Suku Alifuru Gunung, Maluku

suku Alifuru
dalam acara penyambutan tamu
Suku Alifuru Gunung, adalah suku asli yang mendiami pulau Seram
 di provinsi Maluku.

Suku Alifuru menurut cerita yang beredar di tanah Maluku, bahwa suku Alifuru ini sebagai manusia pertama yang menghuni pulau Seram dan termasuk wilayah lain di kepulauan Maluku. Konon katanya nama "alifuru" berasal "alef" dari bahasa Aram dan "uru" berarti "orang". Selain "alifuru", juga banyak memiliki sebutan lain, yaitu "alfur", "alfuros", "alfures", "alifuru" atau "horaforas", sedangkan orang Belanda menyebut mereka sebagai "alfuren". Terakhir nama "alifuru" berganti dengan nama "nusa ina", tapi nama ini tidak populer, sehingga nama "alifuru" lah yang tetap dipakai oleh etnis yang berada di pulau Seram ini.

Suku Alifuru Gunung memiliki kerabat dekat yang tinggal di daerah pesisir, yaitu suku Alifuru Pesisir. Kedua suku ini sebenarnya tidak berbeda, hanya karena telah terpisah sekian lama, maka terjadi beberapa perbedaan tata cara dan kebiasaan hidup. Tetapi secara adat dan budaya tidaklah terlalu berbeda.

Suku Alifuru Gunung ini memiliki kebiasaan yang berbeda dengan saudaranya Alifuru Pesisir. Suku Alifuru Gunung hidup mengasingkan diri di pedalaman di pegunungan, dan jarang berinteraksi dengan suku-suku lain di pulau Seram.

Suku Alifuru Gunung hidup di sekitar jalur pendakian menuju Gunung Binaiya. Mereka menjalankan adat istiadatnya dengan kuat. Sebagian besar dari suku Alifuru Gunung ini masih menganut kepercayaan tradisional yang mengandung unsur animisme.

Suku ini tinggal bersama-sama dalam satu rumah adat, walaupun berbeda turunan dalam rumah panggung yang besar berukuran 15 x 8 m. Dalam rumah adat mereka ini bisa dihuni sampai dengan 10 KK. Rumah mereka tanpa dinding pembatas ruangan, hanya saja diberi tanda semacam garis tiag untuk membedakan ruangan setiap keluarga.

rumah adat suku Alifru Gunung
Rumah adat suku Alifuru gunung ini dibuat dari pohon sagu tanpa menggunakan paku. Sambungan kayu dan tiang rumah diikat dengan tali yang dibuat dari rotan. Sedangkan atap terbuat dari daun nipah atau daun sagu. Bangunan rumah ditopang dengan bambu berukuran besar untuk menahan bangunan rumah.

Masyarakat suku Alifuru Gunung belum mengenal sistem jual beli, seperti suku Alifuru pesisir. Semua barang yang mereka butuhkan, didapat dari hasil tukar barang (barter) dari hasil panen yang mereka bawa ke Mosso untuk dibarter dengan bahan-bahan kebutuhan mereka, seperti garam, minyak tanah dan ikan asin.

Apabila ada anggota keluarga yang meninggal, maka secara serentak mereka akan meninggalkan rumah tersebut, karena menurut mereka rumah itu akan membawa sial bagi mereka. Rumah yang ditinggalkan tidak boleh didatangi apalagi dihuni.
Suku Alifuru Gunung ini memiliki tradisi unik dalam memakamkan anggota keluarga mereka yang meninggal. Mereka meletakkan mayat anggota keluargaanya di atas sebuah batu dan meninggalkannya dan dibiarkan hingga menjadi tulangnya saja. Mereka menganggap kematian bukan akhir dari segalanya, arwah dari jenazah tersebut sedang mengalami perjalanan ke dunia yang berbeda atau disebut dengan Puya. Tradisi pemakaman ini hampir mirip dengan pemakaman adat yang berada Toraja di Sulawesi Selatan.
Mereka menempatkan jenazah tersebut di sebuah Liang, di atas batu yang dianggap kramat dan memiliki nilai magis sebagai pemakamannya. Bentuk batu yang dipilih pun tidak terlalu besar, asal terdapat celah atau gorong-gorong pada bagian bawahnya maka bisa dijadikan pemakaman. Karena mereka menganggap manusia pertama yang menginjakkan kakinya di bumi itu berasal dari batu, oleh karena itu jika meninggal mereka pun harus kembali ke batu.
Uniknya lagi, jenazah yang akan dimakamkan harus ditempatkan sebagaimana kebiasaan sehari-harinya. Jika jenazah tersebut semasa hidupnya suka tiduran maka dia akan ditidurkan pula pemakamannya, begitu juga jika dia suka duduk bersila, maka harus sama dengan pemakamannya. Hal ini tujuannya agar para arwah dari jenazah tersebut tidak marah dan tidak mengganggu para anggota keluarga lainnya yang masih hidup. Jenazah yang sudah dimakamkan akan ditinggal begitu saja hingga bau busuk menyengat hingga menjadi tulang-belulang. Bahkan tidak sedikit jenazah tersebut menjadi santapan bagi binatang buas.

Makanan utama mereka adalah sagu. Tanaman sagu menjadi tanaman utama mereka, yang diolah menjadi papeda. Papeda adalah makanan khas suku Alifuru, bentuknya seperti kanji dicairkan dengan air hangat dan rasanya tawar.

Dalam keseharian suku Alifuru Gunung hidup pada bidang pertanian. Mereka memiliki kebun dan ladang yang ditanami berbagai jenis tanaman, seperti tanaman kopi, cengkeh, kasbi dan terutama tanaman sagu yang menjadi tanaman pokok mereka.

sumber:
sumber lain dan foto:
  • travel.detik.com
  • tehoru.wordpress.com

3 comments:

  1. ini cerita tentang suku NAULU atw apa ya,,,,KO GA JELAS,,,,KOREKSI#NUSA INA ATAW PULAU IBU,,,,BUKAN NUSA INDAH,,,,klo mau tulis sejarah tentang suatu bangsa tolong di teliti dengan benar,,,sbb kalau kita salah sedukit saja bisa merubah sebagian besar dari sejara satu bangsa......makasi

    ReplyDelete
  2. koreksi ALIFURU ; Alif bukan Alef, dari bahasa Arab bukan Aram.. Alif yg bermakna huruf pertama dari Huruf Hijaiyah...

    ReplyDelete
  3. Yesss sudah pernah ke kampung Alifuru di Seram. Suku Naulu dengan ikat kepala merah..
    Ibuku Seram asli..beta Alifuru.

    ReplyDelete

Silahkan berkomentar di bawah ini, Kami mohon maaf, apabila terdapat kekeliruan atau ada yang tidak sesuai dengan pendapat pembaca, sehubungan dengan sumber-sumber yang kami terima bisa saja memiliki kekeliruan.
Dengan senang hati kami menerima segala kritik maupun saran pembaca, demi peningkatan blog Proto Malayan.
Salam dan terimakasih,