhing
  • Nyangai
  • Palan
  • Palin
  • Pananyari
  • Pananyui
  • Pandau
  • Pangin
  • Payah
  • Penangkuwi
  • Rahan
  • Ransa
  • Rarai
  • Sahiei
  • Sebaung
  • Seberuang
  • Serawai Danun
  • Silang
  • Tahin
  • Tahup
  • Taman Danun
  • Taman Sibau
  • Tawahui
  • Tebidah
  • Ulun Daan
  • Undan

sumber:
  • Sejarah Hukum Adat dan Adat Istiadat Kalimantan Barat 1975
  • gambar-foto: pariwisatamura.blogspot.com
  • wikipedia
  • dan sumber lain

Suku di Sulawesi

Pulau Sulawesi, berada di Indonesia Bagian Tengah, dan memiliki bermacam-macam suku bangsa dengan corak budaya dan adat-istiadat yang memiliki keunikan masing-masing. Beberapa suku di pulau Sulawesi memiliki keterkaitan sejarah asal-usul dengan Formosa Taiwan, Filipina, Kalimantan dan Sumatra.

Sulawesi Utara

Gorontalo

Sulawesi Tengah

Sulawesi Selatan

Sulawesi Barat

Sulawesi Tenggara