Suku Rao

orang Batak Rao
Suku Rao, adalah salah satu etnis yang mendiami mulai dari sekitar perbatasan provinsi Sumatra Utara - Sumatra Barat sampai ke wilayah kabupaten Pasaman, Sumatra Barat. Suku Rao ini, telah lama bermukim di wilayah ini sejak abad ke 5 Masehi. Apabila dilihat dari fisik dan kemiripan bahasa, suku Rao ini sepertinya masih berkaitan erat dengan Batak Mandailing dan Batak Padang Lawas. Selain itu, menurut orang Mandailing, bahwa orang Rao ini sebenarnya masih keturunan dari Mandailing, karena orang Rao telah beratus-ratus tahun bermigrasi ke wilayah Sumatra Barat, sehingga terbentuklah suatu etnis bernama suku Rao. Tetapi, menurut penuturan beberapa masyarakat Rao, bahwa suku Rao adalah suku tersendiri, yaitu suku Rao, bukanlah Batak, bukan Mandailing, bukan Minangkabau dan juga bukan Melayu, walaupun mereka tidak menyangkal bahwa nenek moyang mereka mungkin berasal dari tanah Batak Mandailing.
Suku Rao sendiri telah lama bertetangga dekat dengan suku Minangkabau, maka budaya mereka pun sepertinya menyerap beberapa adat istiadat dan budaya Minangkabau ke dalam budaya dan adat istiadat Rao sendiri.

Wilayah Rao berada dalam lingkaran Bukit Barisan meliputi berbagai daerah seperti Huta Godang, Panti, Padang Gelugor, Langsat Kadap, Lubuk Layang, Kubu Sutan, Sungai Ronyah, Selayang dan Muara Sipongi (disebut dengan Rao versi lama) yang terletak di tengah pulau Sumatera. Di sebelah Utara, Rao bertetangga dengan suku Mandailing-Sumatera Utara, di sebelah Timur bertetangga dengan suku Melayu- Riau Daratan, di sebelah Selatan, bertetangga dengan suku Minangkabau, sedangkan di sebelah Barat, terbuka dengan Selat Mentawai yang secara geografi membentuk permukaan bumi di daratan pulau Sumatera.

Orang Rao saat ini masih tetap mengamalkan adat resam dan budaya asli Rao. Budaya Rao yang paling terkenal ialah bojojak, botatah atau adat pantang tanah. Anak-anak Rao tidak dibolehkan menyentuh tanah sebelum menjalankan upacara bojojak ini.

Suku Rao menggunakan bahasa Rao yang termasuk ke dalam Rumpun Bahasa Malayo-Polynesian. Bahasa dan budaya Rao berbeda dengan Tapanuli, Minangkabau dan Riau Daratan. Suku Rao adalah sebuah tamadun yang tua, ini dibuktikan dengan terdapatnya berbagai bukti arkeologis barang purbakala yang berumur ribuan tahun di Rao. Seperti candi Tanjung Medan di Petok Panti, Candi Pancahan, Arca Dwarapala Padang Nunang, Prasasti Lubuk Layang dan Candi Bukit Rao yang ditemukan oleh Amran Datuk Jorajo

Cerita tentang budaya Rao justru banyak terdapat dalam catatan sejarah yang ditulis oleh orang Belanda. Di Rao terdapat sebuah benteng Amorogen sebagai saksi pertempuran sengit antara penjajah Belanda melawan pribumi yang dipimpin oleh Tuanku Rao. Rao di masa lalu merupakan sebuah kota yang besar, pusat perekonomian dengan terdapatnya tambang emas terbesar di Sumatera pada waktu itu. Letnan 1 Infanteri J.C. Boelhouwer, dalam tulisannya yang diterbitkan dalam bahasa Indonesia oleh Pemerintah Daerah Pasaman. Dalam buku tersebut diceritakan tentang penduduk suku Rao di Sumatera.

Semenjak kedatangan Belanda ke Rao yang berjaya mengalahkan pasukan Paderi beserta pemimpinnya seperti Tuanku Imam Bonjol, Tuanku Rao dan Tuanku Tambusai sampai sekarang Rao telah banyak dimasuki oleh pendatang dari Minangkabau dan Tapanuli. Masyarakat suku Rao sendiri ternyata banyak yang berada di  Medan, Malaysia, Palembang dan sebagainya. Sementara di tanah Rao sendiri telah banyak dimasuki oleh pendatang yang bukan suku Rao untuk mengisi kekosongan yang terdapat di Rao.

Sebagian besar masyarakat suku Rao ternyata telah banyak yang hijrah ke Malaysia pada sekitar 500 tahun yang lalu, terutama di Perak, Negeri Sembilan, Pahang, Selangor dan Kelantan. Nama-nama kampung merekapun di bawa dari nama kampung yang terdapat di Rao sendiri. Dalam kehidupan keseharian mereka, orang Rao ini masih mempertahankan bahasa, adat istiadat, budaya dan hubungan kekerabatan dengan kampung asal nenek moyang mereka di Rao.

Penyebab lain yang perpindahan besar-besaran orang Rao, oleh karena wilayah Rao ditaklukkan oleh Belanda pada tahun 1833. Selain itu disebabkan meletusnya perang saudara antara Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) dengan tentara pusat di Sumatera Barat pada 15 Februari 1958, dan Rao adalah kubu terakhir PRRI ketika itu. Pemberontakan partai komunis Indonesia pada tahun 1966 juga diperkirakan mempengaruhi penghijrahan.

sumber:
- word-dialec.blogspot.com
- wikipedia
- adi-rawi.blogspot.com
- dari berbagai sumber

10 comments:

  1. thanks gan info nya ane juga berasal dari suku Rao :)

    ReplyDelete
  2. Info yang sangat bermanfaat bagi kami kaum muda rao.

    ReplyDelete
  3. Info yang sangat bermanfaat bagi kami kaum muda rao.

    ReplyDelete
  4. Kalo lahirnya di Medan menjejakkan boleh di Medan atau di Padang sana ya

    ReplyDelete
  5. Kalo lahirnya di Medan menjejakkan boleh di Medan atau di Padang sana ya

    ReplyDelete
    Replies
    1. Monjojak k nyo bulieh di medan bulieh di kampuang, asal yg munjojak k nyo omuoh di bao komedan. Atau sobaliek e pak adi sekeluarga yg pulang kokampuang.torimo kasi

      Delete
  6. Trima kasih Info nya gan Gue Orang rao juga

    ReplyDelete
  7. Saya juga suku Rao. Terimakasih info nya

    ReplyDelete
  8. terima kasih infonya bg, jadi tahu sama suku sendiri hehe

    ReplyDelete

Silahkan berkomentar di bawah ini, Kami mohon maaf, apabila terdapat kekeliruan atau ada yang tidak sesuai dengan pendapat pembaca, sehubungan dengan sumber-sumber yang kami terima bisa saja memiliki kekeliruan.
Dengan senang hati kami menerima segala kritik maupun saran pembaca, demi peningkatan blog Proto Malayan.
Salam dan terimakasih,